Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRIA berambut agak gondrong itu memandang saya dengan ragu. Sekitar tujuh meter kami berjarak. Di sampingnya seorang gadis, berkulit mulus, bersepatu bot dan berjaket, serta leher terlilit sal. Pipinya merah merona diterpa angin musim dingin Shanghai, suatu sore akhir November silam.
Akhirnya si pria mendatangi saya. Saya tahu maksudnya. ”Foto?” kata saya sambil melirik kamera digital di tangan pemuda yang wajahya mirip Jerri Yan, pemeran Tao Ming She, dalam Meteor Garden, yang di Indonesia pernah sangat populer.
Sang ”Tao Ming She” menyeringai senang. ”Cu, cu, cu...,” ujarnya seraya menunjuk gedung yang menjulang di seberang Sungai Huangpu. ”Cu, cu, cu...,” katanya lagi sambil menuding beberapa kapal yang hilir-mudik di sungai yang panjangnya sekitar 1.114 kilometer dengan lebar 40 meter dan menjadi ”jantung pelayaran” di Shanghai. Saya tahu maksudnya, ingin difoto dengan dua pemandangan itu.
Lantas dengan sigap pasangan ini bergaya. Sang gadis dengan manja menggelendot di pundak si ”Tao Ming She”. Sembari mencari pose yang pas, kedua insan ini, di depan saya, beberapa kali beradu bibir. ”Klik, klik, klik....” Selesai sudah tugas saya ”membahagiakan” mereka.
Empat hari berada di kota berpenduduk sekitar 14 juta itu, dua hal terekam di benak saya. Pertama, generasi muda negeri itu cukup ekspresif dalam mengutarakan kasih-sayang. Kedua, bisa jadi warga Jakarta lebih mudeng bahasa Inggris ketimbang para ”Shanghaines”. Sopir taksi atau karyawan, jika diajak berbahasa Inggris atau ditunjukkan peta dengan tulisan Latin, akan lebih banyak geleng-geleng kepala—lantas ngeloyor—ketimbang mengangguk. Beruntung, sebelum terbang ke kota ini, seorang teman di Hong Kong sudah wanti-wanti: ”Kalau ke Shanghai jangan ngomong Inggris. Tunjukkan saja nama tempat yang dimaksud dalam tulisan Cina, dijamin lancar.”
THE Bund, tempat yang saya kunjungi itu, merupakan satu dari sepuluh tempat wisata yang paling ”top” di Shanghai. The Bund adalah salah satu kawasan tertua di Shanghai. Para penguasa asing yang ”menguasai” Shanghai—Inggris, Prancis, juga Rusia—membangun The Bund menjadi pusat perkantoran, bank, dan kantor berita. Dari sinilah para penguasa itu ”mengendalikan” Shanghai. Wilayah The Bund berkembang sejak abad ke-18. Karena itulah corak arsitektur di situ aneka ragam: dari gaya gothic, baroque, hingga renaisassance. Semua berpadu, berjejer di tepi Jalan Zhingshan, yang panjangnya sekitar satu kilometer.
Ada sekitar 52 bangunan tua peninggalan pemerintahan kolonial yang berjejer di Zhingshan. Sebagian di antara gedung itu kini disewakan kepada perusahaan swasta atau dipakai pemerintah Cina. ”Pemerintah melindungi gedung ini dan melarang keras siapa pun mengubah bentuk aslinya,” ujar Y. Cheung, teman saya yang bekerja di sebuah media di Cina. ”Hukuman berat dijatuhkan buat yang melanggar,” katanya lagi.
Menurut dia, pemerintah kota Shanghai memeriksa gedung-gedung itu. ”Jika ada kerusakan, bisa langsung memperbaiki,” ujarnya. Ketika Cheung berkisah tentang hal itu, saya teringat sejumlah gedung peninggalan Belanda di kawasan Jakarta Kota. Di kawasan ini, banyak gedung yang bentuknya tak kalah indahnya dengan di Zhingshan, tapi nasibnya mengenaskan. Saya ingat sebuah gedung yang kini dijadikan museum, dindingnya makin lama makin keropos lantaran sering terendam banjir.
Paling enak menikmati pemandangan The Bund dari jembatan Sungai Huangpu, yang terletak sekitar 100 meter dari Jalan Zhingshan. Huangpu, yang di airnya tak terlihat sampah terapung sedikit pun, memisahkan The Bund dengan kawasan Pudong. Inilah kawasan masa depan Shanghai. Di sini bertumbuhan gedung yang seperti berlomba menggapai langit. Misalnya Oriental Pearl TV Tower setinggi 468 meter dan merupakan menara televisi tertinggi ketiga di dunia, serta Menara jin Mao yang terdiri dari 88 tingkat dan tingginya 420 meter.
Dari tepi Huangpu ini Shanghai tampil dalam dua wajahnya. Di sebelah barat, Shanghai tempo dulu dengan bangunan tua yang didominasi warna kecokelatan. Sebelah timur, gedung-gedung pencakar langit yang dindingnya didominasi warna keperakan. Malam hari, di Pudong penuh gemerlap lampu, hingga ke pucuk-pucuk gedungnya, di Jalan Zhingshan, hanya kesunyian yang ada.
Pemerintah kota Shanghai memang menjual kawasan ini untuk turis. Yang paling meriah memang areal di tepi Sungai Huangpu. Setiap hari tak kurang dari seribu turis lokal mampir ke tempat ini: karyawan, rombongan anak sekolah, dan, itu tadi, pasangan dimabuk asmara. Tempat ini memang disebut-sebut tempat paling romantis di Shanghai. Menjelang sore, tatkala matahari mulai tenggelam, kawasan ini menyuguhkan panorama menarik: air sungai yang keperakan, satu-dua kapal yang melintas malas, serta gedung-gedung yang mulai memamerkan lampunya. ”Siapa pun yang punya kekasih pasti ingin ingin membawanya ke Huangpu,” kata Cheung.
TAK hanya The Bund yang membuat saya harus kagum pada cara pemerintah Shanghai merawat—dan menjual—”sejarah” mereka. Dipicu rasa penasaran dengan cerita teman bahwa seharusnya Taman Sari di Yogyakarta ”berguru” pada Yuyuan Garden, saya melangkahkan kaki ke sana. Tempatnya sekitar satu kilometer di sebelah barat The Bund.
Di areal seluas dua hektare, Yuyuan Garden dibangun pada zaman dinasti Ming oleh Pan Yun Duan, seorang pegawai kerajaan, pada 1559, sebagai hadiah untuk ayahnya, seorang pejabat kerajaan. Pan membangun taman ini selama 19 tahun. Yu dalam bahasa Cina berarti ”damai”.
Setiap bangunan dilengkapi dengan taman dari batu-batuan dengan air yang tak henti-hentinya mengalir, khas ”gaya” dinasti Ming. Sebagai simbol keperkasaaan dan keabadian, Pan menghias dinding-dinding pembatas tamannya dengan naga. Dibutuhkan sedikitnya dua jam untuk ”masuk-keluar,” bangunan di taman ini.
Taman ini juga pernah menjadi korban huru-hara. Pada awal abad ke-19, sejumlah bangunannya rusak terkena dampak perang saudara. Pada 1949, pemerintah Cina, yang lantas menetapkan taman ini sebagai salah satu peninggalan budaya, mulai merenovasi Yuyuan. Pada 1961, Yuyuan dibuka untuk umum dan pemerintah menjaga kebersihan serta keasrian tempat ini dengan ketat.
Masuk ke Yuyuan, kita seperti masuk ke Cina masa silam. Suasana hening langsung menyergap kendati taman ini terletak di tengah hiruk-pikuk Shanghai. Saya menduga teredamnya kebisingan ini karena taman ini dilindungi batu-batu putih, seperti batu karang, yang disusun hingga ketinggian 14 meter. Bangunan-bangunan resik berdiri kukuh di atas kolam yang di bawahnya berseliweran ikan emas.
Bangunan dalam taman ini bak ”miniatur” kecil istana raja. Di depan pintu masuk, ada bangunan utama yang dulu dipakai Pan senior mengumumkan perintah untuk anak buahnya. Lalu ada ruang rapat, ruang perpustakaan, tempat latihan kungfu, hingga ruang menghibur tamu yang di depannya ada panggung. Di pojok belakang ada istana kecil yang dibangun di atas batu-batu setinggi sekitar 10 meter. Konon tempat ini dipakai Pan untuk menikmati pemandangan tamannya itu.
Kendati tak ada larangan merokok, saya tak melihat ada satu pun orang yang merokok di taman ini. Tempat ini steril dari orang berjualan apa pun. Semua pengunjung, tampaknya, seperti sayang mengotori tempat ini. Karena itu, taman ini bersih dari sampah atau puntung rokok.
Keluar dari Yuyuan, saya teringat Taman Sari. Bagian dari Keraton Yogya itu juga ”dijual” untuk turis. Sayangnya, taman peninggalan raja-raja Mataram yang sebenarnya sangat menarik itu, di mata saya, makin lama makin kumuh saja....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo