DAN lagu-lagu pun jatuh di telinga -- selama sepuluh tahun.
Sebuah lagu kadang memang tersimpan lama, sementara yang lain
sebentar dilupa. Toh tidak semua lagu populer, setelah
ditimbang-timbang, benar-benar disuka. Bahwa ada beberapa lagu
populer di awal 1970-an, misalnya, tidak teringat lagi di ujung
dasawarsa, boleh menunjukkan bahwa betapa pun ia tak cukup
berdaya tahan. Memang, lagu populer yang paling akhir muncul
dengan begitu harus diawasi: adakah ia, kira-kira, bernapas
panjang.
Ketika TEMPO, dengan bantuan majalah Zaman, sepakat untuk
memilih antara lain nyanyian yang paling disuka, terkumpul tak
kurang dari 59 lagu. Kerja pemilihan memang, merupakan kerja
"suka-sukaan": mendesakkan hanya yang disenangi, sambil
berlindung dari kemungkinan didebat berdasar kriteria --
meskipun terbuka untuk dinilai dari segi selera. Sembilan orang
wartawan kemudian memilah-milah dan menjumlah suara.
Tak mudah -- sudah diduga. Ada lagu yang sangat dicinta
(Flamboyan, misalnya, atau Kunyalakan Api di Dalam Tungku, Koes
Plus), ternyata bikinan sebelum 1970. Ada juga dua lagu yang
begitu populer, hanya saja bau jiplakan terkesan di sana. Itu
contoh.
Sebuah lagu tentu saja bisa beruntung bila ia lahir lewat mulut
penyanyi yang cocok. Tapi bagian terbesar toh bekal dari
komponis. Dan dalam hal komponis, satu kenyataan muncul:
sementara komponis mungkin menciptakan lagu yang menyebabkannya
mendapat kehormatan. Namun satu per satu lagunya barangkali
"kurang dalam" masuknya dalam telinga para pemilih yang
subyektif itu --dibanding lagu bagus dan populer dari komponis
yang secara umum kurang dihormati.
Tuhan YME
Di samping itu, ya, para pemilih 'kan harus punya "jumlah yang
pantas" untuk para pemenang: 10 lagu, 10 penyanyi tunggal, 5
penyanyi grup dan 5 komponis. Mengapa? Yah, kita toh
kemampuannya batasan, "seperti yang lain-lainnya itu." Karena
itu beberapa nama didrop beramai-ramai -- hanya karena jumlah
berlebih, biasa 'kan.
Bahwa lagu yang paling banyak disukai ternyata dari jenis rock,
Panggung Sandiwara (Ahmad Albar), tidak mengherankan para
pemilih sendiri. Dipikir-pikir, ia agaknya lagu rock pertama
yang dibikin orang Indonesia dan cocok dinyanyikan orang
Indonesia Sementara itu Tuhan (Syam Bimbo) terasa religius tanpa
lambang sesuatu agama. Lagu dengan lirik Taufiq Ismail ini juga
enak ketika dinyanyikan Lex Trio -- yang menduduki tempat
pertama sebagai penyanyi rombongan. Dan, jangan lupa, di sini
untuk pertama kalinya kata-kata Tuhan Yang Maha Esa dinyanyikan
tanpa mengingatkan kita pada sesuatu yang "resmi"...
Kidung (Chris Manusama), dalam pada itu lembut lewat suara
Chrisye dan menjadi aneh lewat suara PSP.
Dan siapa tak kenal Widuri? Entah karena apa tak ada telinga
yang tidak dimasuki lagu ini, ia terasa jenuh. Padahal Begadang
(Rhoma Irama) tidak anda masih bisa bergoyang.
Dan inilah hasil para pemilih:
Lagu:
þ Dunia Ini Panggung Sandiwara, Ahmad Albar
þ Tuhan (Syamsudin), Kidung (Chris M. Manusama), Begadang (Rhoma
Irama)
þ Berita Kepada Kawan (Ebiet G. Ade) Hidup Terkekang (Panbers),
Perjalanan (Franky & Jane)
þ Bimbi (Titiek Puspa)
þ Widuri (Adriadi)
þ Tukang Solder (Benyamin S.)
Penyanyi Tunggal:
þ Bob Tutupoly, Hetty Koes Endang, Benyamin S., Elvy Sukaesih,
Ahmad Albar, Berlian Hutauruk.
þ Broery Pesolima
þ Rhoma Irama
þ Emilia Contessa, Diana Nasution.
Penyanyi Kelompok:
þ Lex's Trio
þ Bimbo
þ Koes Plus, New Rollies
þ Gombloh
Komponis:
þ Titiek Puspa
þ Iwan Abdurrahman
þ A. Rianto
þ Guruh, Rinto Harahap
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini