Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Antara Gincu dan Sarung Tinju

Tinju wanita makin populer. Namun, kontroversi masih lekat menyertainya.

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHAMMAD Ali, juara dunia kelas berat tiga kali, tidak gembira ketika mendengar anaknya ingin menjadi petinju. Itu tak hanya mungkin karena dia setuju dengan Kahlil Gibran yang berpetuah "anakmu bukanlah anakmu." Dia sendiri sudah merasakan keras dan kotornya dunia tinju profesional, yang antara lain menjangkitinya dengan penyakit Parkinson. Dan sang anak, tak lain tak bukan, adalah Laila, salah satu putrinya. Laila, 21 tahun, sebelumnya lebih dikenal sebagai model untuk majalah Vogue dan Fitness. Namun dalam pertandingan pertamanya pekan lalu, Laila yang turun di kelas menengah langsung menjungkalkan lawannya April Flower dalam waktu 31 detik saja. Tentu Laila masih perlu membuktikan ketangguhan dirinya dalam pertandingan-pertandingan selanjutnya. Yang tak bisa disangkal, namanya langsung bergaung kencang. Namun, yang menjadi populer bukan cuma Laila, melainkan juga olahraga tinju wanita itu sendiri. Kini publik di luar Amerika Serikat juga mulai penasaran. Pertandingan tinju wanita berskala besar memang baru digelar 3-4 tahun terakhir ini, tapi olahraga ini ternyata memiliki sejarah panjang. Pertandingan pertama tinju wanita yang tercatat dipanggungkan adalah pada 1720-an di London. Selain bertinju, para petarung diperbolehkan menggunakan kaki, sikut, atau cakar, sehingga pertarungan itu lebih layak disebut pertarungan bebas. Besar kemungkinan, sebelum era ini, pibu (pertandingan satu lawan satu) antarwanita juga sudah terjadi. Hal ini bisa dilacak pada mitos dan dongeng lama yang memunculkan pendekar wanita. Tinju wanita modern mulai diperkenalkan pada 1904 sebagai nomor ekshibisi di Olimpiade. Pada 1920-an, olahraga keras ini dijadikan latihan fisik untuk murid wanita di Boston. Meskipun wanita yang meminati tinju makin banyak, perkembangannya sendiri sangat lambat, khususnya yang pro. Alasannya klasik, yaitu kepantasan. Publik takut citra keanggunan akan tergantikan dengan citra keperkasaan. Selain itu, banyak pula yang menyatakan tidak tega melihat wanita menjadi babak-belur di atas ring. Menurut Dokter James Tangkudung dari Komisi Ilmu Olahraga KONI, tinju wanita tidaklah seberbahaya yang dibayangkan orang. Alasannya, pertandingan digelar sesama jenis dan otot wanita 30 persen lebih sedikit ketimbang otot laki-laki. Sikap yang menomorduakan olahraga keras untuk wanita ini barangkali warisan dari zaman Yunani kuno. Saat itu, untuk menonton pertandingan olahraga pun, wanita dilarang. Namun, bahkan kalangan feminis pun tak seluruhnya melihat tinju sebagai sarana emansipasi perempuan—justru sebaliknya melihatnya sebagai bentuk lain penindasan. Tinju wanita, menurut mereka, tak lebih dari pertandingan untuk memuaskan kaum lelaki saja. Tinju wanita juga dikritik tak lebih dari sekadar "sirkus" semacam gulat wanita yang penuh kepura-puraan. Anggapan ini tidak selalu benar. Banyak pertandingan mutakhir terbukti tak kalah serunya dengan tinju laki-laki. "Para petinju wanita itu betul-betul fight," ujar promotor Boy Bolang. Namun, komentar miring bahwa petinju wanita mencari panggung lain lewat ring barangkali ada benarnya juga. Petinju yang top dan cantik sekarang banyak yang berprofesi ganda sebagai model. Bahkan, Mia St. John, 32 tahun, juara dunia kelas bulu, berpose bugil untuk majalah Playboy edisi November mendatang, mengikuti jejak petinju Tiger Lily Fox pada 1980-an. Orang yang paling berjasa membawa tinju wanita ke panggung yang lebih tinggi adalah Bill Dickson. Mulai 1977, Dickson secara tetap menggelar tinju wanita di Hotel Hyatt House di Lake Tahoe, Nevada. Jasa Dickson membuat tinju wanita makin dilirik oleh publik, tapi tidak oleh promotor besar semacam Bob Arum dan Don King. Akibatnya, secara komersial, petinju wanita masih dipandang sebelah mata. Saking geramnya, pada 1987, bekas juara kelas bulu wanita Lady Tyger Trimiar mogok makan selama sebulan untuk memperjuangkan nasib kelompoknya. Kegigihan itu tak sia-sia. Kini baik Arum maupun King juga menangani beberapa petinju wanita. Petinju top semacam Mia St. John ataupun Leona Brown kini bisa meraih US$ 10 ribu-25 ribu sekali bertanding sepanjang enam ronde. Angka lumayan ini sepadan dengan yang diterima petinju peringkat tiga WBA atau WBC dalam pertandingan non-gelar. Namun, itu belum sebanding dengan Oscar De La Hoya, yang bisa meraup US$ 15 juta untuk satu pertandingan. Bagaimana peluang tinju wanita digelar di Indonesia? "Sebenarnya, makin kontroversial satu pertandingan, justru makin menarik," ujar Boy Bolang. Namun, ia menyadari, publik belum tentu siap. Selain itu, ia menyangsikan Komisi Tinju Indonesia berani berdiri di belakang promotor pertandingan yang mempertontonkan para perempuan perkasa jelita itu saling tonjok. Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus