Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sopir taksi itu menanyakan asal mereka. Rohan Bopanna menjawab, ”India.” Dan sahabatnya, Aisam-ul-Haq Qureshi, menyebut, ”Pakistan.” Setelah yakin siapa kedua penumpangnya, si sopir mengaku mengikuti beberapa kisah soal mereka, dua petenis nomor ganda putra itu. Salah satunya, menurut si sopir, saat menembus perempat final Wimbledon pada Juni lalu, Bopanna dan Qureshi mengenakan kaus bertulisan ”Stop War, Start Tennis”.
Kedua petenis yang sama-sama berusia 30 tahun itu bertemu dengan si sopir taksi pada satu pagi, awal Agustus lalu, saat ingin sejenak bersantai setelah menjadi semifinalis turnamen Legg Mason di Washington, DC, Amerika Serikat. Pada perempat final, mereka mengatasi perlawanan si kembar dari Amerika Serikat, Bob dan Mike Bryan, ganda yang paling banyak meraih gelar juara tur Asosiasi Tenis Profesional (ATP) sepanjang sejarah.
Sedianya Bopanna dan Qureshi harus terbang ke Toronto, Kanada, untuk melanjutkan laga ke turnamen Piala Rogers. Sial, pemerintah Kanada tak mau mengeluarkan visa untuk Qureshi, yang berasal dari Pakistan, negara yang dicurigai punya hubungan dengan kelompok teroris Al-Qaidah.
Mereka mencegat taksi dan tak sengaja bertemu dengan sopir yang membuat keduanya terhibur. ”Perasaan saya meluap, ada seseorang di Amerika yang ternyata peduli terhadap kisah kami,” kata Bopanna. Bagaimana tidak, si sopir ternyata tahu banyak tentang mereka: soal India dan Pakistan yang bermusuhan, soal julukan mereka, ”Indo-Pak Express”, dan soal obsesi keduanya untuk melakukan partai ekshibisi di Wagah—satu-satunya wilayah yang menghubungkan India-Pakistan.
Bopanna dan Qureshi adalah pasangan ganjil—mengingat permusuhan politik kedua negara. ”Saat kami berada di Portugal, seseorang mendekati saya,” kata pelatih mereka, Robert Davis. ”Orang itu mengaku heran dan tak percaya bahwa petenis India dan Pakistan menjadi satu tim.”
India, yang mayoritas Hindu, dan Pakistan, negeri muslim, bak kucing dan anjing. Setelah sama-sama menyatakan kemerdekaan dari Inggris pada 1947, dua negara terbesar di Asia Selatan itu terlibat tiga kali perang. Dua perang di antaranya berebut wilayah Kashmir. Pada 2008, sekelompok teroris menyerang Mumbai sehingga menewaskan tak kurang dari 166 orang. Pemerintah India menuduh Pakistan berada di balik insiden itu.
Permusuhan merambah ke banyak sektor. Salah satunya olahraga, terutama kriket, yang digemari masyarakat kedua negara. Bila tim kriket India dan Pakistan bertemu, bisa dipastikan stadion penuh dan ratusan juga pasang mata berada di depan televisi untuk menyaksikan siaran langsung pertandingan.
Pada April lalu, bintang tenis putri terbaik India, Sania Mirza, menikah dengan mantan kapten tim nasional kriket Pakistan, Shoaib Malik. Pers garis keras kedua negara sama-sama mengecam. Setelah perkawinan, kedua mempelai memilih tinggal di Dubai, Uni Emirat Arab.
Sania dan Malik tetap dikecam meski sama-sama beragama Islam. Tabu yang diterabas Bopanna dan Qureshi lebih tebal karena Bopanna beragama Hindu dan Qureshi muslim. ”Dan saya penggemar Liverpool, Bopanna suporter Manchester United,” kata Qureshi sambil tertawa. ”Sejujurnya, penolakan (dari kelompok garis keras) memang ada, tapi kini semakin sedikit,” ungkap Bopanna, serius.
Ayah Bopanna pemilik perkebunan kopi dari Bangalore. Petenis bertinggi badan 190 sentimeter ini—lebih tinggi tujuh senti daripada Qureshi—membuka bar untuk mengisi kesibukan di luar tenis. Sebaliknya, Qureshi dibesarkan dengan kultur tenis yang kental di Lahore, Pakistan. Kakeknya, Khawaja Iftikhar, adalah mantan juara India-Pakistan sebelum kedua negara terpisah. Dan ibunya, Nausheen Ihtisham, sepuluh kali menjuarai turnamen nasional Pakistan.
”Saya mengenal Rohan sejak berusia 16 tahun,” kata Qureshi. Saat itu, dia kerap mewakili Pakistan sendirian di turnamen junior internasional. Kesamaan bahasa membuat mereka dekat: Qureshi berbahasa Urdu dan Bopanna berbahasa Hindi, dua bahasa serumpun. Mereka lama bersahabat sebelum memutuskan menjadi satu tim.
Keduanya pertama kali berpasangan pada 2003. Namun baru tahun ini mereka benar-benar lebih berfokus sebagai tim, tak lagi ganti-ganti pasangan, dan tidak nyambi bermain tunggal. Hasilnya, pasangan ini untuk pertama kalinya menuai gelar tur ATP, yaitu saat menjadi juara di Johannesburg, Afrika Selatan, Februari lalu.
Lepas dari Johannesburg, Bopanna-Qureshi meraih posisi runner-up di tiga turnamen berkelas ATP World Tour. Menembus perempat final Wimbledon juga patut dibanggakan. Sebab, tahun ini, tak satu pun ganda putra Asia menyamai prestasi mereka. Meski 2010 belum berakhir, total torehan prestasi Bopanna dan Qureshi sudah lebih bagus daripada tahun-tahun sebelumnya.
Wimbledon juga mereka jadikan pentas untuk kampanye perdamaian. Caranya: mengenakan jaket bertulisan ”Stop War, Start Tennis”. ”Persaudaraan mereka telah mengubah mentalitas dan perilaku kaum muda India dan Pakistan serta daerah lain di dunia yang terlibat konflik,” kata Joel Bouzou, pendiri Peace and Sport, yayasan yang berbasis di Monako.
”Bila saya dan Aisam bisa berjalan bersama, masyarakat kami pasti bisa melakukannya juga,” kata Bopanna soal pesan perdamaian yang hendak dia sampaikan. ”Lima persen saja dari masyarakat kami berubah pikiran, itu sudah cukup.”
Qureshi mengiyakan. ”Kami ingin diingat sebagai petenis bagus dan, sejauh ini, hal tersebut bisa kami lakukan. Semakin besar turnamen kami ikuti, semakin banyak pertandingan kami menangi, semakin luas pula sebaran pesan kami.”
Qureshi sebenarnya sosok kontroversial bagi Pakistan. Dia pernah berpasangan dengan petenis dari beragam negara. Namun yang paling nyeleneh adalah saat berpartner dengan Amir Hadad, petenis Israel, pada Wimbledon 2002. Asosiasi Tenis Pakistan langsung mengancam tak memasukkan nama Qureshi ke dalam tim Piala Davis. Sama seperti mayoritas negara Islam lain, Pakistan memboikot segala hal yang berbau Israel.
Usaha mereka melewati berbagai kontroversi tak sia-sia. ”Menyatunya” India-Pakistan berkat mereka telah kerap terjadi. Selain pada Wimbledon tahun ini, yang paling monumental adalah berpasangannya mereka dalam partai puncak turnamen di Mumbai pada 2007. Sayang, mereka kalah dari Robert Lindstedt dan Jarkko Nieminen. Suporter Pakistan dan India mengibarkan atribut kebesaran negara masing-masing mendukung Indo-Pak Express—julukan Bopanna-Qureshi. ”Saya menitikkan air mata dalam peristiwa itu,” ujar Qureshi.
Sungguh unik, sehari sebelumnya, tim kriket India bertemu dengan Pakistan. Qureshi dan ayahnya berada di kerumunan suporter Pakistan, sementara Bopanna dan rekan-rekan petenis negaranya berada di bangku suporter India. Qureshi menahan sesak karena Pakistan kalah oleh India.
Obsesi yang hendak mereka wujudkan pada akhir tahun ini adalah melakukan pertandingan ekshibisi di Wagah. Qureshi dan Bopanna telah berusaha mendekati pemerintah masing-masing, tapi belum mendapat jawaban. Wagah adalah wilayah perbatasan satu-satunya yang memiliki jalan lintas ke kedua negara. Pertandingan bakal digelar tepat di garis batas. ”Saya akan bertanding di wilayah Pakistan, dan Aisam di wilayah India,” kata Bopanna.
Andy Marhaendra (NYTimes, AFP, TimesOnline)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo