Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Megakolusi di Pertamina

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inefisiensi lebih sering terjadi di negeri yang tidak demokratis, tidak terbuka, yang persnya terkekang. Bencana kelaparan selalu melanda negeri-negeri yang masyarakatnya tertutup, yang tidak punya kemerdekaan untuk menyampaikan kritik dan pengawasan terhadap kebijakan penguasanya. Pasalnya sederhana saja, kekurangan pangan lebih disebabkan karena distribusi yang buruk, dan kepincangan itu tak tercegah atau diperbaiki karena tidak ada yang bisa mengungkapkan dan berani memprotesnya. Demikianlah Amartya Sen, guru ekonometri dan filsuf demokrasi kelas dunia, meyakinkan kita melalui kesimpulan penelitiannya. Jadi, jelas ada hubungan antara kemerdekaan dan kontrol, keterbukaan dan efisiensi ekonomi. Kalau boleh diubah sedikit, bisa dirumuskan bahwa makin tertutup sistemnya, makin banyak kebocoran terjadi. Terungkapnya laporan inefisiensi sejumlah US$ 6,1 miliar yang terjadi dalam tahun anggaran 1996-97 dan 1997-98 di Pertamina juga tak lepas dari hubungannya dengan kebebasan. Dulu, pemberitaan pers yang sifatnya semacam ini hampir tak dimungkinkan, kecuali kalau bersedia dibredel sesudahnya (seperti pernah dialami majalah ini). Laporan ini adalah hasil audit spesial oleh kantor konsultan Pricewaterhouse Coopers (PwC), yang ditujukan ke Departemen Keuangan RI. Isinya telah disiarkan pers sebelum Menteri Keuangan sendiri mengumumkannya. ”Pembocoran” laporan ini kepada umum tampaknya relatif bebas dari ancaman tuntutan penguasa dalam suasana terbuka sekarang. Sebaliknya, inefisiensi atau kebocoran di Pertamina itu berlangsung tatkala ketertutupan masih menjadi ciri pengenal dari masa yang dilaporkan itu. Pemeriksaannya sendiri (Januari sampai Juni 1999) baru dilakukan sesudah adanya keterbukaan akibat reformasi. Selain itu juga karena wewenang IMF, yang meminta pemerintah Indonesia melakukan audit di Pertamina (juga PLN dan Bulog), tidak mungkin ditolak. Pengawasan dan hubungan kekuasaan ternyata memang ada kaitannya. Penyakit di Pertamina ini, yang usianya sama dengan Orde Baru, sebenarnya telah diketahui sejak awal berdirinya (1968). Yang tidak ada ialah pemeriksaan dan laporan yang semestinya. Semua juga maklum, katakanlah, kalau ada orang yang batuk-batuk dengan mengeluarkan darah, pasti mengidap penyakit paru-paru. Laporan audit khusus PwC itu hanya berfungsi bagai pemeriksaan tambahan dengan sinar-X, yang memastikan adanya sarang tuberkulosis di paru-paru Pertamina. Bahwa dulu tidak dilakukan tindakan, masalahnya bukan lantaran penyakitnya tidak diketahui, tapi hubungan kekuasaan yang ada tak mengizinkannya. Sekarang masalahnya masih sama, walau telah ada kepastian dari hasil pemeriksaan sinar tembus special audit tadi. Apa tindakan selanjutnya? Apakah yang sebenarnya dahulu harus dilakukan, tapi terhambat, memang sudah bisa dilakukan kini? Jumlah kebocoran yang dilaporkan PwC yang sangat besar itu memang bukan jumlah uang yang hilang dicuri akibat korupsi di Pertamina. Tapi itu adalah jumlah kerugian akibat inefisiensi, atau untuk gampangnya disebut kebocoran. US$ 6,1 miliar itu, andaikata tidak bocor, seyogianya tetap ada di buku Pertamina. Kebocoran itu diakibatkan oleh kerugian karena biaya yang meningkat tinggi, ditambah karena kehilangan kesempatan untuk menghemat (lihat halaman 72-77). Seharusnya, keduanya tidak perlu terjadi. Banyak harga yang tak perlu dibayar, dan banyak proyek yang tak perlu dibiayai. Ini dilakukan juga karena ada kepentingan luar yang diuntungkan olehnya. Yang disebut kepentingan luar itu siapa lagi kalau bukan kepentingan penguasa, keluarga, dan kroninya. Manakala besaran korupsi telah mencapai tingkat superberat, pasti itu akan terjalin erat dengan kekuasaan politik. Semuanya akan diarahkan agar kesempatan korupsi itu terpelihara dan tetap terbuka. Aturan yang dibuat, dan perintah penguasa yang diberikan, akan memberi perlindungan legal pada siapa pun yang terlibat. Definisi mencuri dan korupsi pun menjadi lain dari yang digunakan dalam hukum pidana. Rasanya, tak satu pun direktur utama Pertamina yang bisa mengaku lepas dari bisnis ini, mulai dari Ibnu Sutowo, Piet Haryono, sampai ke Faisal Abda’oe, dan selanjutnya. Yang penting, apa yang bisa dilakukan. Laporan audit khusus PwC tidak menganjurkan suatu tindakan di bidang hukum pidana terhadap penyebab inefisiensi—karena memang itu bukan termasuk lingkup tugasnya. Yang diusulkannya ialah rasionalisasi dan perlunya perubahan cepat untuk menyesuaikan diri dengan persaingan pasar terbuka. IMF sendiri juga berkepentingan membuat Pertamina efisien, mengurangi biaya produksi, dan pada gilirannya menghapus subsidi harga bahan bakar yang jadi beban anggaran pemerintah selama ini. Apakah efisiensi bisa dicapai dengan tidak menghiraukan penyalahgunaan wewenang yang terjadi selama ini? Banyak yang menginginkan—baik demi keadilan maupun demi penyelamatan harta negara—supaya korupsi dan kolusi yang lalu diusut secara hukum. Tuntutan semacam ini telah lama diajukan. Bahkan gerakan mahasiswa terhadap korupsi di Pertamina sudah dimulai pada tahun 1970. Nyatanya, tidak satu pun pejabat Pertamina atau pemerintah yang dibawa ke pengadilan sesudah itu. Mungkin sebabnya ialah karena lebih banyak yang dipuaskan oleh uang minyak daripada yang tidak, terutama dari kalangan yang pengaruhnya menentukan. Entah karena alasan ini atau bukan, tapi tampaknya laporan audit PwC yang terkait dengan proyek restrukturisasi Pertamina itu tidak akan dilanjutkan dengan proses hukum apa pun nanti. Di satu pihak, memang, ketika menugasi konsultan PwC ini, niat Departemen Keuangan bukan untuk mengusut penyelewengan keuangan di sana. Di lain pihak, kalau memang hendak menemukan korupsi, tanpa laporan audit khusus PwC pun itu bisa dilakukan. Kehendak itulah yang untuk waktu dekat ini belum mendapat prioritas, rupanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus