WALAU berbeda tempat dan waktu, peristiwa Lampung (1989) dan tragedi Tanjungpriok (1984) sebetulnya serupa. Kedua kasus pelanggaran hak asasi manusia itu sempat menjadikan kelompok Islam sebagai kambing hitam. Dan penyelesaian kedua peristiwa itu juga membuktikan hal sama: perdamaian di luar pengadilan amat mudah diciptakan tapi sulit dipelihara.
Seperti dalam kasus Tanjungpriok, belakangan ini para korban kasus Lampung yang telah meneken islah dengan para pelaku melontarkan kekecewaannya. Bahkan, sebanyak 45 dari 80 orang yang berislah sekarang telah mencabut kesepakatannya. Gara-garanya, imbalan yang pernah dijanjikan dalam kesepakatan itu tidak pernah terwujud. "Kami merasa tertipu," ujar Jayus, koordinator korban Lampung.
Kesepakatan yang dimaksud Jayus dibuat di Cibubur, Jakarta Timur, pada Februari tahun lalu. Dari pihak tentara—yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia—hadir Hendropriyono, yang pada saat insiden meletus menjadi Komandan Resor Militer 043 Garuda Hitam, Lampung. Sedangkan para korban diwakili Jayus. Saat itu, kedua belah pihak membuat tiga butir kesepakatan: rehabilitasi nama dan perbaikan ekonomi para korban dan keluarganya, dan siapa yang melanggar kesepakatan itu bisa dituntut.
Dalam soal rehabilitasi nama, Hendro sudah mengakui kesalahannya dan minta maaf. Ia juga telah mencabut stigma "gerakan pengacau keamanan" bagi para korban peristiwa yang tepatnya terjadi di daerah Talangsari, Lampung itu. Adapun dalam urusan rehabilitasi ekonomi, Hendro akan memberikan modal usaha bagi para korban. Tapi, setelah ditunggu berbulan-bulan, janji perbaikan ekonomi ini, menurut Jayus, tidak dipenuhi.
Karena sudah merasa lepas dari ikatan islah, kini Jayus dan kawan-kawan hendak membawa kasus Lampung ke pengadilan. Ia meminta bantuan hukum kepada LBH Bandarlampung dan Solidaritas Mahasiswa Lampung untuk membongkar lagi pelanggaran hak asasi itu. Dan, "Islah memang bisa batal demi hukum karena tak ada yang ditepati," ujar Watoni Nurdin, Kepala Operasional LBH Bandarlampung.
Sejauh ini, Hendro, yang kini menjabat Kepala Badan Intelijen Nasional, belum mau berkomentar. Pekan lalu, TEMPO sudah mengirim pertanyaan kepadanya. Kata Remy Silvia, sekretarisnya, Hendro, yang sedang berkunjung ke negara-negara ASEAN, sudah sempat membaca pertanyaan TEMPO, tapi belum bisa menjawabnya.
Yang jelas, upaya Jayus belum tentu berjalan mulus. Sebab, ada kelompok lain korban Lampung yang masih menganggap kasus tersebut sudah selesai. Diwakili oleh Soedarsono, mereka lebih dulu berislah dengan Hendro, pada Juli 1998. Sampai sekarang, kelompok Soedarsono menganggap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Talangsari tak perlu "dinyanyikan" lagi.
Dibandingkan dengan kelompok Jayus, kelompok Soedarsono lebih beruntung. Bersama 16 kawannya, ia bebas dari penjara berkat uluran tangan Hendro. Setelah berislah, mereka pun sempat menjadi petani tambak plasma bersama para transmigran di PT Central Pertiwi Bahari, Lampung. Itu dimungkinkan karena Hendro waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Transmigrasi.
Dwi Wiyana, Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini