Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menakjingga, dari Pemberontak Menjadi Pahlawan

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sudut perempatan Jalan Penataran, Penganjuran, Banyuwangi, Jawa Timur, berdiri patung seorang pria berpakaian raja yang terlihat begitu gagah. Tangan kanannya membawa senjata gondo wesi kuning. Dia didampingi Dayun, seorang pengikut setianya. Dialah Menakjingga—tokoh legendaris dari Kerajaan Blambangan.

Budayawan sekaligus seniman Janger, M. Dasuki Noer, 79 tahun, mengatakan pembuatan patung setinggi tiga meter oleh pemerintah Banyuwangi pada 1997 itu untuk mempopulerkan kepahlawanan Menakjingga, yang selama ini seolah kalah oleh pamor Damarwulan. ”Selama ini Damarwulan selalu dipuja-puja,” kata Dasuki.

Damarwulan-Menakjingga merupakan kisah yang populer bagi masyarakat Jawa, terutama Jawa Timur. Kisah tersebut kerap ditampilkan dalam tarian, wayang, ataupun teater rakyat. Di Banyuwangi, teater rakyat yang sering mementaskan lakon itu adalah kesenian Janger.

Seperti diketahui, kisah Damarwulan-Menakjingga bercerita tentang Damarwulan yang mendapat perintah Ratu Ayu Kencanawungu dari Majapahit mengatasi pemberontakan Menakjingga. Damarwulan akhirnya berhasil memenggal kepala Menakjingga dan membawanya ke hadapan sang Ratu.

Menurut Dasuki, kisah Damarwulan-Menakjingga hanyalah legenda. Namun masyarakat, tak terkecuali orang Banyuwangi, telah menganggapnya sebagai sejarah yang menenggelamkan fakta sebenarnya tentang Blambangan. Sosok Menakjingga, yang merupakan representasi Blambangan, digambarkan berwajah dan berperangai buruk sebagai seorang pemberontak. Sedangkan Damarwulan adalah pahlawan. ”Bahkan pelaku seni Janger akan sangat marah kalau kisah Damarwulan-Menakjingga dikatakan legenda,” ujarnya.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menyatakan cerita Damarwulan-Menakjingga sebenarnya diambil dari Serat Damarwulan di Keraton Yogyakarta. Naskah tertua yang menampilkan ilustrasi tokoh Menakjingga tersimpan di British Library, London, Inggris. Saat penyerbuan tentara Inggris ke Keraton Yogyakarta pada 1812, pasukan Raffles membawa banyak naskah keraton ke Inggris.

Bentuk langendrian Damarwulan-Menakjingga tersebut, tutur Margana, diciptakan oleh Raja Mangkunegaran Surakarta, Mangkunegara IV (1853-1881). Wajar jika kemudian, terutama pada dekade kedua atau ketiga abad ke-20, cerita ini diadopsi dan dipopulerkan oleh Bupati Banyuwangi yang masih keturunan Surakarta.

Menurut Margana, penelitian yang serius tentang kisah Damarwulan-Menakjingga pernah dilakukan filolog Belanda, Th. Pigeaud dan Brandes. Mereka mengidentikkan tokoh Menakjingga ini dengan Bre Wirabumi, Raja Blambangan. Sedangkan Damarwulan identik dengan Raden Gajah yang diutus Majapahit untuk mengatasi pemberontakan Bre Wirabumi dalam Perang Paregreg (1404-1406). ”Mereka menganggap cerita rekaan Menakjingga itu personifikasi dari cerita dan tokoh-tokoh sejarah yang sebenarnya,” kata Margana.

Cerita Damarwulan-Menakjingga sendiri populer di Banyuwangi pada awal abad ke-20 melalui pementasan Janger. Menurut Dasuki, kesenian ini awalnya bernama Ande-Ande Lumut. Setelah masuk pengaruh Bali, nama kesenian berubah menjadi Janger. Mereka memainkan lakon Wirabumi Gugat yang bercerita tentang pemberontakan Bre Wirabumi terhadap Majapahit. Lakon ini pertama kali dipentaskan pada sekitar 1920 di pendapa Kabupaten Banyuwangi. Menurut Dasuki, lakon inilah yang kemudian berubah menjadi lakon Damarwulan-Menakjingga.

Legenda tersebut makin dikenal warga Banyuwangi seiring dengan tumbuhnya kesenian Janger di setiap desa. Dasuki menyatakan, pada sekitar 1950, ada 47 kelompok kesenian, yang meluas hingga Malang. Mereka juga sering dipanggil untuk berpentas di luar Banyuwangi. Namun pelaku-pelaku seni Janger saat itu, termasuk Dasuki, tidak tahu bahwa naskah ini hanyalah sebuah legenda. Kesenian Janger pun akhirnya juga disebut kesenian Damarwulan.

Kondisi berbalik pada 1960-an, ketika cerita Damarwulan-Menakjingga mulai sering dibahas di forum diskusi atau seminar. ”Pola pikir seniman mulai berubah,” katanya. Sejak itu, Menakjingga mulai ditokohkan. Sosok Menakjingga di atas pentas tak lagi pincang dan buta sebelah, tapi digambarkan sebagai seseorang yang gagah. Dan patung Menakjingga pun mulai dibangun.

Ika Ningtyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus