Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Akhir Penantian Panjang di All England

Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir meraih emas di ganda campuran All England setelah paceklik 33 tahun. Kemampuan Tontowi melesat.

19 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Instruksi pelatih itu tak datang dari pinggir lapangan. Richard Mainaky, Koordinator Pelatih Ganda Campuran Pemusatan Latihan Nasional Bulu Tangkis Indonesia, tak sedang menemani pasangan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir, yang tengah berjibaku di National Indoor Arena, Birming­ham, Inggris, Ahad malam pekan lalu. Ia justru sedang berada di rumah orang tuanya di Bintaro, Banten.

Di depan televisi, pelatih dengan pengalaman 16 tahun melatih itu tak bisa menutup kegelisahannya. Ia begitu tegang menyaksikan Tontowi dan Liliyana berlaga melawan Thomas Laybourn dan Kamilla Rytter Juhl dari Denmark di partai puncak nomor ganda campuran All England. Ini partai prestisius. Sudah 33 tahun Indonesia tak pernah memenangi ganda campuran. Pasangan itu juga merupakan satu-satunya wakil Indonesia yang tersisa, setelah Taufik Hidayat dan kawan-kawan lebih dulu keok.

Richard, 47 tahun, pun segera mengeluarkan BlackBerry dari kantongnya. Ia menuliskan instruksinya melalui BlackBerry Messenger. "Bermain cepat, bola datar dan pendek," tulisnya. Di pesan lain, dia memberi perintah, "Jangan kasih bola lambung, terus tekan." Begitu seterusnya, ia mengirim dan menerima pesan bertubi-tubi.

Sasaran wejangan Richard adalah asisten pelatih ganda campuran, Yanti Kusmiati, yang berada di National Indoor Arena. Dari tepi lapangan, Yanti meneruskan amanat kepada Tontowi dan Butet—panggilan Liliyana. "Saya terus kirim pesan, biar tidak tegang," ucap Richard kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Ketika menyaksikan Laybourn memberikan bola tanggung di atas net saat posisi 20-19 untuk Indonesia, Richard tahu Tontowi-Butet tengah mengukir sejarah di ajang tepok bulu terakbar sejagat itu. Liliyana menyambar bola dengan tajam dan mengubah poin menjadi 21-19 di game kedua. Angka itu melengkapi game pertama yang berkesudahan 21-17. Pertandingan khatam dalam 43 menit. Towi dan Butet pun telentang di lapangan, lalu berpelukan. "Saat itu saya tak sadar, langsung jatuh," ujar Butet kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Stadion berkapasitas 12 ribu penonton yang penuh sesak itu seketika bergemuruh. Gemanya sampai ke Bintaro. Richard, yang menonton bersama keluarga dan 15 muridnya, berpekik panjang.

Indonesia kembali jadi juara ganda campuran All England setelah paceklik panjang. Gelar terakhir di nomor ini dipersembahkan Christian Hadinata dan Imelda Wiguna 33 tahun lalu.

Richard adalah "makcomblang" Towi dan Butet. Butet, 26 tahun, adalah wajah lama di Pelatnas. Gadis asal Manado ini bergabung dengan padepokan di Cipayung, Jakarta Timur, itu sejak 2002. Bersama Nova Widianto, 34 tahun, dia menyabet medali perak Olimpiade Beijing 2008 dan pernah jadi peringkat pertama dunia. Dengan alasan regenerasi, Richard membongkar pasangan itu dan memasangkan Liliyana dan Tontowi. Towi mengaku terbang ke langit ke tujuh begitu mendapat kabar bisa bermain bersama idolanya tersebut.

Richard mengatakan Towi, 24 tahun, bukan pemain papan atas. Meski pernah menjuarai Grand Prix Vietnam 2008 bersama Shendy Puspa Irawati, dia memiliki sederet kelemahan: emosi labil, percaya diri rendah, serta kuda-kuda dan fisik lemah. Richard memilihnya hanya berdasarkan insting. "Dia bisa jadi pemain kelas dunia," katanya.

Untuk menggojlok anak asuhnya, Richard rela tak mendampingi tim Thomas-Uber di kualifikasi Zona Asia, Februari lalu. Saat Simon Santoso berjibaku di Makau, dia bercokol di Cipayung bareng Towi. Hal pertama yang dia genjot adalah berlatih fisik memperkuat tungkai kaki Towi, sehingga kuda-kudanya lebih mantap dan membuatnya mampu merendahkan posisi badan untuk menyambut tembakan pendek. Namun masalah terbesar bujang asal Banyumas, Jawa Tengah, itu adalah mental yang kerap anjlok, dan berdampak pada penampilan memble. Richard mengobati masalah ini dengan cerita sukses atlet legendaris seperti Christian dan Imelda.

Butet juga menyadari perannya sebagai mentor bagi Towi, seperti posisi Nova saat mereka berpasangan dulu. Dia menilai kelemahan Towi antara lain kerap memberikan bola tanggung yang mudah dismes lawan. Mereka selalu menghabiskan waktu di pinggir lapangan setelah berlatih. "Butet suka sedikit kesal kepada Towi," kata asisten pelatih, Yanti.

Christian Hadinata, yang kini menjabat koordinator pelatih ganda, mengatakan memang tidak mudah mencari bibit unggul di ganda campuran. Pasalnya, nomor ini sudah lama dipandang sebelah mata. "Pemainnya yang tidak lulus di single dan ganda putra-putri," kata pelatih 62 tahun ini. Sewaktu menyabet All England 1979, pasangan sejatinya adalah Ade Chandra di ganda putra, sedangkan Imelda Wiguna biasa bermain bersama Verawaty Fajrin di ganda putri.

Setelah ganda campuran dipertandingkan di Olimpiade Atlanta 1996, Indonesia baru mempersiapkan rekrutmen terpisah di nomor itu pada 2000. Itu pun masih membuat Richard, koordinator pelatih ganda campuran, kesulitan mencari bakat terbaik. "Saya ambil pemain yang tidak lulus di nomor lain," katanya. Termasuk Towi, yang masuk Cipayung pada 2005 sebagai pemain ganda putra.

Insting Richard terbukti di All England. Towi membuktikan diri bukan lagi anak bawang. Dia banyak beroperasi di lini luar, melengkapi Butet yang mahir memainkan bola pendek dekat net. Rentetan smes Towi membuat Juhl kelimpungan. Kali ini tiada kritik dari Butet. "Biasanya penempatan bolanya mudah ditebak, kali ini lebih bervariasi," ujarnya. "Beberapa kali lawan terkecoh dan salah posisi." Seperti dikutip situs Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, Laybourn memuji Towi dan Butet karena bermain di luar pola yang mereka pelajari lewat video pertandingan.

Kemenangan ini di luar prediksi Cipayung. Richard memperkirakan pasangan regenerasi itu baru bisa menyabet prestasi setinggi All England beberapa tahun mendatang. Ini terjadi karena melesatnya kemampuan Towi, sehingga tak ada selisih kemampuan di pasangan gado-gado tersebut. "Dia bisa mengimbangi Butet yang lebih senior," kata Christian.

"Saya masih sulit percaya jadi juara All England," ujar Towi. Dia mengaku kepercayaan dirinya berlipat setelah kemenangan akbar itu. Bersama mentornya, dia tak bisa berlama-lama mengagumi piala yang diraihnya di Birmingham tersebut. Tim langsung bertolak ke Swiss untuk mengikuti Swiss Open. Target utama Towi-Butet adalah kembali mengibarkan Merah Putih dan mengumandangkan Indonesia Raya di negeri Pangeran William, yaitu di Olimpiade London, Inggris, Juli mendatang.

Reza Maulana, Angga Sukma Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus