LEDAKAN Gedung WTC di New York berdampak luas, termasuk berimbas ke lapangan hijau. Para pemain sepak bola Amerika Serikat yang tengah bertanding dalam Kejuaraan Dunia di Bawah Usia 17 tahun mendadak gundah. Bukan apa-apa, para orang tua yang sedianya akan datang untuk memberikan dukungan akhirnya urung muncul. Alhasil, mereka pun ”tewas” 0-1 di tangan Jepang.
Ini memang turnamen buat kawula muda. Mereka yang berkiprah di kejuaraan ini belum lagi lewat dari usia sweet seventeen. Jadi, di samping soal kemampuan, bermanja-manja juga soal penting. Dalam kejuaraan yang tahun ini digelar di Kepulauan Trinidad dan Tobago itu, Amerika Serikat merupakan tim pertama yang tersingkir setelah keok dalam tiga pertandingan yang diikutinya.
Seperti yang telah diduga, tim-tim dari negeri bola seperti Brasil, Prancis, dan Nigeria menapak mulus ke babak berikutnya. Begitu pula tim-tim macam Spanyol, Australia, dan Argentina.
Kejuaraan tahun ini merupakan yang kesepuluh kalinya digelar. Pertama kali kejuaraan ini digelar FIFA pada 1985. Selama empat tahun, turnamen itu memberi batasan usia hingga 16 tahun. Barulah pada 1991, saat diadakan di Italia, batasan usia itu dilonggarkan hingga angka 17 tahun. Kejuaraan ini diadakan dua tahun sekali.
Dalam kejuaraan ini, negara-negara dari Afrika lebih berjaya ketimbang kawasan lainnya. Nigeria meraih piala saat turnamen ini digelar pada 1985 dan delapan tahun kemudian. Begitu pula Ghana, yang dua kali membawa pulang piala ini pada 1991 dan 1995. Sedangkan dari Amerika Latin, baru Brasil yang dua kali memenangi kejuaraan ini pada 1997 dan 1999. Negara lainnya masing-masing sekali, yakni Uni Soviet pada 1987 dan Arab Saudi pada 1989.
Dibandingkan dengan kejuaraan U-21, popularitas turnamen ini memang kalah kelas. Bukan apa-apa, usia yang masih tergolong yunior menyulitkan pemain berkembang ke arah yang lebih tinggi. Pada masa itu, emosi dan kemampuan fisik mereka belum lagi cukup untuk berkiprah di ajang senior. Pengalaman Diego Maradona, yang batal masuk dalam skuad Argentina pada Piala Dunia 1978 karena alasan usia yang baru 17 tahun, bisa dijadikan contoh.
Sedangkan bagi mereka yang bermain di usia 21 tahun, kemungkinan menclok ke ajang yang lebih tinggi lebih terbuka. Secara fisik, mereka telah sampai pada perkembangan maksimal. Selain itu, emosi mereka lebih terarah. Tak mengherankan jika banyak alumni kejuaraan U-21 yang menjadi pemain top. Michael Owen adalah salah satunya. Lalu, bagaimana dengan kejuaraan ini? Beberapa pemain di bawah ini punya kemungkinan bersinar di masa mendatang.
Florent Sinama Pongolle (Prancis)
Kemampuan striker ini cukup lengkap. Dribelnya fasih, gerakannya pun cepat, dan ia piawai dalam penyelesaian akhir. Selain itu, ia cukup oke pada bola-bola atas. Namun, itu semua bukan jatuh dari langit. Pongolle harus menempuh pendidikan sepak bola selama sepuluh tahun di Sekolah Sepak Bola Le Havre, Prancis.
Karirnya mulai bersinar saat turun di kejuaraan sepak bola Eropa U-16 di Inggris, tahun silam. Saat ini, Pongolle berhasil mencetak enam gol, termasuk dua gol saat mereka mengempaskan tuan rumah Inggris 4-0. Sayang, dalam final, mereka kandas di tangan Spanyol. Tapi ia tetap mendapat hiburan. Bersama pemain Spanyol, Fernando Jose Torres Sanz, Pongolle dianugerahi bola emas gara-gara mencetak enam gol dalam turnamen itu.
Pada kejuaraan ini, namanya juga bersinar. Dalam dua pertandingan, dia sudah mencetak setengah lusin gol. Ia juga merupakan pemain pertama yang mencetak hat trick dalam kejuaraan ini. Dan jumlah gol tampaknya bakal terus menggelontor seiring dengan penampilannya pada babak berikutnya.
Kiprahnya di Trinidad ini akan menjadi cetak biru bagi kelanjutan karirnya. Pongolle, yang masuk dalam program jangka panjang tim nasional Prancis, kabarnya bersama teman setimnya, Anthony Le Tallec, pernah diincar klub besar Inggris dan Italia macam Manchester United, Arsenal, dan Liverpool untuk dikontrak dalam masa yang panjang. Mereka ditawar dengan harga 4,5 juta poundsterling.
Karimu Shaibu (Nigeria)
Dalam kejuaraan kali ini, Karimu Shaibu merupakan salah satu pemain yang berhasil menarik minat penonton negeri itu. Prestasinya memang layak mengundang decak kagum. Dalam setiap pertandingan, selalu saja lahir gol lewat kaki atau kepalanya.
Nasib baik memang mengiringi Shaibu. Pasalnya, semula dia bukanlah penyerang inti di tim Elang Super itu. Nigeria sudah punya Collins Osunwa, yang ganas di depan gawang. Celakanya, dalam latihan, Osunwa mengalami cedera dan tak bisa turut ke Trinidad dan Tobago.
Pelatih Musa Abdullahi sempat kelimpungan, tapi tak lama. Pemain kunci lainnya sudah di tangan. ”Saya masih punya pemain yang bisa mengisi posisi Osunwa,” kata Musa saat itu. Pilihan jatuh pada Shaibu karena, menurut Abdullahi, pemain ini termasuk pemain yang berani bertempur dan punya daya juang tinggi.
Shaibu tak menyia-nyiakan kepercayaan Musa. Dia merupakan pemain pertama yang mencetak hat trick dalam turnamen ini. Apa sih resepnya? ”Pelatih banyak membantu saya. Dia tidak saja memanggil saya, tapi juga memberikan taktik dan posisi yang memungkinkan saya mencetak gol,” katanya merendah.
Yang jelas, dengan melajunya tim ini ke babak kedua, peluang Shaibu menuntaskan mimpinya akan segera terwujud. ”Nigeria menjadi juara dan saya bisa memenangi sepatu emas,” katanya penuh harap.
Caetano (Brasil)
Brasil adalah lautan pemain sepak bola berbakat. Caetano termasuk salah satu yang melanggengkan tradisi itu. Seperti halnya pemain Brasil lainnya, kemampuan individunya luar biasa. Caetano bermain selangkah lebih maju dibandingkan dengan pemain seusianya.
Ini seperti yang ditunjukannya saat turun melawan tuan rumah Trinidad dan Tobago. Caetano berhasil melesak sendirian masuk ke kotak penalti dengan menaklukkan tiga pemain belakang sekaligus. Pada posisi yang leluasa, Caetano tinggal menceploskan bola. Akibatnya, Marvin Phillip, kiper tuan rumah, harus memungut bola dari jala. ”Itu gol yang indah,” kata Caetano.
Dalam pertandingan itu, Negeri Samba unggul 6-1 atas tuan rumah. Hingga babak penyisihan berakhir, Caetano sendiri telah menyarangkan empat gol dalam tiga pertandingan. ”Saya sangat senang di kejuaraan ini. Ini juga menjadi bukti bahwa, sebagai sebuah tim, kami bermain dengan sempurna,” katanya seusai pertandingan.
Lantas, apa kelebihan pemain ini? Caetano adalah penyerang oportunistis yang bisa menempatkan dirinya dalam posisi yang tepat, terutama saat timnya merangsek ke daerah lawan. Yang jelas, dengan keberhasilan Brasil maju ke babak perempat final, Caetano masih memiliki peluang menunjukkan permainan terbaiknya.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini