IMAN di lingkungan atletik sedang goyang. Mungkinkah
amatirismenya dipertahankan? Ketua Umum IAAF (Federasi Atletik
Amatir Internasional), Adriaan Paulen dari Negeri Belanda, konon
bingung menjawabnya. "Uang dan Olahraga prestasi tampaknya tak
mungkin dipisahkan lagi," jawab kalangan Persatuan Atletik
Seluruh Indonesia (PASI).
Dari federasi-federasi olahraga amatir dalam IOC (Komite
Olimpiade Internasional), IAAF satu-satunya yang masih keras
mempertahankan kemurnian amatirisme. Namun IAAF sudah mulai
meningkatkan batas maksimum hadiah uang yang boleh diterima
atlet dalam suatu pertandingan. Di Moskow, ketika berlangsung
Olympiade 1980, diputuskan bahwa atlet boleh mengikuti
pertandingan berhadiah uang maksimum US$ 1.000 atau œ 500
(sekitar Rp 630.000).
Kolumnis Goldfrey Robert dari Singapura toh merasa hal itu belum
setimpal. Untuk koran The Sunday Times belum lama ini ia
menulis: "Jika atlet boleh menerima œ 500, kenapa tidak boleh œ
5.000, bahkan œ 50.000? Jika teenager Tracy Austin (tennis) boleh
menikmati œ1 juta, sedang pemain sepakbola boleh mengatur
gerak-geriknya untuk masuk kesebelasan negara apa, mengapa atlet
sebaik Sebastian Coe (23 tahun) dan Steve Ovett (24 tahun) --
keduanya dari Inggris -- tak boleh berlari untuk mendapatkan
dompet yang lebih besar?"
Propaganca & Robot
Atletik di negara tertentu dilihatnya sudah menjadi profesional.
Amerika Serikat, yang tidak mengirim regunya ke Moskow,
mengeluarkan uang tunai banyak sekali untuk atlet ke
pertandingan IAAF di Portugal akhir Oktober. Di Portugal itu
juga konon IAAF mempelajari gejala baru ini.
Di negara sosialis tertentu, atlet menjadi "alat" propaganda
rezim. Sebagian atlet Soviet malah dijadikan "robot" untuk
penelitian ilmiah, misalnya, diprogramkan untuk komputer.
"Jerman Timur mempunyai atlet kampiun internasional, karena
tugas dan pekerjaan mereka hanya olahraga saja," kata Pieter
Noya, seorang pelatih PASI. Dan Ken Jalleh pernah menulis di The
Sunday Times: "Negara komunis memberikan dorongan pada atlet
mereka secara tak langsung -- memberikan suatu kehidupan yang
lebih baik dan gaji -- bukan karena bekerja, tapi karena ikut
serta dalam olahraga."
Ken Jalleh kemudian mengungkapkan keluhan atlet Singapura.
"Untuk apa saya latihan? Hanya sekedar mencari tiket gratis
berlibur ke luar negeri? Untuk apa saya mengorbankan uang,
keringat, darah dan kemungkinan cacat tubuh, sedangkan saya tak
boleh mendapat apa-apa dari olahraga? " Di negara dagang itu,
tambah penulis tadi, semuanya tak ada yang gratis, malah buang
sampah di jalan pun bisa kena denda $ 500. "Uang dapat menjadi
dosis yang lebih berkhasiat dibandingkan ginseng untuk
memulihkan kesegaran badan!"
PASI tampaknya lebih luwes. Kepada para atlet yang berprstasi,
secara tidak langsung diberikannya hadiah uang atau beasiswa
Supersemar. "Uang Supersemar itu saya pergunakan untuk beli susu
dan telur setiap pagi," kata Phiong Tjung Lie, atlet dari
Yogyakarta yang mendapat beasiswa karena menang membawa nama
Indonesia di Marathon Hangten, Bangkok 1979.
Juara pertama Hangten itu, Ali Sofyan Siregar, merebut hadiah
uang 15.000 baht (Rp 600.000) waktu itu. Kepada TEMPO pernah
ia mengatakan hahwa uang tersebut ia relakan untuk PASI. Namun,
pekan lalu seorang pengurus PASI Pusat mengatakan uang itu
"diserahkan kembali kepada atlet yang menang."
Kejuaraan atletik berhadiah di Indonesia juga sudah ada. Dalam
Proklamathon Jakarta, misalnya. Hotel Sriwedari di Yogyakarta
bahkan sudah 3 kali menyelenggarakan lomba lari berhadiah, tahun
1978, 1979 dan 1980. Hadiahnya Rp 150.000 (juara I), Rp 100.000
(juara II) dan Rp 75.000 (juara III). Pesertanya datang dari
seluruh Indonesia, bahkan diikuti orang asing yang kebetulan ada
di Yogyakarta. Tapi para pemenangnya selama ini hampir semua
dari Jakarta.
Penyelenggara Lomba Sriwedari, walaupun bukan dari PASI,
bekerjasama dengan PASI. Tamsir Riyadi dari PASI Yogyakarta
mengaku, "IAAF tidak memperbolehkan atlet menerima hadiah uang
secara langsung dalam suatu pertandingan. Maka sqak Sriwedari
bekerjasama dengan kami, hadiahnya diberikan kepada klub atlet
bersangkutan, untuk pembinaan. Kalau klubnya nanti memberikan
kepada sang atlet, itu urusan di belakang." Kenyataan memang
begitu. Tjung Lie yang merebut Rp 75.000 kepada TEMPO mengaku,
"Uang itu saya pakai beli sepatu Adidas dan kaus."
Jawa Timur terkenal sebagai gudang atlet atletik nasional, tapi
belum mempunyai turnamen berhadiah. Tidaklah berarti atletnya
tidak dirangsang dengan hadiah uang.
Ketua PASI Ja-Tim, Soewignyo, mengaku organisasinya mengeluarkan
Rp 10 juta setahun, hadiah tunai bagi atlet yang berprestasi.
Bagi atlet pemegang medali emas diberikannya uang pembinaan Rp
5.000 sebulan selama 1 tahun. Begitu pula selama 6 bulan untuk
pemegang medali perak dan 3 bulan untuk pemegang medali
perunggu. PASI sungguh luwes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini