AMBISI Australia mulai diuji. Sebulan setelah tentaranya memimpin Pasukan Internasional untuk Timor Timur (Interfet), berondongan ''serangan" datang bertubi-tubi. Di Jakarta, Gedung Kedutaan Besar Australia, di Jalan Rasuna Said, tak pernah sepi dari demonstrasi massa. Bahkan, di gelap malam, ada yang nekat meletuskan beberapa tembakan ke gedung di kawasan mentereng itu. Hingga kini, polisi belum bisa memastikan pelakunya.
Sikap ''benci Australia" itu muncul karena tentara Negeri Kanguru yang beroperasi di Timor Timur dinilai berlebihan. Rakyat tak bersenjata masih dipaksa tiarap dengan acungan laras panjang, sebelum kedua tangannya diikat. Terpetik pula kabar dari seorang tokoh prointegrasi yang mengaku menyaksikan tentara negeri sebelah itu merobek bendera Republik. Dua orang pengungsi juga mengadu kena serempet pelor.
Masyarakat internasional juga mulai protes, meski konteksnya berbeda. Mereka mengkritik—seperti ditulis beberapa media asing—Interfet terlalu lamban dalam menjalankan misinya. Para pengungsi yang keluar dari Bumi Loro Sa'e itu baru dapat diangkut pesawat Perserikatan Bangsa Bangsa kembali ke hunian asalnya mulai Jumat pekan lalu. Interfet juga dituding lemah saat menghadapi Falintil. Sayap militer anti-integrasi itu tidak dilucuti senjatanya seperti yang dilakukan terhadap milisi pro-otonomi.
Melihat pelbagai kelemahan ini, Inggris malah lantang berteriak bahwa sebaiknya pasukan multinasional pimpinan Australia digantikan oleh pasukan baret biru PBB (UN Force) saja. Turunnya pasukan perdamaian PBB praktis akan membuat atribut kenegaraan asal hilang. Lagi pula, setiap tindakan pasukan tersebut—termasuk menggunakan kekuatan militer—dilindungi oleh Pasal 7 Piagam PBB. Usulan Inggris ini disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB pada Kamis pekan lalu.
Misi Interfet juga terlalu ambisius. Setelah dihitung-hitung lagi, PBB bisa menghabiskan biaya US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 11 triliun untuk operasi di Tim-Tim. Menurut Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, mahalnya ongkos misi khusus itu karena PBB harus membiayai bukan hanya pasukan, tapi juga pemerintahan transisi yang nantinya bernama United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET). Asal tahu saja, ongkos yang ditelan untuk misi di Tim-Tim ternyata lebih mahal dibandingkan dengan biaya misi PBB di Kosovo.
Tapi pemerintah Australia tampaknya cuek saja. Mereka tak terlalu hirau dengan sengatan kritik tadi. Rupanya, kehadiran tentara Australia di Tim-Tim itu tidak hanya didorong oleh kewajiban menjadi bagian dari misi perdamaian, tapi juga oleh sejarah panjang hubungan dengan Indonesia dan Timor Leste. Sejak okupasi Indonesia pada 1975, Australia sudah mendukung perlawanan kelompok Tim-Tim yang anti-Indonesia. Falintil, misalnya, memiliki radio yang menyiarkan pendapat internasional terhadap Tim-Tim di Darwin sejak akhir 1970-an. Kelompok resistan Tim-Tim pun tumbuh pesat di Australia. Sampai saat ini, ada sekitar 20 ribu orang Maubere yang bermukim di sana.
Jelas masuk akal kalau Australia ingin berperan besar dalam menentukan masa depan Tim-Tim kini, setelah Soeharto lengser. Menurut James Cotton, Kepala Jurusan Politik Akademi Angkatan Bersenjata Australia, sejak Agustus 1998 hingga Januari 1999, pemerintah Australia getol berdiplomasi dengan pemerintah Indonesia agar Tim-Tim dapat menentukan nasibnya sendiri. Perdana Menteri Australia, John Howard, potong kompas dengan mengirimkan surat pribadi ke Presiden Habibie, Januari lalu, yang sukses menyulut Habibie melontarkan opsi pelepasan.
Pihak Australia juga sudah mempersiapkan kekuatan militernya bila diperlukan di Tim-Tim. Sekitar Agustus-September 1998, tentara Australia mengadakan latihan militer di Northern Territory. Mulai November 1998, beberapa personel militer Australia sudah diajari bahasa Tetun. Negara persemakmuran ini juga sudah mempersiapkan Darwin—tempat pangkalan militer Australia yang terdekat dengan Tim-Tim—untuk menghadapi segala kemungkinan: dari pengiriman pasukan hingga penampungan pengungsi. Cotton bilang bahwa pemerintah Australia memang punya alasan politis dan geografis untuk cawe-cawe urusan Tim-Tim.
Karena itu, tidak terlalu salah jika kemudian Australia dinilai bertindak di luar batas. Pemerintah Australia seperti berhak ''menghukum" pemerintah Indonesia atas tindakannya di Tim-Tim. Menteri Pertahanan Australia, John Moore, awal Oktober lalu menyatakan bahwa tentara Australia di Interfet berhak masuk ke wilayah Timor Barat bila memang harus mempertahankan diri menghadapi milisi pro-Jakarta, yang diduga menyusup dan bergerilya di sana.
Sebaliknya, TNI tegas-tegas bersiaga jika kawasan Republik itu dijamah pasukan Interfet. Tindakan yang dianggap Jakarta melampaui batas itu tampak ketika pekan lalu helikopter Australia yang bertugas di bawah bendera Interfet nyelonong masuk ke wilayah udara Maluku. ''Kalau mereka melakukan tindakan yang di luar hukum internasional, TNI akan melakukan usaha keras (untuk menghentikannya)," kata Panglima TNI Jenderal Wiranto.
Tampaknya, Interfet mulai dihadang ''ranjau" diplomasi akibat ulahnya sendiri. Padahal, misi kemanusiaan harus tetap berjalan.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini