WAJAH-WAJAH Indonesia pasti akan banyak terlihat di pusat-pusat
pertokoan di Orchard Road, Singapura, pada setiap menjelang
tutup tahun. Tak terkecuali di penghujung tahun 1980. Salah satu
pertokoan yang populer buat turis Indonesia yang gemar
berbelanja, adalah Lucky Plaza, gedung jangkung yang modern di
depan Wisma Indonesia.
Pelan-pelan pusat pertokoan semacam Lucky Plaza yang sarat
pengunjung itu, juga sudah menjalar di Jakarta. Tak kurang dari
lima pusat pertokoan yang entah kenapa semuanya memakai nama
"plaza" kini menjulang di ibukota, terbentang dari mulai jantung
kota, di Jakarta Utara sampai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Terakhir, Ratu Plaza, di ujung Jalan Jenderal Sudirman-Senayan,
dan mirip dengan Lukcy Plaza itu, diresmikan oleh Gubernur DKI
Tjokropranolo 12 Desember.
Terletak di atas tanah seluas 17.243 MÿFD, pertokoan yang
dibangun oleh PT Rasa Sayang Internasional, yang juga menjadi
pemiliknya, bolehlah disebut yang paling megah di Jakarta. Ada 7
pasang eskalator, ada sebuah lift berbentuk kapsul, yang
membuat orang di dalamnya bisa memandang ke luar. Dan seluruh
dinding kaca kios yang berjumlah 300 memakai rayban tebal.
Lantainya dari marmer, dinding pun dilapisi mozaik zaman
sekarang yang semarak.
Sebagai Pelengkap
Mahal? "Terus terang saja, untuk menghadapi saingan di Jakarta
ini, kami harus menampilkan sesuatu yang baru," kata Direktur
Soejanto Boedihardjo. Didampingi pimpinan proyek Ir. Ibrahim
Alsegaf, Direktur PT Ratu Sayang Internasional itu lalu
menerangkan, "sebanyak 98% dari seluruh kios Ratu Plaza sudah
disewa orang."
Bisa jadi di awal 1981 semua ruangan Sang Ratu sudah diborong
orang. Kecuali sebuah ruangan terbuka di lantai dasar, yang
cukup luas, dan sengaja disediakan untuk kegiatan promosi,
rekreasi, yang bisa juga berfungsi sebagai tempat kencan.
Di sayap kiri pertokoan berlantai enam itu, dibangun gedung
perkantoran setinggi 32 tingkat. Sedang di sayap kanan terdapat
gedung apartemen 18 tingkat. "Jadi Ratu Plaza ini kami buat
sebagai pelengkap," kata Soejanto.
Masa kontrak minimal 5 tahun, dengan sewa ruangan yang minimal
12 MÿFD, harga per MÿFD berkisar antara US$12-US$ 20 per bulan,
ditambah biaya pemeliharaan US$ 3,5 per MÿFD setiap bulan. Biaya
kontrak itu harus dibayar oleh penyewa sebanyak 10% sebagai
tanda jadi, lalu 10% lagi ketika kontrak ditandatangani dan
sisanya diangsur selama 12 sampai 20 bulan.
Servis Buat Pribumi
Ratu Plaza, yang dibangun atara lain dengan kredit sejumlah bank
di Singapura, di bawah pimpinan United Chase Merchant Bank,
termasuk yang paling laris. Dengan investasi US$ 47 juta, dan
utang bank-bank sebanyak US$ 22,5 juta, Direktur Soejanto yakin
semua kapital akan kembali dalam 7 sampai 8 tahun.
Ini agak berbeda dengan Glodok Plaza. Berdiri di atas tanah
seluas satu hektar, Glodok Plaza yang memiliki 750 kios -- dan
merupakan pusat pertokoan yang pertama kali dibangun di Jakarta
-- baru 25% yang terjual. "Sampai sekarang kami masih rugi,"
kata Inge Bernadette Indriani, Manajer Pemasaran dan Promosi
Glodok Plaaa (GP).
Dibangun oleh PT Multi Plaza, pemiliknya, GP mengenal sistem
sewa antara 1 sampai 10 tahun. Lantai satu misalnya, disewakan
Rp 20 juta untuk masa 10 tahun. Makin tinggi lantainya makin
berkurang sewanya dengan Rp 1 juta, untuk jangka waktu yang
sama. Menurut Inge, yang paling berat adalah biaya operasi dan
pemeliharaan. Selain masih banyak tempat kosong yang ditanggung
pembayaran listriknya oleh pemilik, biaya pemeliharaan yang
ditanggung oleh penyewa pun, menurut wanita itu, sudah tidak
memadai: US$ 3 per MÿFD. "Ini barangkali ongkos pemeliharaan
termurah di Jakarta," kata Inge.
Tapi mengapa yang pribumi tak nampak di GP? "Kami sudah mencoba
menarik mereka, antara lain dengan memberikan keringanan
persyaratan dan biaya sewa kios dan bebErapa fasilitas lain.
Tapi nyatanya banyak di antara pengusaha pribumi menjual lagi
tempatnya tanpa sepengetahuan kami," kata Manajer Inge Indriani
kepada Nadjib Salim dari TEMPO.
Dibangun dengan fasilitas PMDN, dan pinjaman dari bank-bank di
Manila dan Hongkong, dana Rp 10 milyar yang ditanamkan itu,
diperkirakan baru akan kembali dalam 15 sampai 20 tahun. Tapi
soal yang merugikan pengelola, kata Inge, karena masih banyak
yang menunggak uang sewa. Juga pengunjungnya belum banyak. "Kami
belum bisa buka sampai pukul 8 malam. Pukul 6 sore saja bangunan
ini sudah terasa sepi," katanya.
Mengenai pengunjung rupanya bukan soal bagi Aldiron Plaza, yang
terletak di tengah Kebayoran Baru. Menampung sekitar 300
pedagang, di atas tanah DKI seluas 2.000 MÿFD, pusat pertokoan
milik PT Aldiron Hero itu barangkali yang paling banyak
pribuminya, yaitu sebanyak 43%. Uang sewanya bervariasi antara
US$ 17, 15,5 dan 10,5 per MÿFD, sedang kelompok pribumi yang
umumnya beroperasi di lantai III, membanyar US$ 8 per MÿFD setiap
bulan.
Masa kontraknya cukup lama, 22 tahun, yang harus dibayar di muka
sebanyak 50% bagi nonpribumi, dan 25% buat pribumi. bekas gedung
pertokoan Soevesco ini, juga memberikan servis bagi pribumi.
Misalnya, pengelola yang mengusahakan kredit untuk pembayaran
kios dari pemerintah, sementara pedagang pribumi itu hanya
berjualan saja, dan kemudian membayar cicilan mereka ke bank
pemberi utang. Itu juga berlaku buat nonpribumi dengan syarat
yang agak lain, tentu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini