APA yang berarti dari perjalanan musik pop kita selama sepuluh
tahun? Yang pertama kali harus dicatat tentu saja masuknya
kebudayaan kaset di awal tahun 70-an -- yang dalam tempo singkat
sanggup menerobos seluruh pelosok. Warga desa dalam kegelapan
tanpa listrik pun digerayanginya: kaset, cukup dengan baterai
dan tape tecorder yang enteng, bisa ditaruh dalam senthong alias
bilik bambu.
Tak ayal, para pemilik perusahaan piringan hitam -- yang hanya
bisa dilayani listrik -- dibikin pusing tujuh keliling. PT
Remaco misalnya sempat mengeluh: lagu-lagu Indonesia dalam
PH-nya dibajak kaset.
Namun, kita lihat bersama, keluhan hanya sebentar. Berbagai
perusahaan rekaman -- juga yang baru muncul -- serentak, bagai
gurita, memutar seribu belalai dan mengisap dan memuntahkan
mainan baru yang murah dan "merakyat" itu: kaset-kaset membanjir
ke mana-mana, begitu cepat dan mencengangkan.
Sekaligus keadaan itu bisa disebut akhir zaman kejayaan para
penyanyi yang mengorbit lewat PH: Tetty Kadi, Lilies Suryani,
Ernie Djohan, Anna Mathovani, Alfian, Dedi Damhudi, di tahun
60-an. Ini barangkali lebih merupakan kebetulan.
Juga kebetulan, yang pertama paling beruntung di "zaman baru"
adalah kelompok Koes Bersaudara -- yang pada 1969 mengubah nama
menjadi Koes Plus. Kawanan yang bangkit kembali itu -- yang
punya sejarah, selain punya kemanisan dalam musik dan liriknya
-- berkat kaset terasa hadir di setiap telinga dan bibir,
terutama di kalangan para remaja.
Memang, di awal 70-an itu beberapa nama dari masa sebelumnya
masih muncul samar-samar. Mereka misalnya Sitompoel Sisters,
Dara Puspita, Pattie Bersaudara, Benyamin S, Bob Tutupoly -- dan
hanya Ben dan Bob mampu bertahan (makin menggelembung, malah
dalam dasawarsa berikutnya. Masuk pula nama-nama baru: Broery
(waktu itu) Marantika, Titiek Sandhora & Muchsin, Emilia
Contessa, antara lain.
Di samping kecengengan yang masih melekat pada lagu-lagu mereka,
pengaruh The Beatles pun tetap dominan -- pada Koes Plus
misalnya. Juga The Cats, The Bee Gees, The Hollies, para pemusik
Barat yang baru muncul dengan segala kemanisan dan
kecengengannya punya pengaruh kuat.
Tapi jenis rock yang lain yang lebih keras, yang di Barat
diwakili misalnya oleh Grand Funk Railroads, Deep Purple, Led
Zeppelin dan Rolling Stones, di sini pun mendapat sambutan
gempita. Dari jenis ini misalnya tercatat Gypsi, Rollies, AKA,
Rhapsodia, Trenchem, kemudian Godbless. Mereka lebih merupakan
dunia tersendiri: bertahun-tahun tak ada yang masuk dunia
rekaman. Terutama barangkali karena yang mereka nyanyikan
lagu-lagu asing -- yang hanya laku di panggung yang riuh dan
berkeringat.
Grup yang kemudian menjadi saingan berat Koes Plus dalam
jenisnya, Pandjaitan Bersaudara (Panbers), di awal '72 muncul
dalam kaset yang terbilang laris, Kami Cinta Perdamaian.
Meskipun grup yang berdiri di Medan 1967 itu ternyata tak bisa
menggeser Koes Plus, toh ia memberi warna baru pada wajah musik
pop kita. Setidak-tidaknya, lirik di sini mulai bicara tentang
hal lain di luar tangis remaja patah hati. Warna kedaerahan
mereka (Batak) pun ikut hadir mendampingi kejawaan Koes Plus.
Generasi Flamboyan
Sementara itu, diam-diam Trio Bimbo dari Bandung yang tadinya
menyanyikan lagu-lagu Amerika Latin, menjelang akhir 60-an sudah
menancapkan bendera baru dengan rekaman pertamanya Flamboyan,
ciptaan Iwan Abdurrachman. Pengaruh lagu itu besar, seperti juga
lagu-lagu lainnya karya Iwan: Melati dari Jayagiri, Balada
Seorang Kelana.
Satu warna lagi telah muncul: membawa angin pegunungan dan bau
tanah asundan. Berkat Bimbo pula, lirik-lirik berbentuk balada
akhirnya dikenal dalam musik pop kita. Tapi grup ini benar-benar
mencuat setelah tampil dalam Pertemuan Sastrawan di TIM,
Desember 1972, dan memperdengarkan kebolehan memberi musik pada
puisi-puisi Taufiq Ismail, Wing Kardjo dan Ramadhan KH --
sekaligus itu menandai kesadaran dekatnya dunia pemusik dengan
dunia sastrawan, yang boleh sangat penting dalam hal lirik.
Dari Medan sebuah grup melejit: The Mercys, dengan kaset pertama
Mana Lagi. Laris bukan main, sampai sampai Remaco mencatatnya
sebagai grup yang pertama kali mengungguli Koes Plus di pasar.
Sukses itu hanya membuktikan kecengengan tetap lebih laku
dijual, dan gaya Charles Hutagalung yang menyanyi sambil
merintih-rintih menjadi pula rintihan remaja kita.
Sampai di sini tercatat satu hal grup telah menyisihkan penyanyi
tunggal. Sehingga, para pencipta yang semula menadi pensuplai
para penyanyi, praktis mati pasar. Misalnya A. Riyanto,
Wedhasmara, Mus K. Wirya.
Demikianlah 1973-1974 melahirkan banyak grup musik -- meski tak
semua laku atau berhasil ngetop. Tapi industri kaset dan
pertunjukan makin mendatangkan banyak uang. Dari segi terakhir
itu para pemusik rock keras juga mengalami rnasa panen.
Pertunjukan mereka di mana-mana dibanjiri penonton dan
mengundang histeria massa.
Gong Terakhir
Koes Plus yang mulai terdesak di pasaran pop, 1974 mulai
merintis jalan lain. Mereka menerbitkan dan memperkenalkan apa
yang mereka sebut "pop Jawa" -- meski hanya liriknya yang
berhasa Jawa. Sejak itu, sampai tahun-tahun terakhir '70-an,
bermunculan bermacam jenis "pop" Sunda, Batak, Minang, Melayu.
Memang, itu lebih disebabkan oleh kelatahan dan kerakusan para
produser mengeruk duit. Grup yang turut ambil bagian misalnya
Favorites dan D'Lloyd.
Sedikit banyak keadaan itu menggelisahkan -- dan mungkin
mematikan angin para pemuslk panggung yang garang. Hampir semua
grup musik rock jenis binal itu bubar terpaksa. Yang ingin tetap
bertahan segera menciptakan lagu-lagu sendiri -- dalam bahasa
Indonesia. Tercatat di antaranya Giant Step, SAS (pecahan AKA)
dan kemudian Godbless serta New Rollies di samping Bani Adam.
Tapi kaset mereka toh agak sulit dipasarkan, sudah dibilang.
Pementasan rock opera Ken Arok oleh Harry Rusli di Balai Sidang,
Jakarta, Agustus 1975, agaknya merupakan gong terakhir jenis
musik hingar-bingar itu --walaupun "opera"-nya bertahun-tahun
sesudah itu masih membekas.
Dan, seperti grup rock yang lain, akhirnya Harry juga berusaha
memasukkan unsur "indonesia" dalam musiknya. Tidak cuma bahasa.
Januari 1977 ia melemparkan album Titik Api: rock dengan gamelan
serta -- sebagaimana juga dituangkan dalam Ken Arok -- protes
keras, bahkan agak kasar. Ia muncul sesudah Frotes mbeling Remy
Sylado dalam saak-sajak maupun lagu-lagunya -- dan segi yang
"berani" itupun lantas menjadi wajah lain musik pop kita.
Beberapa bulan kemudian, beberapa orang bekas anggota Gypsi,
bersama Guruh Sukarnoputra melemparkan hasil kerja mereka
memadukan gamelan Bali dengan rock: Guruh-Gypsi. Cukup apik,
termasuk usaha yang berhasil. Penggarapan musiknya yang serius
dan teknik rekamannya yang baik menyebabkan kaset itu bisa
disebut karya terpenting dalam dasawarsa lampau.
Gemanya: tak cuma merangsang banyak pemusik lain berupaya
menggabung-gabungkan musik pentatonik dengan diatonik. Gaya dan
bahasa lirik Guruh pun punya pengaruh kuat pada syair-syair lagu
yang ditulis sesudah itu. Ruwet, bombastis, dan brrr . . .
Misalnya lirik-lirik lagu peserta atau pemenang Lomba Cipta Lagu
Remaja (LC LR) Prambors, diselenggarakan mulai 1977 -- walaupun
lagu-lagu yang menang di sana memang berpengaruh, selain
ternyata digemari. Dua di antaranya: Lilin-lilin Kecil (James
F. Sundah) dan Kidung (Chris M. Manusama).
Karena menyanyikan lagu-lagu itu pulalah nama Chrisye sebagai
penyanyi tunggal melejit -- sekaligus menandai kejayaan kembali
para solis -- dan surutnya grup, dengan beberapa kekecualian.
Tapi sebelum itu Chrisye memang mencuat ketika menyanyikan
lagu-lagu Eros Djarot dalam Badai Pasti Berlalu -- kaset yang
diakui beberapa pengamat membawa angin baru. Dan ketika Chrisye
tampil sendirian dalam kasetnya Sabda Alam, Oktober 1978,
kukuhlah kehadirannya.
Hampir bersamaan dengan Chrisye, Keenan Nasution, sesama ex
Gypsi, mengeluarkan lagu-lagunya dalam Di Batas Angan-Angan --
dengan corak yang berlainan. Pada Keenan masih kuat rocknya.
Musik Bertutur
Sementara itu, lagu-lagu yang muncul sebagai pemenang dalam
Festival Lagu Pop Indonesia (diselenggarakan sejak 1971, untuk
diikutsertakan pada festival lagu pop di Tokyo) juga menambah
keramaian. Setidak-tidaknya dari sana-sebagaimana dari LCLR --
muncul beberapa nama pencipta lagu baru, di samping lagunya
sendiri.
Misalnya lagu-lagu: Pergi untuk Kembali, Jumpa untuk berpisah,
Bila Cengkih Berbunga (Minggus Tahitoe). Cinta (Titiek Puspa),
Gubahanku (Gatot Sunyoto), Renjana (Guruh), Damai Tapi Gersang
(Adjie Bandi), Bahana Perdamaian (Baskoro), Waktu (Bagyo
Mangkuwiduro) dan Harmoni Kehidupan ( Ully Sigar Rusady).
Dari jenis yang lain -- golongan musik bertutur -- tercatat Leo
Kristie dari Surabaya. Meskipun ketika tampil di TIM Oktober
1976 lagu-lagu yang diciptakannya (berdasar lirik-lirik bikinan
sendiri, patriotis dan melambung) belum direkam, penampilannya
sudah memberi gema yang cukup panjang. Hanya ketika ia rekaman
-- dengan kualitas rekaman yang jelek -- kasetnya terbilang
seret. Dan Leo memang lebih cocok berhadapan langsung dengan
publiknya, yang fanatik.
Kemudian, duet kakak-beradik Franky & Jane hadir dengan irama
country. Pasangan itu melejit dengan album Musim Bunga, 1978.
Lalu ada Moogi Darusman, Aje Gile, Ully Sigar Rusady, Rimba
Gelap, dan terutama Ebiet G. Ade yang menyebar tak
tertahan-tahan.
Di luar kelompok yang disebut barusan, muncul pula pemusik
kontroversial tapi toh cukup berarti. Inilah: Orkes Moral
Pancaran Sinar Petromaks (PSP) -- pada nongol untuk
mengacak-acak lagu pop dan main-main dengan dangdut dengan gaya
sinting. Dari situ bermunculan "keberanian" para pelawak, untuk
menyanyi seenaknya sebagai bahan tertawaan: Jalal, Bagio cs.,
Reog BKAK misalnya. Pemusik berseloroh yang terakhir -- meski
belum begitu berkembang -- barangkali bisa disebut Iwan Fals.
Dan, belakangan ini, lagu-lagu melengking karya Rinto Harahap
begitu merajai pasaran. Bahkan ia bisa mengorbitkan penyanyi
baru yang membawakannya: Diana Nasution, Iis Sugianto, Nur Afni
Oktavia dan banyak lagi.
Dari Balik Kelambu
Di kubu lain yakni musik dangdut yang barangkali didukung
mayoritas rakyat, juga terjadi kehiruk-pikukan. Sejak Rhoma
Irama memasukkan unsur rock ke dalam dangdutnya secara njelimet
dan berhasil, wajah baru muncul di sana. Orkestrasi meningkat
sambil melompat di sini, dan popularitas luar biasa yang
berhasil disabetnya dengan Begadang, menyusul kemudian Rupiah,
Penasaran, Hak Asasi, misalnya, mengejutkan mereka yang tak
paham.
Sukses Begadang, diketahui, betul-betul sempat
menjungkirbalikkan para penyanyi pop umumnya. Lewat "tekanan
ekonomi", akhirnya berbondong-bondong semua berdangdut. Tak
terkecuali Achmad Albar yang tadinya berkeras hendak bertahan.
Tapi semua itu hanya mengukuhkan Rhoma, kemudian Elvie Sukaesih
dan A. Rafiq sebagai yang terbesar dalam kubu itu. Belakangan
muncul adik Albar, Camelia Malik dengan suaranya yang bagai
muncul dari balik kelambu Colak-Colek, Raba-Raba, Mana Tahan...
Masa 10 tahun rasanya begitu lama. Setidaknya, sudah
dinostalgiakan dalam kaset -- seakan sudah tercampak jauh. Dari
segi keriuhan barangkali ini periode paling dramatis banyak
guratan baru, banyak pemusik baru, banyak juga yang tergilas.
Popularitas seperti makin mudah, publisitas begitu luas -- dan
industri musik pesat maju. Banyak penyanyi seakan kaya mendadak
-- di samping yang tetap melarat. Sebuah dasawarsa yang kaya
warna, kira-kira.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini