Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktumu dua hari, Ruwat," kata Lurah Sangka (diperankan Fajar Suharno) kepada Ruwat Sengkolo (Joko Kamto), putra Pak Jangkep yang dianggap meresahkan masyarakat karena mengurung diri di dalam kurungan kelambu putih di rumahnya. Lurah bertubuh kecil itu mengajak Ruwat keluar dari kurungan untuk menghindari amuk massa dan tahanan polisi. Tapi Ruwat menolak.
"Siapakah yang memiliki waktu, sehingga ia datang dua hari untuk aku?" jawab Ruwat dari balik kurungan.
"Ruwat, filsafatnya ditunda dulu."
"Apa hak masyarakat terhadap pikiran manusia?"
Pertunjukan teater Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc di Gedung Kesenian Jakarta pada Jumat dua pekan lalu itu membentangkan suasana di seputar rumah Ruwat menjelang tenggat Lurah berakhir. Pentas selama tiga jam itu digelar oleh Teater PerdiÂkan, kelompok baru di komunitas pimpinan Emha Ainun Nadjib.
Naskah drama ini ditulis Emha dengan gayanya yang khas. Penuh unek-unek politik. Penuh kalimat retorika yang menyindir negara. Struktur naskah juga tak banyak berbeda dengan model pemanggungan Emha sebelumnya. Pertunjukan ini dimainkan oleh para aktor senior Yogyakarta yang juga pentolan Teater Dinasti, seperti Joko Kamto, Novi Budianto, Alex Sarpin, dan Tertib Ruratmo. Penyutradaraan ditangani Fajar Suharno. Penyumbang gagasannya adalah Emha, Toto Rahardjo, dan Simon Hate. Yang baru adalah penampilan grup musik pop Letto dan krunya, yakni Patub, Ari, Dedhot, dan Sabrang "Noe", putra Emha, turut pula jadi pelakon. Letto memainkan beberapa lagunya, termasuk hit Sebelum Cahaya.
Naskah Emha bicara tentang ramalan kiamat 2012, korupsi, kerusakan lingkungan, dan berbagai masalah sosial-politik lain. Kisah dimainkan di sebuah desa dan berpusat di rumah Pak Jangkep (Novi Budianto). Panggung dibagi menjadi tiga bagian dalam penataan sederhana. Bagian tengah adalah kurungan Ruwat. Di sisi kanan diletakkan sebuah dipan, yang jadi tempat tidur kakek Ruwat: Mbah Soimun (Tertib). Sisi kiri adalah tempat kos anak-anak muda yang diisi para pemusik Letto dan peralatan musiknya.
Ocehan Ruwat dianggap aneh sehingga dia dituduh gila, dukun tiban, bertapa mencari pesugihan, mau bunuh diri, ingin maju dalam pemilihan kepala desa, dan bahkan mengaku sebagai nabi dan rasul. Dalam satu adegan, Ruwat mengumumkan perlunya nabi darurat dan rasul ad hoc. Jangkep, yang merantau di Jakarta, pulang untuk membujuk anaknya. Di rumah dia bertemu Alex Sarpin, mahasiswa yang doyan menganalisis apa saja sambil membuka buku-bukunya.
Lalu datang Ki Janggan (Bambang Susiawan), guru spiritual Ruwat, yang memperingatkan muridnya agar tidak mengumbar makrifat. Ruwat, yang penampilannya mirip pemain ludruk dengan giring-giring di kaki yang berisik dan sebuah terompet, kadang keluar dari kurungan, menari-nari mengocehkan berbagai hal. Dia juga berdialog dengan Brah Abadon (Sabrang), penampakan dari malaikat maut Izrail, yang menjadi semacam "suara langit" yang hanya terdengar suaranya dan bayangan kepala bertudung atau mata besar menyala di latar panggung.
Pada beberapa adegan, band pop Letto pimpinan Sabrang menyanyikan lagu. Lagu mereka yang kebanyakan bertema cinta terkesan kurang pas dengan tema pertunjukan. Suara Sabrang sebagai "suara langit" juga terdengar datar dan kurang dalam. Yang paling menarik adalah stamina Joko Kamto, sebagai Ruwat. Argumen, ceramah, dan kalimat-kalimat Emha yang intelektualistis, pseudo-filosofis, jungkir-balik, dan amat sering mengulang ide bisa dibawakan dengan baik oleh Joko Kamto—sehingga tak tampak sebagai kelemahan dasar naskah tapi sebagai kegilaan Ruwat.
Menurut Toto Rahardjo, pentas ini tak dimaksudkan sebagai dakwah politik dan dakwah agama. "Ini sebenarnya semacam bentuk lain dari kuliah Emha di komunitasnya. Ya, biar mereka tidak bosan saja dengan bentuk kuliah selama ini," katanya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo