Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Karma Sie Jin Kwie

Teater Koma menuntaskan bagian akhir dari trilogi Sie Jin Kwie. Riantiarno sukses menghidupkan kembali kisah populer keluarga panglima Tang itu.

19 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba tujuh boneka ukuran raksasa muncul di panggung disertai asap dan ledakan keras petasan. Lehernya panjang. Mukanya seperti rangda. Boneka itu dipanggul oleh dalang-dalang yang tak kelihatan. Makhluk-makhluk gaib itu ciptaan Hwanlihoa, putri Jenderal Hwan Hong, panglima Tartar yang menyerang Kerajaan Tang.

Ilmu Hwanlihoa (dimainkan dengan bagus oleh Tuti Hartati) susah ditandingi. Ia tukang sihir. Ia mampu menciptakan halusinasi yang mengkeokkan lawan. Persoalannya, ia merasa ditakdirkan menjadi istri ketiga Sietengsan, putra Sie Jin Kwie.

Inilah bagian ketiga kisah Sie Jin Kwie garapan Teater Koma yang ditunggu-tunggu. Ibarat video silat bersambung, bagian ini merupakan klimaks. Bagian-bagian yang kabur di pementasan sebelumnya kini tersingkap. Di bagian kedua, yang dipentaskan Koma tahun lalu, misalnya, ada ade­gan Sietengsan pada umur 12 tahun mati terpanah oleh ayahnya sendiri. Ternyata kini ia masih hidup. Ia (diperankan Rangga Riantiarno) memimpin Tang melawan para panglima dan pandita sakti wilayah-wilayah Cina yang membangkang.

Bukan hal yang salah apabila penonton mengharapkan panggung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kali ini penuh dengan perkelahian dan efek panggung mengejutkan. Pentas kali ini bakal berbeda dengan dua pentas sebelumnya. Ceritanya penuh trik yang melibatkan adegan golok terbang, lonceng maut, pagoda api, atau ruyung bergerigi yang muter-muter.

Ternyata pentas tidak beda jauh dengan jilid pertama. Tak banyak adegan spesial. Cuma tubuh Sietengsan (Adi Firman Hakim) saat dihipnotis oleh Hwanlihoa bisa melayang. Set bahkan tampak tidak semahal pentas tahun lalu. Sebagai gantinya, Riantiarno menampilkan perkelahian sengit Sietengsan melawan tokoh ganjil dengan aneka pusaka aneh dalam wayang yang yahud. Gonta-ganti dari adegan wayang ke adegan sebenarnya yang "dimoderatori" Budi Ros pun makin tangkas.

Riantiarno telaten menampilkan lapis-lapis adegan. Sementara sutradara lain pasti langsung menuju perang dan membuang sub-sub kecil konflik keluarga, tidak demikian dengan Nano. Ia merawat dan meyakinkan penonton bahwa adegan itu perlu meski dengan risiko bertele-tele melakukan pergantian set.

Di atas semua itu, kita menyaksikan kemampuan Riantiarno menyarikan inti cerita. Karakter dari setiap saga atau epos—seperti juga Mahabharata—adalah tokoh-tokohnya yang terlibat dilema kekuasaan, cinta, kesetiaan, dan pengkhianatan. Akting dan kekompakan Prijo Winardi, Dudung Hadi, Dorias Pribadi, Rita Matu Mona, dan Rangga Riantiarno (akting dan suaranya makin mirip ayahnya) mampu menyajikan Sie Jin Kwie sebagai kisah besar penuh potret paradoks itu.

Di sini kita mengetahui Hwanlihoa yang cantik dan ahli sihir tiada tara ternyata rela dimadu. Sietengsan seorang egoistis. Baginda Lisibin yang bijak ternyata memiliki ahli waris sinting. Para perampok gurun berperangai kasar tapi loyal. Moralitas para pahlawan tidak hitam-putih.

Lihatlah Sie Jin Kwie di masa tua. Ia berubah menjadi lelaki kolot. Ia memerintahkan Sietengsan dihukum mati dan menyesali mengapa anaknya dulu tidak benar-benar mati. Adalah hal menarik bila Riantiarno mengawali pentas dengan adegan Sie Jin Kwie memasuki gerbang akhirat, dan mendekati malaikat kematian. "Kota apa ini? Saya ada di mana?" kata Sie Jin Kwie.

Saat Sie Jin Kwie tewas karena panah Sietengsan, penonton mafhum bahwa inti kisah adalah karma. Kita ingat Sie Jin Kwie pada mulanya hanyalah pelayan dapur Kerajaan Tang. Kita ingat bagaimana Teater Koma menyajikan adegan pasukan dapur pada 2000. Mereka berbaris sambil membunyikan sendok, garpu, dan pisau cincang ikan.

Tak syak, bila kisah ini diangkat sebagai film Hong Kong, ada kemungkinan akan penuh adegan kolosal berdarah-darah. Tapi di tangan Teater Koma perang pun menjadi lucu dengan idiom-idiom luwes. Panggung campuran ekspresi realis dan akting drama-dramaan ala lenong. Ada pameran busana yang meriah tapi juga adegan pemakaman magis. Musik Cina bisa berbaur dengan senandung Batak dan himne Katolik. Resep yang menjadikan Koma adalah Koma.

Sie Jin Kwie dulu adalah kisah yang meresap di hati masyarakat peranakan kita. Vihara atau kelenteng di Kediri, Surabaya, Cirebon, atau Semarang sering menggelar wayang potehi—yang bisa ditonton masyarakat kecil termasuk gelandangan dan abang becak. Ketika Orde Baru datang, semua itu lenyap. Selama tiga tahun berturut-turut sejak 2010, Riantiarno bekerja keras menghadirkan Sie Jin Kwie. Ia menghidupkan kembali apa yang telah hilang dalam kebudayaan kita. Dan itu luar biasa.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus