Bagaikan saudara sejoli yang sama-sama kangen, Gus Dur dan Megawati berjalan berdua ke Jawa Timur. Sekian juta mata Indonesia menyimak: dua orang yang bersaing untuk memegang kekuasaan eksekutif tertinggi tampak bersilaturahmi. Apa gerangan yang di balik itu?
Tampaknya, politik di Indonesia masih belum bebas dari kebiasaan main samar. Para analis yang gemar barang eksotis akan mengatakan bahwa ini khas budaya politik "Jawa": yang tampak tak dengan sendirinya menjelaskan apa yang tak tampak. Para analis yang lebih berpikiran faktual akan mengatakan bahwa permainan samar ini semata-mata tradisi Orde Baru, yang militeristis dan sebab itu gemar beroperasi rahasia, apalagi rakyat dianggap tak perlu banyak tahu. Apa pun sebabnya, kebiasaan main samar itu menyebabkan tiap analisis politik hanya bagian dari "ilmu" menebak-nebak.
Analisis di bawah ini juga sekadar tiga tebakan. Tebakan pertama: baik Gus Dur maupun Megawati ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa dalam kehidupan politik yang demokratis, persaingan kekuasaan tak perlu menyebabkan permusuhan pribadi. Gus Dur dan Megawati masih bisa bicara dengan hangat, misalnya soal bakmi kuah dan mangga pakistan, meskipun keduanya sedang berebut kursi kepresidenan.
Jika ini maksudnya, tepuk tangan yang tulus buat dua sejoli itu. Sebab, selama Orde Baru, Soeharto cenderung memandang lawan atau saingan politik sebagai musuh yang berbahaya, atau seteru pribadi. Soeharto tak suka punya kompetitor. Calon presiden harus cuma dia. Dalam soal bisnis, dia meneguhkan monopoli perusahaan keluarga. Orang yang dianggap mengganggu monopoli bisnis dan politik itu ia singkirkan. Bahkan dengan lawan politik, misalnya dengan para penanda tangan Petisi 50, Soeharto tak mau berjumpa biarpun dalam resepsi perkawinan sesama kenalan.
Kini pameran silaturahimi Gus Dur dan Megawati ini bisa mengembalikan tradisi politik lama, pada zaman demokrasi parlementer Indonesia dulu. Persaingan kedudukan itu soal lumrah. Si Fulan yang duduk di kursi eksekutif bisa saja esok paginya copot, dan berganti duduk di kursi legislatif. Begitu juga sebaliknya. Ketika jabatan kepresidenan tak lagi begitu dahsyat dan juga hanya sebentar waktunya, tradisi persaingan politik yang santai dan beradab itu diharapkan bisa kembali.
Tebakan kedua: perjalanan itu adalah usaha Megawati agar Gus Dur (dan PKB) memperjelas sikap, yakni mendukung atau tak mendukung Megawati sebagai calon presiden.
Jika memang demikian, hasilnya hanya separuh. Yang pasti, sampai pekan lalu, Gus Dur menyatakan akan maju terus jadi pesaing Megawati. Dengan kata lain, ia tak akan lagi memberikan suaranya (dan kalau bisa suara pengikutnya) bagi calon PDIP itu. Tetapi pada saat yang sama belum jelas sejauh mana keputusan Gus Dur ini tak akan berubah. Masih ada faktor yang harus diperhitungkan sebagai bagian dari tradisi Nahdlatul Ulama: restu para kiai. Ada 15 orang kiai yang pekan lalu bertemu Gus Dur sepulang perjalanan dengan Megawati ke Jawa Timur. Dikabarkan, mereka baru akan memberikan restu mereka 19 Oktober nanti, hari pertama pemilihan presiden di MPR.
Tetapi tak jelas pula, sejauh mana restu para kiai itu akan menentukan—terutama jika dilihat bahwa mereka sebenarnya berada di luar lembaga yang dipilih rakyat, yakni MPR.
Juga masih jadi tanda tanya adalah sikap PKB. Ketua partai ini, Matori Abdul Djalil, sampai Kamis lalu tetap menyuarakan dukungannya kepada Megawati. Adapun pimpinan PKB yang lain, termasuk Sekjen Muhaimin Iskandar, kini lebih mendukung Gus Dur.
Walhasil, garisnya masih membingungkan—dan ini tak mempermudah PDIP atau siapa pun untuk mengatur siasat. Terutama karena PDIP sudah agak ketinggalan langkah dari Poros Tengah dan Golkar dalam menghimpun dukungan. Mungkin karena bertahun-tahun hidup dalam kebiasaan politik "main samar-samar", ada dugaan bahwa perbedaan dalam pimpinan PKB itu cuma siasat atau, kalau tidak, ada keretakan yang ditutupi. Jika orang sampai menduga ini semua cuma taktik, tak urung PKB bisa tampak kurang jujur dan oportunistis. Padahal, soalnya mungkin hanya karena PKB bingung.
Ada tebakan ketiga: perjalanan Blitar-Jombang adalah usaha perundingan bagaimana nanti pembagian kekuasaan dilakukan setelah presiden dipilih. Jika Habibie yang terpilih (mudah-mudahan tidak), soalnya jadi sederhana: kedua tokoh ini dan para pengikutnya mungkin sekali akan jadi oposisi. Tapi, jika Megawati yang terpilih, di mana posisi Gus Dur? Sebaliknya, jika Gus Dur yang jadi presiden, di mana kedudukan Megawati? Gus Dur tak hendak jadi orang nomor dua. Megawati, yang tak pernah berterus terang ingin kedudukan presiden, oleh partainya diletakkan sebagai calon kepala negara.
Dengan kata lain, kalau mereka tak bisa berbagi posisi di pemerintahan, salah satunya harus jadi oposisi. Akan lebih baik bagi tradisi demokrasi jika Megawati, yang partainya mendapatkan suara lebih besar di kotak suara, adalah yang jadi presiden, dengan segala kekuatan dan kelemahan Ketua Umum PDIP itu. Sebagai imbangan, Megawati memberi Gus Dur wewenang untuk menyusun kabinet—meskipun ia sendiri tak memegang jabatan pemerintahan. Toh Gus Dur punya wawasan dan jaringan kenalan yang lebih luas ketimbang Megawati. Tetapi bukan tak mungkin Megawati akan mengalah untuk jadi wakil presiden, mendampingi kawan seperjalanannya ke Jawa Timur itu. Bagaimanapun, Indonesia akan repot jika punya dua presiden yang bekerja bergilir: hari Senin Gus Dur, hari Kamis Megawati.
Itu berarti Indonesia akan harus menempuh dua mata pelajaran baru—yang orang di negeri lain sudah lama pandai. Yang pertama adalah berunding dan berkompromi, dengan hasil yang tak 100 persen menyenangkan. Yang kedua adalah memilih beroposisi, dengan sikap menjadikan diri pemerintah cadangan. Tim cadangan ini dalam satu periode siap untuk tak bekerja, tapi menyiapkan diri sebagai pengganti tim pemerintah kelak. Bersama waktu, Indonesia akan kian terbiasa dengan politik di mana jadi presiden itu bukan segala-galanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini