Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rapor Habibie dan Konsekuensinya

Penilaian pertanggungjawaban Habibie tergantung imbangan kekuatan; ditolak atau diterima, keduanya punya risiko sendiri.

17 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Habibie kini giat melancarkan operasi hubungan masyarakat untuk meningkatkan pamornya. Gairahnya untuk dipilih jadi presiden diungkapkannya tanpa ragu atau sungkan. Konon, ia menyewa konsultan asing kaliber dunia untuk merancang taktik menggalang dukungan pemilih. Tapi penilaian sudah sepenuhnya bergantung pada putusan 700 anggota MPR, bukan lagi ditentukan oleh masyarakat luas. Pada 14 Oktober ini Presiden Habibie akan memberikan laporan pertanggungjawaban di depan MPR. Hasratnya untuk terpilih kemungkinan akan dipatahkan di sini. Dalam proyeksi lawannya, pertanggungjawaban itu pasti tidak akan diterima, ditolak MPR. Dibayangkan, penolakan ini akan jadi semacam mosi tidak percaya bagi Habibie. Karena itu, mandat harus dikembalikan, dan selanjutnya ia tidak dipercaya memimpin, sehingga tidak mungkin dicalonkan lagi. Banyak alasan untuk membubuhkan angka merah pada buku rapor Habibie (lihat hlm. 26). Tentu Habibie akan menangkis dan menyusun pleidoi yang membawa serta semua pihak—khususnya Golkar dan militer—yang dikatakannya menyukseskan reformasi sekaligus ikut bertanggung jawab bersama dia semasa "512 hari karya Bacharuddin Jusuf Habibie bersama seluruh rakyat Indonesia". Terlepas dari hasil perlawanannya, kalaupun pertanggungjawaban tidak diterima, adakah konsekuensi yuridis yang melarang Habibie untuk mencalonkan diri kembali? Secara positif, dalam peraturan perundang-undangan tak ada larangan seperti itu. Sebaliknya, dari sudut etika politik, halangannya terasa jelas. Selain itu, orang membandingkan dengan aturan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang melarang kepala daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh DPRD untuk dicalonkan kembali untuk masa jabatan berikutnya. Tapi harus diperhitungkan bahwa norma etika kali ini akan dikesampingkan oleh Habibie dan kawan-kawannya. Ketentuan presiden membuat laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan pun tidak terdapat dalam UUD 1945, walau dalam penjelasan diterangkan bahwa presiden itu bertanggung jawab kepada MPR. Prosedur itu bukan perintah langsung dari UUD, tapi disimpulkan dari ketetapan MPR, khususnya mengenai Peraturan Tata Tertib MPR . Bagaimana bentuk "yudisium" majelis terhadap laporan presiden juga belum ada pedoman yang baku dan resmi: menerima baik dan menolak, atau ada penggolongan lain seperti "kurang memuaskan" atau "kurang lengkap"? Hanya Presiden Sukarno pada 1966/1967 pertama kali dan satu-satunya yang pernah mengalami penolakan. Prosesnya lama, berbilang bulan, dan itu pun terjadi sesudah kekuatan riil Sukarno dilumpuhkan lebih dulu. Jadi, kalau ajang pertempurannya adalah penolakan pertanggungjawaban presiden, pikirkan segala seluk-beluknya, selenggarakanlah dalam tempo singkat, dan jangan lupa diktum: tak boleh dicalonkan lagi. Tapi pada prakteknya imbangan gabungan kekuatan suara di MPR jua yang menentukan nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus