Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebangkitan Syiah; Islam, Konflik dan Masa Depan Penulis: Vali Nasr Penerjemah: M. Ide Murteza Penerbit: Diwan, Agustus 2007
Hipotesis yang diajukan buku ini tergolong berani dan radikal. Vali Nasr, penulisnya, sampai pada kesimpulan akhir bahwa fenomena politik yang sedang berkembang di Irak pasca-invasi Amerika Serikat ke negeri itu akan menjadi titik awal bangkitnya Islam Syiah. Bukan hanya pada tingkat nasional, tapi juga pada lingkup regional dan bahkan global.
Vali Nasr, putra salah satu intelektual besar Islam dewasa ini, Sayyed Husein Nasr, memberikan segenap catatan di belakang hipotesisnya. Dan yang paling mendasar: corak dan warna Syiah Iran dan Irak amatlah tak sama. Yang kedua cenderung lebih moderat dalam hal konsep keislaman dan visi politik. Sejarah membuktikan bagaimana Syiah Irak tak terprovokasi oleh bara revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini.
Memang, ”tekstur” politik kedua negara tak sama, sehingga tak semudah itu bisa melakukan proses replikasi dan adopsi strategi politik revolusioner di Irak. Yang jelas, visi dan praktek politik Syiah Irak yang relatif lebih moderat dan ”kalem” ini—selain membuat revolusi sulit berkobar di sana—juga merupakan hasil pengaruh paradigma teologis yang mereka anut.
Karakter inilah yang, bagi Vali, membuat Syiah Irak akan lebih mudah diterima dan lebih efektif untuk melakukan penetrasi secara lebih luas dan mendalam, baik dalam lingkup politik maupun ranah sosial dan budaya. Dan inilah salah satu indikasi yang memungkinkan kebangkitan Syiah.
Pada saat revolusi Islam bergulir, panggung politik Syiah Iran diwarnai tak hanya oleh satu faksi. Sama dengan kondisi Irak saat ini. Bedanya, dalam praktek politik di Iran, kemudian terjalin fusi antarfaksi politik, yang kemudian meminggirkan faksi lain yang tak sevisi. Figur Khomeini pun mencuat ke titik puncak sebagai panutan politik sekaligus penentu arah jalur politik negeri itu pasca-revolusi.
Syiah Irak sendiri terpecah dalam berbagai faksi yang berbeda aspirasi. Belum tercapainya kesatuan visi politik, tak munculnya kekuatan dominan sebagai hasil fusi antarfaksi, serta tak lahirnya tokoh ”Khomeini kedua”, semua ini menunjukkan keragaman visi, dengan serpihan kekuatan yang relatif merata. Beda dengan Syiah Iran.
Salah satu yang paling sentral dalam buku ini adalah usaha Vali mengangkat figur Ayatullah Sistani sebagai ulama yang merepresentasi corak moderat Syiah Irak, dan membandingkannya dengan Khomeini. Pada beberapa sisi, Vali menarik garis pembeda antara Sistani dan Khomeini.
Vali seakan hendak menegaskan bahwa kiprah serta peran politik Sistani saat ini sama dengan Khomeini di Iran dahulu, tapi dengan corak yang berbeda. Tesis ini dalam konteks tertentu dapat dibenarkan. Sebab, besarnya keleluasaan yang disediakan konsep teologi Syiah membuat berbagai fenomena politik di ”negara” Syiah tak lepas dari peran strategis mullah sebagai figur penggeraknya.
Tapi penilaian Vali terhadap Sistani ini harus diakui terasa sedikit berlebihan. Ada kesan, Vali terpancing menampilkan seorang ulama tunggal yang menjadi panutan di panggung politik, sebagaimana halnya revolusi Iran dengan Khomeininya. Bukankah itu salah satu garis pembeda Syiah Irak dengan Iran? Di sini, Vali menampilkan paradoks.
Dalam konteks yang luas, sebenarnya penulis buku ini hendak menegaskan bahwa Syiah tidaklah monolitik, baik dalam konsep keislamannya (teologi dan fikih) maupun visi politiknya. Apa yang sedang ditampilkan Syiah Irak saat ini mengarah pada pembuktian hal itu: munculnya sebuah Syiah dengan cita rasa yang lebih moderat dan beraroma politik, lebih plural.
Vali memberikan analisis sosio-historis seputar konflik Syiah dan Sunni. Ia hendak menegaskan bahwa upaya untuk tak mengulang sejarah kelam tersebut terbuka lebar, dengan terjalinnya sebuah proses relasi, komunikasi, serta kerja sama yang bersandarkan pada visi keislaman yang terbuka, plural, dan moderat dari kedua belah pihak (Sunni dan Syiah). Syiah Irak salah satu prospeknya. Sesederhana itukah persoalannya? Kita lihat perkembangan Syiah (di) Irak.
Muhamad Ja’far, peneliti di LP3ES
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo