TRY Sutrisno boleh menjadi pensiunan TNI yang paling bahagia. Sebab, di hari tuanya, kasus pelanggaran hak asasi manusia di Tanjungpriok, Jakarta Utara, yang sempat menyeret dirinya diperiksa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, berbuntut islah alias rujuk. Kali ini, islah muncul dari keluarga besar almarhum Amir Biki, mubalig terkenal dari Jakarta Utara, yang tewas saat kerusuhan Tanjungpriok pada 12 September 1984 itu.
"Islah adalah damai. Kita harus menghargai keinginan keluarga Priok yang ditutup dengan keluarga Biki ini," ujar sang Panglima Kodam Jaya di masa peristiwa itu terjadi, pekan lalu. Sementara itu, selaku wakil keluarga Biki, Arif Biki menegaskan bahwa kasus Priok yang berhubungan dengan Amir Biki telah selesai urusannya. Dan hal itu bakal dilaporkan ke Kejaksaan Agung. Meski begitu, ia tak mempermasalahkan jika ada pihak yang tetap ingin menyelesaikan kasus itu secara hukum, ter-masuk Mochtar Beni Biki—juga Dewi Wardah, istri Amir Biki—yang menolak islah. "Silakan saja. Kita demokratis, kok!" ujarnya.
Sebelum diumumkan, islah itu sudah di-bahas kedua belah pihak di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat siang, yang langsung disaksikan Panglima TNI Widodo A.S. Dengan begitu, inilah islah kedua yang dipetik Try. Maklum, awal Maret lalu, islah sudah dilakukan oleh kelompok korban Priok lain, yang dimotori Syarifuddin Rambe. Saat itu, cendekiawan Nurcholish Madjid sempat menjadi saksi rujuk tersebut, di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.
Yang menarik, selepas islah tersebut, awal Juni 2001, Syarifuddin mendapat selembar cek senilai Rp 348 juta dari Asosiasi Industri Rakyat (AIR). Yang meneken cek itu adalah Alex Suhardi (Sekretaris Jenderal AIR) serta Syarifuddin Rambe dan Ahmad Sahi (keduanya korban Priok). Adapun alamat yang dituju adalah Yayasan Penerus Bangsa Tanjungpriok—yayasan yang didirikan oleh Syarifuddin dan kawan-kawan. Di yayasan ini, Try Sutrisno dan Rudolf A. Butar-butar (Komandan Kodim Jakarta Utara sewaktu kasus Priok terjadi) duduk menjadi penasihat.
Pertanyaannya: kenapa Asosiasi Industri Rakyat bisa mengucurkan dana sebesar itu? Dan apa hubungannya dengan Try, wakil presiden di masa Orde Baru? Menurut ketuanya, Muslim Arbi, turunnya dana itu bermula dari seringnya Syarifuddin dan kawan-kawan main ke kantornya. Agendanya selalu sama: mengeluhkan nasib mereka yang terus terombang-ambing karena urusan Priok tak kunjung beres. Sebagai kenalan lama, Muslim pun mencari akal untuk membantu. Akhirnya, jalan ditemukan dengan memanfaatkan selisih kuota ekspor garmen dan tekstil—lahan bisnis yang biasa ditekuni asosiasi itu—dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Di sini, kedekatan Syarifuddin dan Try sangat membantu. Sukses dipetik dan dana sebesar Rp 348 juta pun di tangan. "Itulah yang dilakukan asosiasi. Dan kita tak punya hubungan khusus dengan Try," ujar Muslim.
Nah, sebagai fasilitator, ia ingat betul bahwa uang sebesar itu mesti dibagikan kepada 87 orang korban Tanjungpriok. Jika dihitung, setiap kepala mendapat sekitar Rp 3,85 juta. Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Sejumlah korban hanya menerima Rp 1-2 juta, bahkan banyak korban yang tidak menerima sama sekali. Dugaan terjadinya korupsi terhadap dana pun meruyak. Apalagi, selepas itu, Syarifuddin terlihat membeli mobil minibus dan membangun rumahnya. Karena itulah, dimotori Dewi Wardah, sejumlah korban—yang diperkuat oleh Muslim—melaporkan Syarifuddin ke polisi. "Penyalahgunaan itu harus diusut," ujar Dewi.
Menghadapi tudingan itu, Syarifuddin membantah keras. Dalam pandangannya, dana itu didapat dalam konteks hubungan bisnis, bukan sedekah. Jadi, wajar jika pembagiannya tidak sama untuk setiap orang. Bahkan, rasio pembagian setiap orang sebesar Rp 3,85 juta merupakan hal yang tidak rasional. Dalam pandangannya, tak mungkin memberikan uang yang sama untuk orang yang bekerja keras meng-urus nasib korban Priok dan untuk orang yang tak mau ikut terlibat melakukan pengurusan.
Sementara itu, mengenai jatah yang di-ambilnya, bapak tujuh anak itu mengaku mendapat sekitar Rp 30 juta. Sisanya diserahkan agar dikelola oleh yayasan, termasuk dibagikan ke para korban Tanjungpriok. Bahkan, kalau ada korban yang merasa belum menerima, sang korban bisa meminta bagian asalkan dapat menunjukkan bukti-buktinya.
"Pengambilan jatah saya itu diketahui oleh pengurus yayasan, termasuk para penasihat," ujar Syarifuddin. Dari uang itulah ia membeli mobil minibus bekas seharga Rp 37 juta. Lo, berarti ada kekurangan dana Rp 7 juta, dong? "Memangnya saya tidak mempunyai usaha lain?" ujarnya dengan suara meninggi sembari menyebut bahwa dirinya sempat bekerja di perusahaan perminyakan.
Lalu, bagaimana dengan tudingan penggunaan uang untuk membangun rumah? Sembari mengucap sumpah wallahi (demi Allah), Syarifuddin mengaku tak menggunakan dana yayasan untuk pembangunan rumahnya. Apalagi sebagian besar bahan bangunan rumahnya itu diambil dari bekas-bekas bangunan rumah adiknya di Ciputat, Jakarta Selatan. Saat TEMPO ke rumahnya, memang terlihat beragam bahan bangunan bekas, seperti kusen pintu dan jendela serta genting. Kalaupun ada yang baru, katanya, "Itu hanya semen!" Merasa bersih dari tudingan, Syarifuddin menyatakan siap berbicara soal dana itu, termasuk dengan pihak kepolisian.
Sebaliknya, giliran Syarifuddin menuding Dewi Wardah. Ia antara lain menyebutkan, beberapa bulan lalu, Dewi menerima uang dari Try untuk menopang rencananya pergi berusaha ke Brunei Darussalam. Karena itu, ia tak habis mengerti kenapa Dewi tetap bersikap keras kepada Try. Dewi sendiri, saat dikonfirmasi, tak membantah. "Juni lalu, saya memang menerima uang untuk tiket sampai ke Malaysia, tapi tak banyak," ujarnya.
Kalau begitu, siapa memanfaatkan siapa? Atau sama-sama menarik manfaat? Mungkin tak gampang untuk menjawabnya. Maklum, dalam masalah ini, ternyata baik yang berislah maupun yang bersikukuh ke pengadilan pernah menerima jasa baik Try. Jadi, seperti apa titik akhir penyelesaian kasus Tanjungpriok, orang masih harus menunggu.
Tapi, untuk sementara, pihak yang ingin kasus itu diselesaikan melalui pengadilan tampaknya berada di atas angin. Itu kalau yang diungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Muljohardjo, benar: bakal ada tentara yang menjadi tersangka. "Pasti, dong. Mereka kan pelakunya," katanya. Cuma, siapa tentara yang bersangkutan, itu masih menjadi teka-teki. Apakah cuma yang cecere, seperti banyak terjadi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia?
Dwi Wiyana, Tomi Lebang
Proses Penyelesaian Kasus Tanjungpriok
Syarifuddin Rambe dan kawan-kawan (islah I)
Islah dan permasalahan dianggap selesai. Tapi, kalau ada yang ingin menuntut secara hukum, silakan!
Keluarga Biki, minus Mochtar Beni Biki (islah II)
Islah dan permasalahan dianggap selesai. Tapi, kalau ada yang ingin menuntut secara hukum, silakan!
Dewi Wardah dan Beni Biki dan kawan-kawan
Tolak islah dan lanjutkan proses secara hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini