Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Atletik Pun Makin Berhadiah

Peraturan IAAF yang mempertahankan amatirisme sudah mulai meningkatkan batas maksimum hadiah uang yang boleh diterima atlet dalam suatu pertandingan. Indonesia (pasi), kepada atlet berpretasi berikan hadiah.

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMAN di lingkungan atletik sedang goyang. Mungkinkah amatirismenya dipertahankan? Ketua Umum IAAF (Federasi Atletik Amatir Internasional), Adriaan Paulen dari Negeri Belanda, konon bingung menjawabnya. "Uang dan Olahraga prestasi tampaknya tak mungkin dipisahkan lagi," jawab kalangan Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI). Dari federasi-federasi olahraga amatir dalam IOC (Komite Olimpiade Internasional), IAAF satu-satunya yang masih keras mempertahankan kemurnian amatirisme. Namun IAAF sudah mulai meningkatkan batas maksimum hadiah uang yang boleh diterima atlet dalam suatu pertandingan. Di Moskow, ketika berlangsung Olympiade 1980, diputuskan bahwa atlet boleh mengikuti pertandingan berhadiah uang maksimum US$ 1.000 atau œ 500 (sekitar Rp 630.000). Kolumnis Goldfrey Robert dari Singapura toh merasa hal itu belum setimpal. Untuk koran The Sunday Times belum lama ini ia menulis: "Jika atlet boleh menerima œ 500, kenapa tidak boleh œ 5.000, bahkan œ 50.000? Jika teenager Tracy Austin (tennis) boleh menikmati œ1 juta, sedang pemain sepakbola boleh mengatur gerak-geriknya untuk masuk kesebelasan negara apa, mengapa atlet sebaik Sebastian Coe (23 tahun) dan Steve Ovett (24 tahun) -- keduanya dari Inggris -- tak boleh berlari untuk mendapatkan dompet yang lebih besar?" Propaganca & Robot Atletik di negara tertentu dilihatnya sudah menjadi profesional. Amerika Serikat, yang tidak mengirim regunya ke Moskow, mengeluarkan uang tunai banyak sekali untuk atlet ke pertandingan IAAF di Portugal akhir Oktober. Di Portugal itu juga konon IAAF mempelajari gejala baru ini. Di negara sosialis tertentu, atlet menjadi "alat" propaganda rezim. Sebagian atlet Soviet malah dijadikan "robot" untuk penelitian ilmiah, misalnya, diprogramkan untuk komputer. "Jerman Timur mempunyai atlet kampiun internasional, karena tugas dan pekerjaan mereka hanya olahraga saja," kata Pieter Noya, seorang pelatih PASI. Dan Ken Jalleh pernah menulis di The Sunday Times: "Negara komunis memberikan dorongan pada atlet mereka secara tak langsung -- memberikan suatu kehidupan yang lebih baik dan gaji -- bukan karena bekerja, tapi karena ikut serta dalam olahraga." Ken Jalleh kemudian mengungkapkan keluhan atlet Singapura. "Untuk apa saya latihan? Hanya sekedar mencari tiket gratis berlibur ke luar negeri? Untuk apa saya mengorbankan uang, keringat, darah dan kemungkinan cacat tubuh, sedangkan saya tak boleh mendapat apa-apa dari olahraga? " Di negara dagang itu, tambah penulis tadi, semuanya tak ada yang gratis, malah buang sampah di jalan pun bisa kena denda $ 500. "Uang dapat menjadi dosis yang lebih berkhasiat dibandingkan ginseng untuk memulihkan kesegaran badan!" PASI tampaknya lebih luwes. Kepada para atlet yang berprstasi, secara tidak langsung diberikannya hadiah uang atau beasiswa Supersemar. "Uang Supersemar itu saya pergunakan untuk beli susu dan telur setiap pagi," kata Phiong Tjung Lie, atlet dari Yogyakarta yang mendapat beasiswa karena menang membawa nama Indonesia di Marathon Hangten, Bangkok 1979. Juara pertama Hangten itu, Ali Sofyan Siregar, merebut hadiah uang 15.000 baht (Rp 600.000) waktu itu. Kepada TEMPO pernah ia mengatakan hahwa uang tersebut ia relakan untuk PASI. Namun, pekan lalu seorang pengurus PASI Pusat mengatakan uang itu "diserahkan kembali kepada atlet yang menang." Kejuaraan atletik berhadiah di Indonesia juga sudah ada. Dalam Proklamathon Jakarta, misalnya. Hotel Sriwedari di Yogyakarta bahkan sudah 3 kali menyelenggarakan lomba lari berhadiah, tahun 1978, 1979 dan 1980. Hadiahnya Rp 150.000 (juara I), Rp 100.000 (juara II) dan Rp 75.000 (juara III). Pesertanya datang dari seluruh Indonesia, bahkan diikuti orang asing yang kebetulan ada di Yogyakarta. Tapi para pemenangnya selama ini hampir semua dari Jakarta. Penyelenggara Lomba Sriwedari, walaupun bukan dari PASI, bekerjasama dengan PASI. Tamsir Riyadi dari PASI Yogyakarta mengaku, "IAAF tidak memperbolehkan atlet menerima hadiah uang secara langsung dalam suatu pertandingan. Maka sqak Sriwedari bekerjasama dengan kami, hadiahnya diberikan kepada klub atlet bersangkutan, untuk pembinaan. Kalau klubnya nanti memberikan kepada sang atlet, itu urusan di belakang." Kenyataan memang begitu. Tjung Lie yang merebut Rp 75.000 kepada TEMPO mengaku, "Uang itu saya pakai beli sepatu Adidas dan kaus." Jawa Timur terkenal sebagai gudang atlet atletik nasional, tapi belum mempunyai turnamen berhadiah. Tidaklah berarti atletnya tidak dirangsang dengan hadiah uang. Ketua PASI Ja-Tim, Soewignyo, mengaku organisasinya mengeluarkan Rp 10 juta setahun, hadiah tunai bagi atlet yang berprestasi. Bagi atlet pemegang medali emas diberikannya uang pembinaan Rp 5.000 sebulan selama 1 tahun. Begitu pula selama 6 bulan untuk pemegang medali perak dan 3 bulan untuk pemegang medali perunggu. PASI sungguh luwes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus