TAN Chin Hoat, ayah bekas pemain PSSI, Tanoto, terkenal juga
dulu di stadion. Dalam usianya menjelang 78 tahun, ia memang
tidak bermain sepakbola lagi.
Tahun 1925, "Saya masih muda waktu itu, jadi korban permainan
kasar. Saya menghadap seorang ahli pijat. Sambil berobat, saya
perhatikan bagaimana teknik pijat itu," ungkap Chin Hoat. Sejak
itu ia dapat panggilan memperdalam pengetahuan ilmu faal tubuh
(anatormi). Kemudian ia menjadi tukang pijat di SUB (Persebaya)
Surabaya.
Sampai sekarang Tan Chin Hoat masih membuka praktek pijat di
rumahnya, Jalan Lembang Jakarta. Sebagian pasiennya tidak
dikenakan bayaran. Banyak pula orang yang pernah berguru
padanya, tapi yang dianggapnya lulus baru 10 orang. Termasuk
beberapa lulusan Fakultas Kedokteran. "Pada prinsipnya kami
melakukan pijat untuk sosial," kata Rudy Pekerti yang baru lulus
jadi dokter.
Atlet yang pernah dipijat di rumah Chin Hoat banyak. "Kami tidak
ingat namanya. Sebab, kalau mereka datang kemari, yang
ditanyakan sakitnya, bukan namanya," kata Chin Hoat.
Selain olahragawan, Tan Chin Hoat dan murid-muridnya juga biasa
menerima pasien umum. Jenderal (purn.) A.H. Nasution yang
keseleo kakinya sewaktu melarikan diri dari sergapan Gestapu
tahun 1965 pernah diurut Tan Chin Hoat. Di rumahnya memang
terpajang sebuah piagam penghargaan dari Nasution karena jasanya
itu.
Tapi Tan Chin H oat masih mengeluh. Perhatian organisasi
olahraga Indonesia, katanya, masih kurang terhadap masseur
atlet.
Di sekolah olahraga, pijat tentu termasuk pelajaran yang
penting. Pijat memang tidak akan membuat olahragawan lebih kuat,
"tapi dapat membuatnya lebih berada dalam kesegaran," kata Drs.
Sutrisno, dosen STO Jakarta.
Di STO, antara lain mahasiswa diharuskan menguasai ilmu faal
tubuh (anatomi), ilmu hayat (fisiologi) dan ortopedi (ilmu
tulang). Kemudian pada mereka diajarkan teknik pijat yang
disebut grip. Jenis grip bermacam-macam. Ada skin rolling (kulit
diplintir dengan jari), eflorase (menekan sambil menggosok
pembuluh darah balik -- vena -- ke arah jantung), petrisake
(memijat dengan meremas-remas setumpuk otot/daging), friksi
(tekan otot sambil diputar seperti mencubit), shaking (tekan
otot lalu digoyang-goyang), dan sebagainya.
Feeling & Touch
Untuk menjadi pemijat yang baik, memang tidak sembarang orang
berbakat. "Ia harus mempunyai feeling dan touch yang baik," kata
Sutrisno. Ia sendiri pernah menjadi peminat pembalap sepeda di
IPSI, kemudian atlet bulutangkis di PBSI. "Tjuntjun, Ivanna,
Ruth Damayanti, Taty Sumirah pernah datang ke sini," kata
Sutrisno yang mendiami perumahan dosen STO di Senayan.
Olahraga di Indonesia memang masih banyak bersifat amatir,
sehingga dari pemijat pun dituntut amatirisme. "Mungkin karena
itu tidak banyak lulusan STO ingin jadi masseur," kata Sutrisno
yang kini juga menjadi pemijat di klub Galatama Arseto.
Rekannya, yang sama-sama belajar pijat ala Swedia dari E.
Thiells di RS Pusat Cacad Yogya, Idi Hadian menjadi juru pijat
klub Warna Agung. Juga menjadi masseur PSSI, Idi Hadian
mengatakan, "Atlet olahraga body-contact, seperti sepakbola,
basket dan karate, perlu didampingi masseur."
Atlet memang bisa memanfaatkan panti pijat tradisional, "tapi
segi teknik pijat olahragawan tidak dikuasai semua juru pijat di
situ," kata Idi Hadian yang sering diundang menatar kaum
tunanetra.
Nasihatnya antara lain: bagian yang sakit atau memar, tidak
boleh dipijat. Masseur harus mencari pangkal otot. Kalau keseleo
di engsel kaki, pangkal otot di bawah lutut yang dipijat.
Keseleo di lutut atau memar di paha, pangkal otot di bawah
pinggullah yang harus dipijat. "Kalau kita memijat bagian yang
memar, kita akan menambah rangsangan nyeri. Apalagi kalau tulang
di bagian itu retak, pijatan di situ mungkin semakin
menghancurkan tulang," demikian Idi Hadian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini