Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

10 tahun dalam telinga

Di awal 70-an kaset merajai pasaran menggeser piringan hitam. selama satu dasawarsa terjadi perkembangan musik yang cepat. muncul grup-grup ngetop. para penyanyi yang mengorbit lewat ph mulai tenggelam. (ms)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang berarti dari perjalanan musik pop kita selama sepuluh tahun? Yang pertama kali harus dicatat tentu saja masuknya kebudayaan kaset di awal tahun 70-an -- yang dalam tempo singkat sanggup menerobos seluruh pelosok. Warga desa dalam kegelapan tanpa listrik pun digerayanginya: kaset, cukup dengan baterai dan tape tecorder yang enteng, bisa ditaruh dalam senthong alias bilik bambu. Tak ayal, para pemilik perusahaan piringan hitam -- yang hanya bisa dilayani listrik -- dibikin pusing tujuh keliling. PT Remaco misalnya sempat mengeluh: lagu-lagu Indonesia dalam PH-nya dibajak kaset. Namun, kita lihat bersama, keluhan hanya sebentar. Berbagai perusahaan rekaman -- juga yang baru muncul -- serentak, bagai gurita, memutar seribu belalai dan mengisap dan memuntahkan mainan baru yang murah dan "merakyat" itu: kaset-kaset membanjir ke mana-mana, begitu cepat dan mencengangkan. Sekaligus keadaan itu bisa disebut akhir zaman kejayaan para penyanyi yang mengorbit lewat PH: Tetty Kadi, Lilies Suryani, Ernie Djohan, Anna Mathovani, Alfian, Dedi Damhudi, di tahun 60-an. Ini barangkali lebih merupakan kebetulan. Juga kebetulan, yang pertama paling beruntung di "zaman baru" adalah kelompok Koes Bersaudara -- yang pada 1969 mengubah nama menjadi Koes Plus. Kawanan yang bangkit kembali itu -- yang punya sejarah, selain punya kemanisan dalam musik dan liriknya -- berkat kaset terasa hadir di setiap telinga dan bibir, terutama di kalangan para remaja. Memang, di awal 70-an itu beberapa nama dari masa sebelumnya masih muncul samar-samar. Mereka misalnya Sitompoel Sisters, Dara Puspita, Pattie Bersaudara, Benyamin S, Bob Tutupoly -- dan hanya Ben dan Bob mampu bertahan (makin menggelembung, malah dalam dasawarsa berikutnya. Masuk pula nama-nama baru: Broery (waktu itu) Marantika, Titiek Sandhora & Muchsin, Emilia Contessa, antara lain. Di samping kecengengan yang masih melekat pada lagu-lagu mereka, pengaruh The Beatles pun tetap dominan -- pada Koes Plus misalnya. Juga The Cats, The Bee Gees, The Hollies, para pemusik Barat yang baru muncul dengan segala kemanisan dan kecengengannya punya pengaruh kuat. Tapi jenis rock yang lain yang lebih keras, yang di Barat diwakili misalnya oleh Grand Funk Railroads, Deep Purple, Led Zeppelin dan Rolling Stones, di sini pun mendapat sambutan gempita. Dari jenis ini misalnya tercatat Gypsi, Rollies, AKA, Rhapsodia, Trenchem, kemudian Godbless. Mereka lebih merupakan dunia tersendiri: bertahun-tahun tak ada yang masuk dunia rekaman. Terutama barangkali karena yang mereka nyanyikan lagu-lagu asing -- yang hanya laku di panggung yang riuh dan berkeringat. Grup yang kemudian menjadi saingan berat Koes Plus dalam jenisnya, Pandjaitan Bersaudara (Panbers), di awal '72 muncul dalam kaset yang terbilang laris, Kami Cinta Perdamaian. Meskipun grup yang berdiri di Medan 1967 itu ternyata tak bisa menggeser Koes Plus, toh ia memberi warna baru pada wajah musik pop kita. Setidak-tidaknya, lirik di sini mulai bicara tentang hal lain di luar tangis remaja patah hati. Warna kedaerahan mereka (Batak) pun ikut hadir mendampingi kejawaan Koes Plus. Generasi Flamboyan Sementara itu, diam-diam Trio Bimbo dari Bandung yang tadinya menyanyikan lagu-lagu Amerika Latin, menjelang akhir 60-an sudah menancapkan bendera baru dengan rekaman pertamanya Flamboyan, ciptaan Iwan Abdurrachman. Pengaruh lagu itu besar, seperti juga lagu-lagu lainnya karya Iwan: Melati dari Jayagiri, Balada Seorang Kelana. Satu warna lagi telah muncul: membawa angin pegunungan dan bau tanah asundan. Berkat Bimbo pula, lirik-lirik berbentuk balada akhirnya dikenal dalam musik pop kita. Tapi grup ini benar-benar mencuat setelah tampil dalam Pertemuan Sastrawan di TIM, Desember 1972, dan memperdengarkan kebolehan memberi musik pada puisi-puisi Taufiq Ismail, Wing Kardjo dan Ramadhan KH -- sekaligus itu menandai kesadaran dekatnya dunia pemusik dengan dunia sastrawan, yang boleh sangat penting dalam hal lirik. Dari Medan sebuah grup melejit: The Mercys, dengan kaset pertama Mana Lagi. Laris bukan main, sampai sampai Remaco mencatatnya sebagai grup yang pertama kali mengungguli Koes Plus di pasar. Sukses itu hanya membuktikan kecengengan tetap lebih laku dijual, dan gaya Charles Hutagalung yang menyanyi sambil merintih-rintih menjadi pula rintihan remaja kita. Sampai di sini tercatat satu hal grup telah menyisihkan penyanyi tunggal. Sehingga, para pencipta yang semula menadi pensuplai para penyanyi, praktis mati pasar. Misalnya A. Riyanto, Wedhasmara, Mus K. Wirya. Demikianlah 1973-1974 melahirkan banyak grup musik -- meski tak semua laku atau berhasil ngetop. Tapi industri kaset dan pertunjukan makin mendatangkan banyak uang. Dari segi terakhir itu para pemusik rock keras juga mengalami rnasa panen. Pertunjukan mereka di mana-mana dibanjiri penonton dan mengundang histeria massa. Gong Terakhir Koes Plus yang mulai terdesak di pasaran pop, 1974 mulai merintis jalan lain. Mereka menerbitkan dan memperkenalkan apa yang mereka sebut "pop Jawa" -- meski hanya liriknya yang berhasa Jawa. Sejak itu, sampai tahun-tahun terakhir '70-an, bermunculan bermacam jenis "pop" Sunda, Batak, Minang, Melayu. Memang, itu lebih disebabkan oleh kelatahan dan kerakusan para produser mengeruk duit. Grup yang turut ambil bagian misalnya Favorites dan D'Lloyd. Sedikit banyak keadaan itu menggelisahkan -- dan mungkin mematikan angin para pemuslk panggung yang garang. Hampir semua grup musik rock jenis binal itu bubar terpaksa. Yang ingin tetap bertahan segera menciptakan lagu-lagu sendiri -- dalam bahasa Indonesia. Tercatat di antaranya Giant Step, SAS (pecahan AKA) dan kemudian Godbless serta New Rollies di samping Bani Adam. Tapi kaset mereka toh agak sulit dipasarkan, sudah dibilang. Pementasan rock opera Ken Arok oleh Harry Rusli di Balai Sidang, Jakarta, Agustus 1975, agaknya merupakan gong terakhir jenis musik hingar-bingar itu --walaupun "opera"-nya bertahun-tahun sesudah itu masih membekas. Dan, seperti grup rock yang lain, akhirnya Harry juga berusaha memasukkan unsur "indonesia" dalam musiknya. Tidak cuma bahasa. Januari 1977 ia melemparkan album Titik Api: rock dengan gamelan serta -- sebagaimana juga dituangkan dalam Ken Arok -- protes keras, bahkan agak kasar. Ia muncul sesudah Frotes mbeling Remy Sylado dalam saak-sajak maupun lagu-lagunya -- dan segi yang "berani" itupun lantas menjadi wajah lain musik pop kita. Beberapa bulan kemudian, beberapa orang bekas anggota Gypsi, bersama Guruh Sukarnoputra melemparkan hasil kerja mereka memadukan gamelan Bali dengan rock: Guruh-Gypsi. Cukup apik, termasuk usaha yang berhasil. Penggarapan musiknya yang serius dan teknik rekamannya yang baik menyebabkan kaset itu bisa disebut karya terpenting dalam dasawarsa lampau. Gemanya: tak cuma merangsang banyak pemusik lain berupaya menggabung-gabungkan musik pentatonik dengan diatonik. Gaya dan bahasa lirik Guruh pun punya pengaruh kuat pada syair-syair lagu yang ditulis sesudah itu. Ruwet, bombastis, dan brrr . . . Misalnya lirik-lirik lagu peserta atau pemenang Lomba Cipta Lagu Remaja (LC LR) Prambors, diselenggarakan mulai 1977 -- walaupun lagu-lagu yang menang di sana memang berpengaruh, selain ternyata digemari. Dua di antaranya: Lilin-lilin Kecil (James F. Sundah) dan Kidung (Chris M. Manusama). Karena menyanyikan lagu-lagu itu pulalah nama Chrisye sebagai penyanyi tunggal melejit -- sekaligus menandai kejayaan kembali para solis -- dan surutnya grup, dengan beberapa kekecualian. Tapi sebelum itu Chrisye memang mencuat ketika menyanyikan lagu-lagu Eros Djarot dalam Badai Pasti Berlalu -- kaset yang diakui beberapa pengamat membawa angin baru. Dan ketika Chrisye tampil sendirian dalam kasetnya Sabda Alam, Oktober 1978, kukuhlah kehadirannya. Hampir bersamaan dengan Chrisye, Keenan Nasution, sesama ex Gypsi, mengeluarkan lagu-lagunya dalam Di Batas Angan-Angan -- dengan corak yang berlainan. Pada Keenan masih kuat rocknya. Musik Bertutur Sementara itu, lagu-lagu yang muncul sebagai pemenang dalam Festival Lagu Pop Indonesia (diselenggarakan sejak 1971, untuk diikutsertakan pada festival lagu pop di Tokyo) juga menambah keramaian. Setidak-tidaknya dari sana-sebagaimana dari LCLR -- muncul beberapa nama pencipta lagu baru, di samping lagunya sendiri. Misalnya lagu-lagu: Pergi untuk Kembali, Jumpa untuk berpisah, Bila Cengkih Berbunga (Minggus Tahitoe). Cinta (Titiek Puspa), Gubahanku (Gatot Sunyoto), Renjana (Guruh), Damai Tapi Gersang (Adjie Bandi), Bahana Perdamaian (Baskoro), Waktu (Bagyo Mangkuwiduro) dan Harmoni Kehidupan ( Ully Sigar Rusady). Dari jenis yang lain -- golongan musik bertutur -- tercatat Leo Kristie dari Surabaya. Meskipun ketika tampil di TIM Oktober 1976 lagu-lagu yang diciptakannya (berdasar lirik-lirik bikinan sendiri, patriotis dan melambung) belum direkam, penampilannya sudah memberi gema yang cukup panjang. Hanya ketika ia rekaman -- dengan kualitas rekaman yang jelek -- kasetnya terbilang seret. Dan Leo memang lebih cocok berhadapan langsung dengan publiknya, yang fanatik. Kemudian, duet kakak-beradik Franky & Jane hadir dengan irama country. Pasangan itu melejit dengan album Musim Bunga, 1978. Lalu ada Moogi Darusman, Aje Gile, Ully Sigar Rusady, Rimba Gelap, dan terutama Ebiet G. Ade yang menyebar tak tertahan-tahan. Di luar kelompok yang disebut barusan, muncul pula pemusik kontroversial tapi toh cukup berarti. Inilah: Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (PSP) -- pada nongol untuk mengacak-acak lagu pop dan main-main dengan dangdut dengan gaya sinting. Dari situ bermunculan "keberanian" para pelawak, untuk menyanyi seenaknya sebagai bahan tertawaan: Jalal, Bagio cs., Reog BKAK misalnya. Pemusik berseloroh yang terakhir -- meski belum begitu berkembang -- barangkali bisa disebut Iwan Fals. Dan, belakangan ini, lagu-lagu melengking karya Rinto Harahap begitu merajai pasaran. Bahkan ia bisa mengorbitkan penyanyi baru yang membawakannya: Diana Nasution, Iis Sugianto, Nur Afni Oktavia dan banyak lagi. Dari Balik Kelambu Di kubu lain yakni musik dangdut yang barangkali didukung mayoritas rakyat, juga terjadi kehiruk-pikukan. Sejak Rhoma Irama memasukkan unsur rock ke dalam dangdutnya secara njelimet dan berhasil, wajah baru muncul di sana. Orkestrasi meningkat sambil melompat di sini, dan popularitas luar biasa yang berhasil disabetnya dengan Begadang, menyusul kemudian Rupiah, Penasaran, Hak Asasi, misalnya, mengejutkan mereka yang tak paham. Sukses Begadang, diketahui, betul-betul sempat menjungkirbalikkan para penyanyi pop umumnya. Lewat "tekanan ekonomi", akhirnya berbondong-bondong semua berdangdut. Tak terkecuali Achmad Albar yang tadinya berkeras hendak bertahan. Tapi semua itu hanya mengukuhkan Rhoma, kemudian Elvie Sukaesih dan A. Rafiq sebagai yang terbesar dalam kubu itu. Belakangan muncul adik Albar, Camelia Malik dengan suaranya yang bagai muncul dari balik kelambu Colak-Colek, Raba-Raba, Mana Tahan... Masa 10 tahun rasanya begitu lama. Setidaknya, sudah dinostalgiakan dalam kaset -- seakan sudah tercampak jauh. Dari segi keriuhan barangkali ini periode paling dramatis banyak guratan baru, banyak pemusik baru, banyak juga yang tergilas. Popularitas seperti makin mudah, publisitas begitu luas -- dan industri musik pesat maju. Banyak penyanyi seakan kaya mendadak -- di samping yang tetap melarat. Sebuah dasawarsa yang kaya warna, kira-kira.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus