Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Naskah Perawan dari Pakualaman

Perpustakaan Puro Pakualaman memiliki koleksi naskah yang sangat kaya. Menunjukkan kuatnya tradisi menulis.

19 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bundelan naskah setebal bantal itu tertata rapi di enam almari kaca. Almari tua itu berdiri berderet-deret, hampir menutupi empat dinding ruangan seluas 6 x 8 meter itu. Di tengah-tengahnya tampak dua meja besar yang disambungkan jadi satu. Hanya sebuah komputer beserta alat pencetaknya di sudut depan yang mewakili kehidupan modern ruangan itu.

"Dulu tempat ini pengap, jarang dibuka," kata Nyi Mas Ngabei Sestramurti atau Ratna Mukti Rarasari, penerjemah naskah kuno Pakualaman di perpustakaan Puro Pakualaman. Pada siang-siang yang gerah, sebuah kipas angin mengusir pengap yang selama berpuluh tahun meliputi ruangan. Sejak bulan lalu, dari Senin sampai Jumat, dua pintu sayap kanan pendapa Keraton Pakualaman Yogyakarta itu terbuka lebar.

Lebih dari setengah abad buku-buku di perpustakaan itu hampir tak tersentuh. Pada 1973, pernah ada peneliti dari Fakultas Sastra Nusantara Universitas Gadjah Mada, Profesor Darusuprapto, bersama para mahasiswanya datang untuk membuat katalogisasi buku-buku di Pakualaman. Sebelas tahun berselang, Romo I. Kuntara Wiryamartana SJ, salah satu mahasiswa itu, kembali mengunjungi Puro buat urusan lain: menyelesaikan desertasi tentang Arjunawiwaha.

Dari deretan kitab Pakualaman, ia menemukan satu naskah dari Surakarta, tanpa sampul, tanpa bagian depan. Namun di bagian akhir ia mendapati sebuah catatan penting. "Dari situ saya bisa melacak, kapan Wiwaha mulai ditulis dan kapan diakhiri," kata Romo Kuntara, yang kini menetap di Yogyakarta. Sekarang ia tengah mempersiapkan penerbitan Arjunawiwaha versi Pakualaman—yang berbeda versi dengan Surakarta dan Yogyakarta.

Puro adalah perpustakaan istimewa, dengan koleksi naskah babad, Islam, piwulang, primbon, dan sastra. Tahun ini, menjelang genap usianya 200 tahun, Pakualaman terbuka untuk umum. Menandai perkembangan ini, akhir Januari lalu diterbitkan sebuah buku setebal 316 halaman, karya kolektif sepuluh penulis tentang naskah kuno Pakualaman. Buku berjudul Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman Yogyakarta ini membahas tata pamong, arsitektur, seni tari, sastra, ritual, kearsipan, hingga tata boga di Kadipaten Pakualaman.

l l l

Pada 31 Desember 1810, Daendels memakzulkan Sultan Hamengku Buwono II yang disebut Sultan Sepuh, dan menjadikan putranya, Gusti Raden Mas Suroyo, pangeran wakil raja.

Sultan Sepuh dibuang ke Pulau Penang, Malaysia. Pangeran Mangkudiningrat, satu dari dua putra sultan yang menemani perjalanan pembuangan itu, mencatat kejadian ini dalam Babad Mangkudiningratan. Ditulis dalam huruf Jawa, di atas kertas Eropa, ia menulis apa adanya, layaknya sebuah catatan harian. Bahkan ada satu bagian teks yang dicorat-coret sehingga sulit dibaca, namun sekilas bisa dimaknai sebagai ratapan Mangkudiningrat saat menghadapi masa sulit di pengasingan.

Tradisi menulis rupanya cukup terpelihara dalam keluarga Sultan Sepuh. Kakak Pangeran Mangkudiningrat, Paku Alam II, menghasilkan lebih dari 40 karya sastra, dan nama Paku Alam II tercantum di lebih dari 16 naskah. Di antaranya Serat Palasara, Babad Kandha, Piwulang Estri, Sestra Ageng Adidarma, Sestradisuhul, Mintaraga, dan Kadis sarta Mikrad.

Yang menarik dari naskah Pakualaman ini, hampir semua halaman naskah itu dihiasi iluminasi berwarna, berhiaskan tinta warna emas. Sri Ratna Saktimulya, dosen Sastra Nusantara Universitas Gadjah Mada, yakin iluminasi itu untuk menarik minat membaca.

"Naskah seperti ini belum pernah saya temukan di keraton lain. Kebanyakan naskah hanya diberi iluminasi di halaman pertama rubrikasi. Di sini hampir semua teks diberi hiasan," kata Saktimulya, yang menyelesaikan tesisnya tentang fungsi wedana renggan dalam Sestradisuhul, pada 1998.

Naskah Sestradisuhul yang ditulis Jayengminarsa bercerita tentang 28 nabi, sahabat nabi, musuh nabi, raja Jawa, para wali, dan delapan dewa. Teks itu diberi rubrikasi simbol atau wedana renggan tentang Batara Candra, berupa bunga soma, yang mekar dan harumnya menyebar pada waktu malam.

Menurut Sakti, naskah itu memiliki cita rasa tinggi, sebagai sarana kontemplasi. Teks itu menekankan perlunya menumbuhkan dan memelihara rasa kasih sayang antarmanusia. "Bila pekerjaan dilakukan dengan penuh cinta, akan menghasilkan sesuatu yang optimal dan berkualitas," kata Saktimulya.

Pada masa Paku Alam III, tradisi menulis terus berlangsung. Lewat para pujangga, Paku Alam III memprakarsai penulisan Serat Darma Wirayat, Serat Ambiya Yusuf, Serat Piwulang, Cebolek, Babad Nagari Cina, Suluk Puwakinanthi, Suryaraja, dan Babad Betawi.

Serat Darma Wirayat menarik, berisi ajaran sikap hidup yang baik, agar manusia membuka hatinya supaya hidupnya tidak terhina. Ajaran tentang kesusilaan ini, pada 1882, diterbitkan Land’s Depot van Leermiddelen di Jakarta sebagai bahan ajar di sekolah menengah bumi putra milik pemerintah. Teks serat Darma Wirayat berupa pupuh Dandanggula 28 baris.

Kisah menjelang akhir pemerintahan Amangkurat IV dan awal masa Paku Buwono II dari Kasunanan Surakarta ditulis dalam Serat Cebolek. Di situ diceritakan daerah pesisir timur gempar atas kehadiran Ki Cebolek atau Haji Amat Mutakin, yang mengajar agama, yang menekankan hakikat syariat. Teks digubah atas prakarsa Surya Sastraningrat atau Paku Alam III. Namun iluminasi teks belum rampung, baru digambar dengan pensil dan tinta.

Nyi Mas Ngabei Sestramurti mengatakan, dulu Puro Pakualaman juga memiliki Serat Centhini. Namun sekarang tidak tahu ia ada di mana. Kitab yang sangat terkenal karya Paku Buwono V itu dilatinkan Karkono Kamajaya (almar­hum) menjadi 12 jilid, diterbitkan Yayasan Centini Yogyakarta pada 1988. Penerbit Balai Pustaka dan para pakar kebudayaan dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada juga pernah mempublikasikan dan menerjemahkan Centhini ke bahasa Indonesia.

Pada 2004, bekas wartawati Prancis, Elizabeth Inandiak, menulis tentang Centhini: Les Chants de Lile a’ Dormir Debout, Le Livre de Centhini. Dia menyadur Serat Centhini dalam bahasa Indonesia menjadi lima buku: Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Cebolang, Minggatnya Cebolang, Ia yang Memikul Raganya, dan Nafsu Terakhir.

Sampai masa Paku Alam VII, kebiasaan menulis naskah terhenti. Namun ada beberapa catatan yang ditulis dalam huruf Jawa, selama Paku Alam VII bertakhta, di antaranya Serat Sriyatna, Bahasa Jawi Saha Jepang, dan Dhawuh Pelayatan. Di sisi kiri memuat berita, dan sisi kanan berisi tanda tangan penerima berita. Jadi, hanya semacam dokumen kesekretariatan kerajaan.

Selain di perpustakaan atau ruang Kapujanggan, kerabat Puro Pakualaman masih menyimpan beberapa naskah pusaka yang dianggap keramat. Di antaranya naskah Khyai Sarahdarma dan Khyai Jati Pusaka. Berwujud tembang kawi, ditulis di kulit berlapis emas. Berkisah tentang masa Amangkurat serta perpecahan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Juga ada naskah karya RM Ranggawarsita sebanyak 26 buku. "Tapi saya belum pernah melihatnya," kata Rimawan dari sekretariat perpustakaan Puro Pakualaman.

Dari studinya, Saktimulya menyimpulkan, dominasi kekuasaan kolonial terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta membuat kerajaan tidak memperkuat diri dengan benteng, tapi memelihara hegemoni lewat karya sastra, berupa kakawin, tembang atau matra, serta kidung. "Terutama ajaran keutamaan hidup. Ini menjadi semacam terapi bagi jiwa yang sakit," katanya.

L.N. Idayanie (Yogyakarta)


Persemaian Kaum Intelektual

Paku Alam III punya gagasan yang melampaui zaman. Menurut dia, sebuah bangsa harus punya sarana, bukan hanya uang, tapi juga otak. Karena itu, Paku Alam III mengutus carik atau sekretarisnya, Wiroaksoro, belajar di sekolah Belanda.

Sekembali ke Pakualaman, dia mengajar membaca dan menulis bagi kerabat dan sentono dalem. Wiroaksoro dalam Babad Pakualaman disebut sebagai guru Jawa pertama. Dia mantri guru yang bertugas mengajar kesusastraan bagi orang Jawa. "Hal itu terjadi berkat relasi baik Paku Alam II dan Paku Alam III dengan Belanda," kata Sudibyo, dosen sastra nusantara Universitas Gadjah Mada.

Setelah itu, ada Mas Lurah Ponco Suwarno dan Mas Ponco Tirto, atas restu Belanda, mendirikan Paguron Landi Jawi, seba­gai tempat belajar mengaji. Pada masa Paku Alam V, perhatian terhadap pendidikan semakin berkembang. Padahal saat itu sedang terjadi masa transformasi, dari kerajaan tradisional yang menekankan kemutlakan kekuasaan raja menjadi kerajaan modern yang menekankan keterbukaan dan akuntabilitas.

Cendekiawan pertama di empat kerajaan, Kasultanan, Kasunanan, Mangkunegaran, dan Pakulaman, yang mendapat kesempatan belajar langsung di Belanda adalah Kanjeng Pangeran Haryo Notodirojo, putra Paku Alam V. Dia pula yang mempunyai perhatian besar terhadap pendidikan modern di wilayah Kadipaten Pakualaman, sehingga persoalan ekonomi yang membelit Puro, dan defisit anggaran serta utang, bisa diatasi.

Kadipaten Pakualaman disebut sebagai tempat persemaian kaum intelektual, lewat Pakoealamsche Studie Fonds. Menurut Sudibyo, saat itu banyak kerabat yang disekolahkan ke Eropa, bahkan ada yang tidak pulang dan meninggal di Swiss. "Saya baca dari buku Student Indonesia tulisan Dr Abdul Rivai," kata dia.

Suasana kondusif yang terbangun masa itu ikut membesarkan Raden Mas Suwardi Suryaningrat, cucu Paku Alam III, yang belajar kedokteran di STOVIA, tapi tidak selesai. Suwardi bekerja di beberapa bidang, sebagai pegawai pabrik gula, pegawai toko obat, dan wartawan. Artikelnya berjudul "Als Ik Eens Nederlander Was", yang dimuat di harian De Express, yang dinilai sangat provokatif, membawanya ke tempat pembuangan.

Di bidang pendidikan, Suwardi, yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, melahirkan karya monumental berdasarkan pendidikan dan kebudayaan, Sekolah Taman Siswa, dan ajaran-ajarannya, yang membawanya sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Tokoh lain yang menikmati kebebasan belajar dan menjadi tokoh pergerakan nasional pada masa itu antara lain Kanjeng Pangeran Haryo Notodirojo (Budi Utomo), Kanjeng Pangeran Haryo Kusumoyudo (raad van Indie), Raden Mas Suryopranoto (tokoh perburuhan), dan Raden Mas Notosuroto (penyair dan wartawan).

Tak hanya di bidang pendidikan tinggi. Paku Alam V juga membuka sekolah dasar dan sekolah menengah di depan pendopo dalem Pakualaman, untuk masyarakat umum. Namun, menurut Kanjeng Pangeran Haryo Indrokusumo, seiring dengan surutnya kepengurusan, sejak 1980-an sekolah itu diambil alih pemerintah menjadi sekolah negeri.

Satu-satunya peninggalan yang masih tersisa adalah Sekolah Dasar Negeri Puro Pakualaman I, yang terletak di belakang kompleks Puro. Sekolah ini kini menjadi satu-satunya sekolah yang mengajarkan panahan gaya mataraman. "Setiap tahun kami tawarkan ke siswa. Tahun lalu masih ada peminat, tapi tahun ini kosong," kata Sukesti, Kepala Sekolah Puro I.

Sejak Paku Alam VII, pengiriman mahasiswa ke luar negeri sudah dihentikan. Saat itu Indonesia sudah masuk zaman pergerakan. "Tapi masih ada putra Paku Alam V, Pangeran Kusumayudha dan keturunannya, yang tinggal di Belanda," kata Sudibyo.

L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus