Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM terus mengembang dari bibir tebalnya. Kegembiraan Christine Ohuruogu, 23 tahun, tak berbatas lagi. Akhir November lalu, pelari spesialis 400 meter asal Inggris ini beroleh kado istimewa. Komite Olimpiade Inggris mencabut hukuman larangan seumur hidup untuk tampil di Olimpiade yang semula membelit kariernya. Lampu hijau sudah menyala. Dia pun boleh tampil di Beijing tahun depan.
Ini kado yang kedua. Juli lalu, larangan bertanding membela Inggris di ajang atletik selama setahun sudah berakhir. Dosa Ohuruogu memang bejibun. Dia kerap kali mangkir dalam tes doping. Pertama dilakukan pada Oktober 2005 kemudian Juni 2006. Karena ulahnya, dia kena damprat federasi atletik internasional, dan komite olimpiade negeri itu melarangnya setahun tidak boleh bertanding di ajang kejuaraan internasional.
Sedih sudah pasti. Usianya masih muda. Kariernya masih teramat panjang. Dia mengajukan banding sambil menyodorkan berbagai alasan kenapa dia ogah melakukan tes doping. Perempuan keturunan Nigeria ini pun punya kartu truf: kalau hukumannya tidak dicabut, dia akan membela negara lain. Nah, taktiknya cespleng. Ohuruogu memang salah satu andalan negeri itu untuk merebut medali emas.
Izin dikeluarkan. Dia boleh mengenakan sepatu lagi. Juli lalu namanya langsung masuk dalam daftar tim atletik Inggris di kejuaraan dunia di Osaka, Jepang. Bayarannya kontan: medali emas untuk nomor 400 meter dikalungkan di lehernya. Ia juga punya target yang lebih bergengsi, Olimpiade Beijing.
Ohuruogu memang istimewa. Sangat jarang terjadi di belahan bumi mana pun, seorang atlet yang kena skorsing bisa langsung mencatat prestasi. Bagi mereka, yang pernah kena kartu merah seperti itu, beban di pundak terasa sangat berat. Bukan semata karena kurang latihan dan lawan tanding, namun sorotan media dan cap bekas pesakitan menjadi beban lain yang sulit dihilangkan.
Contohnya banyak. Ben Johnson salah satunya. Pelari Kanada yang wajahnya lebih cocok bertarung di ring tinju ini kedapatan memakai doping saat berlari di ajang Olimpiade Seoul 1988. Catatan waktunya fantastis, jarak 100 meter dia tempuh dalam waktu 9,79 detik. Namun, ternyata rekor itu hanya bertahan tiga hari. Dalam urinenya terdapat zat terlarang, stanozol. Medali emasnya pun diambil lagi dan dia diskors.
Pada 1991, dia berusaha come back. Hasilnya? Dengkulnya tak lagi bisa menopang tubuhnya. Larinya pun boyot. Bentastic, julukan yang pernah didapatnya, hanya bisa mencapai prestasi tertinggi mencapai semifinalis pada nomor 100 meter di Olimpiade Barcelona pada 1992.
Demi mengembalikan pada performanya, eh, dia kembali melakukan kesalahan. Tahun berikutnya, dia kembali tertangkap basah memakai doping. Hal ini sungguh memalukan, sampai-sampai pejabat atletik di negeri itu mengusulkan agar kewarganegaraannya dicabut dan dikembalikan ke negeri asalnya: Jamaika. ”Benar-benar menjengkelkan,” kata Johnson. Sejak itulah namanya menghilang dari peredaran.
Hal yang sama dialami bintang sepak bola Argentina, Diego Maradona. Setelah positif ketahuan memakai doping di Piala Dunia 1994, dia berusaha kembali. Sayang, fisiknya sudah tak muda lagi. Kokain dilirik kembali. Yang terjadi, kariernya pupus.
Melakukan doping dalam dunia olahraga bukan lagi sekadar perkara kejujuran, melainkan sudah termasuk kejahatan. Semata pula tidak saja karena berlaku curang, tapi juga membahayakan atlet sendiri. Dalam jangka panjang, semua zat yang dipakai untuk kegiatan ini menimbulkan efek buruk bagi pemakainya. Tak beda dengan narkotik.
Badan pengawas doping pun saklek. Mereka yang ketahuan melakukan doping tanpa ampun segera dikenai hukuman berat. Sedangkan yang mangkir ikut tes doping sama saja. Mereka yang ogah dites karena khawatir ketahuan melakukan kejahatan itu, hukumannya pun sama beratnya.
Walau demikian, tetap saja sulit untuk membendung kecurangan ini. Atlet atau pelatih menginginkan prestasi yang luar biasa. Untuk itulah doping dilakukan. Semasa berlangsung perang dingin, negara-negara Blok Timur disinyalir melakukan doping massal pada atletnya. Hal itu terungkap sesaat setelah Jerman Timur jatuh. Dari dokumen yang ditemukan, doping merupakan hal yang direstui negara. Program pemacu prestasi ini dikenal dengan nama State Plan 14.25.
Kini, dunia sudah berubah, tapi tetap saja sulit untuk mengusir doping dari gelanggang olahraga. Persaingan yang ketat di dunia ini membuat mereka mendekati usaha instan ini. Sadar atau tidak. Martina Hingis, 27 tahun, adalah contoh mutakhir.
Upaya untuk kembali ke orbit tenis dunia berakhir dengan sendu. Saat bertanding di Wimbledon tahun ini, tiba-tiba ada kabar yang mengenaskan. Hasil tesnya menunjukkan ada kokain dalam urinenya. Padahal, menurut pengakuannya, dirinya tidak pernah menggunakan obat-obatan atau zat yang tergolong doping.
Petenis yang sempat bertakhta sebagai nomor wahid ini mati-matian membela diri. Bahkan bersumpah bahwa dirinya sangat anti dengan bentuk kecurangan seperti itu. ”Hasil tes saya memang positif tapi, sungguh, saya tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan. Saya merasa 100 persen tidak bersalah,” katanya.
Boleh saja dia berargumentasi bahkan sampai menangis darah, hasil tes berkata lain. Namun, dunia pun tahu bahwa setelah tersandung cedera, dia berusaha untuk tampil kembali ke arena tenis dunia. Kekuatannya sudah jelas menurun, selain faktor usia pemain muda yang lebih bertenaga sulit untuk dihindari. Bukan hal yang mustahil bila dia melirik obat-obatan terlarang.
Keputusan pun diambilnya. November lalu, dia mengundurkan diri. Hingis ogah memperbaiki nama baiknya yang sudah koyak. Untuk itu, bisa makan waktu bertahun-tahun, memang. Jadi, keputusan yang terbaik adalah mundur. ”Saya tidak muda lagi. Lagi pula saya memiliki masalah dengan kesehatan. Lebih baik saya mundur saja dari tenis profesional,” katanya.
Martina pergi, Sesil Karatantcheva pun datang. Petenis berusia 18 tahun ini, justru tengah menggumpal semangatnya untuk kembali berlaga. Dia baru saja terbebas dari hukuman tidak boleh bertanding. Dua tahun lalu, dia tersandung kasus steroid nandrolone. ”Tiap orang bisa saja berbuat salah. Mereka yang melakukan pemeriksaan doping juga kan manusia,” katanya.
Saat berusia 15 tahun, Karatantcheva punya prestasi gemilang. Saat itu, ia sudah menduduki peringkat 35. Dalam Prancis Terbuka, dia berhasil menyelonong hingga ke babak perempat final sebelum ditaklukkan Venus Williams, jawara tenis saat itu. Namun, nasib berkata lain. Di ajang itu dia gagal lolos tes doping. Sama seperti Hingis, dia menyatakan dirinya tidak bersalah. Zat itu secara alami diproduksi tubuhnya saat dia melakukan aborsi. ”Yeah, saya sudah mengalami pubertas,” katanya. Salah gaul lagi.
Selepas hukuman, Karatantcheva pun mencoba kembali lagi. Berhasilkah? Tentu tidak mudah. Tersendatnya Hingis bisa jadi contoh. Dia benar-benar harus memulai dari bawah, termasuk bermain di turnamen kelas bawah. ”Memang begitu. Saya sudah menunggu kesempatan ini lama. Tidak masalah kalaupun saya harus bermain di turnamen yang hanya menyediakan hadiah 5.000 dolar,” ujarnya.
Tapi, anak muda ini punya semangat. Selama dalam masa skorsing, dia bekerja keras. Cita-citanya dia ingin kembali masuk ke orbit petenis dunia. Latihan spartan, yang jauh lebih keras dari yang pernah dilakukannya sebelumnya, dijalani di sebuah tempat di Pravets, di luar Kota Sofia, Bulgaria. Lawan tandingnya adalah petenis pria, termasuk mereka yang menjadi wakil untuk Piala Davis dari negerinya.
Impiannya kini dia bisa kembali ke ajang yang pernah melambungkan namanya. ”Aku masih punya jalan yang panjang. Usiaku baru 18. Lagi pula, sekarang aku sudah dewasa.”
Hasilnya belum lagi ketahuan, namun pencabutan statusnya sebagai atlet terlarang membuat semangatnya kian menggebu-gebu. Dia bagai banteng yang siap menanduk. Pun demikian dengan Ohuruogu. Bagi dia, surat bebas itu menjadi modal besar. ”Saya siap untuk berlari untuk Inggris di Beijing,” katanya. Janjinya, medali emas akan dibawanya pulang.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo