Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Setelah Atletik Terjerembap

Gara-gara atletik jeblok di SEA Games, mulai tahun depan PB PASI konon akan lebih sering mengirimkan atlet ke luar negeri. Tapi hasilnya baru bisa dilihat empat tahun lagi.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDERANG lampu raksasa yang menyorot Stadion Bukit Jalil seperti tak bisa mengusir mendung di wajah Irene Joseph. Petang itu, dalam balutan pakaian merah-merah, senyum tak tampak di bibir sprinter andal Indonesia itu. Pemandangan yang betul-betul kontras dengan dua pelari Thailand, Supavadee Khawpeag dan Orranut Klomdee, yang terus mengumbar senyum. Sesekali gadis Maluku ini menatap track yang diinjaknya. Pistol tanda start belum lagi menyalak, tapi kakinya seperti diikat oleh sebuah kegalauan. Dan betul saja. Begitu pistol berbunyi, Irene—sang juara bertahan—tak mampu menunjukkan kehebatannya. Seakan boyot (lumpuh), ia cuma sanggup menempati posisi keenam. Pemandangan ini jelas berbeda dengan yang terjadi di Brunei dua tahun silam. Saat itu, Irene berjaya dengan emas di nomor paling bergengsi itu. Lalu, sekarang apa pasal? Gadis 22 tahun itu menunjuk pinggangnya. ”Cedera lama kambuh lagi,” katanya. Saat latihan, cedera itu memang sudah terasa. Beruntung, di nomor 200 meter putri, perempuan berkulit legam ini berhasil mengatasi lawannya. Kalung berbandul perak bisa dibawanya pulang. Toh, prestasinya itu tak bisa mengangkat pamor Indonesia di arena SEA Games ke-21 di Kuala Lumpur, pekan silam. Di cabang atletik, yang berlimpah emas sebanyak 46 medali, ternyata atlet Indonesia cuma bisa pulang dengan tiga emas. Penyelamat muka Indonesia itu adalah Supriyati, yang menyabet emas di nomor lari 10.000 meter dan 5.000 meter, serta Ni Putu Desi Margawati, yang menyumbangkan sebiji emas dari nomor lompat galah putri. Selebihnya, atlet Indonesia harus bertekuk lutut. Hasil buruk ini pula yang membuat para petinggi Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) ngibrit ke Nusakambangan menemui bos mereka yang sedang dibui, Bob Hasan, Jumat silam. Mereka, di antaranya Sekretaris Jenderal PASI Tigor Tanjung dan Wakil Ketua Bidang Luar Negeri PASI Andi Darussalam, sengaja datang ke sana untuk mempertanggungjawabkan kegagalan di arena SEA Games lalu. Menurut Bob, seperti yang dituturkan Andi, kegagalan itu semata disebabkan oleh pembinaan yang lemah. Pembinaan memang mandek. Program pengiriman atlet ke luar negeri sudah terhenti sejak 1997. ”Program itu dihentikan karena dianggap gagal,” kata Ria Lumintiarso, manajer tim atletik SEA Games. Atlet terakhir yang dikirim ke luar negeri itu antara lain Irene Joseph. Setelah itu, gara-gara krisis moneter, program ini pun macet. Anehnya, PASI tetap percaya diri. Targetnya adalah menyapu delapan emas. Menurut Ria Lumintiarso, sesungguhnya target itu tidaklah berlebihan. Berpegang pada data, minimal delapan emas bisa diraih. Modal lainnya, catatan prestasi atlet Indonesia masih berada di atas prestasi atlet negara lain. Nunung Jayadi, atlet lompat galah, misalnya, memiliki catatan 5,10 meter, sedangkan atlet negara lain cuma 4,90 meter. Tapi catatan di kertas memang sering menipu. Ternyata, di medan sesungguhnya, atlet Indonesia tak bisa berbuat banyak. Hasilnya? Cuma 3 emas itu. Bandingkan dengan Malaysia dan Filipina, yang sama-sama beroleh 8 pingat (medali) emas. Thailand lebih gila, menyabet 22 buah emas. ”Ini merupakan prestasi atletik paling buruk dalam sejarah kita,” kata Poernomo, sprinter andal Indonesia pada 1980-an. Kenapa bisa begitu? Kali ini alasannya lain lagi. ”Atlet kita kurang pengalaman. Mereka tidak bisa mengatasi pressure,” kata Ria. Menurut Poernomo, hal itu tidak perlu terjadi. Becermin dari pengalamannya sendiri, seharusnya para atlet dikirim ke arena kompetisi di luar negeri yang memiliki tingkat persaingan yang keras. ”Sprinter macam Koji Ito (asal Jepang, pemegang rekor Asia untuk nomor 100 meter) lebih banyak berada di Amerika untuk bertanding daripada di negerinya,” katanya. Satu hal lagi, menurut pria asal Ajibarang, Jawa Tengah ini, sudah saatnya kompetisi pelajar digalakkan kembali. ”Dari situ bisa diambil bibit baru,” katanya. Masukan ini agaknya bisa menjawab kekurangan stok atlet muda yang dikeluhkan Ria. Diakuinya, dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pelajar, termasuk Ragunan, belakangan jarang muncul bibit yang layak edar. Belajar dari kekalahan ini, konon, PASI akan berbenah diri, termasuk dengan mengirimkan atlet untuk mengikuti kompetisi di luar negeri. Soal dana? ”Banyak kok yang menawarkan,” ujar Ria. Bila pun rencana ini jalan, bukan berarti prestasi atlet Indonesia dalam SEA Games di Vietnam dua tahun mendatang bisa langsung mencorong. ”Hasilnya baru bisa kelihatan pada 2005,” katanya. Serius, nih? Irfan Budiman, Ecep S. Yasa (Nusakambangan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus