Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Korupsi</B></font><BR />Bara di Kampus Seni

Kisruh pemilihan Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar berbuntut terbongkarnya kasus korupsi. Dua guru besar terancam pemecatan.

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBULAN terakhir Profesor I Nyoman Sedana mondar-mandir Bali-Jakarta. Bukan dalam rangka dinas sebagai dosen, melainkan untuk mengadukan nasibnya. Bersama koleganya yang juga dosen, I Wayan Dibia, guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, ini terancam dipecat. Jika Kementerian Pendidikan Nasional menyetujui rekomendasi yang diusulkan Rektor ISI Denpasar I Wayan Rai, tamatlah riwayatnya.

Di Ibu Kota, Nyoman Sedana mendatangi sejumlah instansi: Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Pendidikan, Kejaksaan Agung, Markas Besar Kepolisian, dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia hukum. Tak hanya mengadukan persoalan dirinya, Sedana mengemban misi meminta perlindungan hukum bagi sejumlah dosen yang juga terancam jadi pesakitan. ”Mereka dilaporkan rektor ke polisi karena tuduhan bersaksi palsu,” kata Sedana.

Kisruh ini merupakan buntut pemilihan Rektor ISI Denpasar pada 5 Maret 2008. Awalnya, pemilihan rektor periode 2008-2012 oleh senat berjalan lancar. Pemilihan yang diikuti tiga calon, Profesor I Wayan Rai, Dr I Nyoman Artayasa, dan Dr I Nyoman Catra, dimenangi I Nyoman Catra dengan 15 suara dari 23 anggota senat yang memilih. Catra mengungguli rektor petahana (incumbent), Wayan Rai. Catra pun yakin bakal ditetapkan sebagai rektor setelah melalui proses pengusulan ke Menteri Pendidikan Nasional, yang kala itu dijabat Bambang Sudibyo.

Lalu ”bara” pun muncul. Sekelompok dosen dan staf administrasi Institut Seni Indonesia Denpasar membuat manuver. Kelompok yang menamai diri Forum Peduli ISI Denpasar itu, terdiri atas 33 orang, membuat pengaduan. Di antara mereka ada ketua, wakil ketua, dan sekretaris pemilihan yang mengesahkan hasil pemilihan awal. Mereka menilai pemilihan berlangsung tak sah. Satu hal yang mereka persoalkan: hak pilih dua guru besar, I Made Bandem dan I Nyoman Sedana—yang saat itu berstatus tugas di luar negeri tapi ikut datang memilih.

Atas pengaduan ini, pada 21 April 2008, Senat ISI Denpasar dipanggil tim Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional. Dalam pertemuan, tim menjatuhkan penilaian: pemilihan 5 Maret 2008 itu cacat hukum karena adanya keterlibatan dua guru besar tersebut. Tim meminta diadakan pemilihan ulang.

Permintaan itu ditolak senat dengan alasan pemilihan 5 Maret 2008 telah sah. Senat juga menyatakan, sesuai dengan keputusan rapat, mereka yang berada di luar negeri pun memiliki hak suara asalkan datang saat pemilihan. Hasil pertemuan dengan tim Inspektorat Jenderal ini dituangkan dalam berita acara yang dikirim ke Departemen Pendidikan. Enam anggota Forum Peduli ISI juga menandatangani berita acara itu.

Namun, pada 11 Juli 2008, Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan kembali turun ke Denpasar. Mereka mencari dokumen keanggotaan senat wakil dosen. Di sana, mereka ditemui Dekan Fakultas Seni Pertunjukan I Ketut Sariada, yang menyatakan tidak melihat dokumen yang diminta. Inilah yang membuat Inspektorat Jenderal menyimpulkan pemilihan anggota Senat ISI Denpasar tidak disertai dokumen proses pemilihan. ”Padahal dokumen tersebut tersimpan di ruang Dekan Fakultas Seni Pertunjukan,” ujar I Nyoman Sedana.

Pada 12 Agustus 2008, datanglah surat dari Menteri Pendidikan Nasional. Menteri menyatakan, berdasarkan hasil investigasi Inspektorat Jenderal, hasil pemilihan rektor 5 Maret 2008 tidak sah, batal demi hukum, dan pemilihan harus diulang. Pemilihan itu dinilai cacat hukum karena dua hal: tidak adanya dokumen proses pemilihan anggota senat yang mewakili unsur dosen dan adanya dua anggota senat unsur guru besar, I Made Bandem dan I Nyoman Sedana, yang mestinya dinonaktifkan dari keanggotaan senat karena dianggap melakukan kegiatan di luar negeri tanpa seizin Rektor.

Berdasarkan surat itu, ujar Sedana, Penjabat Rektor ISI Denpasar langsung melakukan pembentukan senat baru. Lantas, pada 26 Agustus, dilakukan pemilihan ulang rektor. Pemilihan dilakukan di tengah suasana demo dosen dan mahasiswa yang memprotes penganuliran hasil pemilihan rektor sebelumnya.

Hasilnya bisa ditebak. Pemilihan ulang yang tidak dihadiri dua kandidat rektor sebelumnya itu pun dimenangi I Wayan Rai. Demo pun makin meruyak. Para mahasiswa menyegel ruang rektorat dan ruang kuliah. Sejumlah dosen melakukan aksi mogok mengajar.

Kisruh ini terus merembet ke mana-mana. Sejumlah dosen, termasuk Sedana, melaporkan Rai dengan tuduhan melakukan korupsi. Sedana, yang pernah mengajukan dana B-Art dari Kementerian Pendidikan, menuding Rai menggelapkan 30 persen dana B-Art dari nilai dana sebesar Rp 3 miliar.

Kejaksaan pun menetapkan Rai sebagai tersangka. Untuk kasus ini, Direktur Eksekutif Local Project Implementation Unit Nyoman Suteja dan sekretaris keuangannya, Nyoman Sangra, sudah divonis penjara setahun oleh pengadilan.

Rai tak tinggal diam. Selain melaporkan lima dosen yang menjadi saksi perkara korupsi tersebut dengan tuduhan membuat kesaksian palsu, rektor definitif ini juga merekomendasikan pemecatan I Nyoman Sedana dan I Wayan Dibia ke Kementerian Pendidikan. Inilah yang tengah dilawan Sedana.

Dimintai konfirmasi mengenai gonjang-ganjing yang terjadi di institusinya itu, Rai menegaskan, persoalan pemilihan rektor sudah tuntas. ”Saya hanya pelaksana aturan dan semua sudah saya jalankan,” katanya. Soal keberadaan ”kelompok 33” pascapemilihan 5 Maret, dia mengaku tak tahu-menahu. ”Di alam demokrasi, wajar bila muncul kelompok yang ingin menyampaikan aspirasinya,” ujarnya.

Menurut Rai, dalam pemilihan rektor, calon yang dimenangkan senat tidak otomatis jadi rektor. Sebab, kewenangan senat sebatas mengusulkan tiga nama yang meraih suara terbanyak. Setelah itu, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan akan memeriksa prosesnya. Kalau beres, usulan diserahkan ke menteri dan dilanjutkan ke presiden untuk ditetapkan. ”Ini bukan pemilihan kepala daerah, suara terbanyak langsung sebagai pemenang.”

Adapun soal penetapannya sebagai tersangka, Rai menyatakan pasrah. ”Sepenuhnya diserahkan kepada proses hukum,” katanya. ”Saya difitnah, ada korupsi miliaran rupiah. Itu uang dari mana?”

Soal program hibah dana B-Art yang disebut dikorupsi itu, menurut Rai, sudah beres dan sudah dilaporkan ke pusat. Dana yang tidak terealisasi penyalurannya, Rp 880 juta, sudah dikembalikan. ”Kalaupun ada masalah keuangan, bukan tanggung jawab saya sebagai rektor,” ujarnya. Sebab, untuk pengelolaan dana itu telah dibentuk lembaga LPIU dengan direktur eksekutif serta sekretaris keuangan sebagai pengelolanya.

Menurut Rai, persoalannya hanya masalah dana pendamping—termasuk untuk pajak—yang besarnya 30 persen dari dana B-Art. Semula, kata dia, dana akan ditalangi bantuan Gubernur Bali. Namun, karena Gubernur telah memberikan bantuan pembangunan fasilitas gedung ISI, untuk periode tahun itu tak ada lagi.

Nah, belakangan, ujar Rai, Pihak LPIU menerapkan pemotongan dana hibah yang diterima para pemenang. Pemotongan, selain untuk dana pendamping, dilakukan untuk membayar pajak sebesar 30 persen dari dana hibah. Inilah yang kemudian, katanya, dianggap dikorupsi.

Rai menyatakan tidak tahu siapa yang berinisiatif melakukan pemotongan itu. Ia menegaskan tidak pernah hadir pada rapat LPIU, 9 November 2007, yang disebut-sebut salah satu agendanya adalah putusan pemotongan dana hibah tersebut. ”Itu rapat lembaga. Yang memimpin direkturnya,” ujarnya. Saat rapat itu, kata Rai, dia ke Jakarta dan meminta Pembantu Rektor II mewakilinya untuk memberitahukan tidak adanya dana pendamping. ”Jadi, kalau mereka menuduh saya memimpin rapat, mana resume atau daftar hadirnya?”

Menurut Rai, dia sebenarnya malas menempuh jalur hukum. Namun, karena terus disudutkan, akhirnya dia terpaksa melaporkan tujuh dosen yang bersaksi di persidangan korupsi ISI dan menyebutnya memimpin rapat. ”Sekarang tinggal kita buktikan siapa yang salah.”

Dia juga membantah telah merekomendasikan pemecatan Nyoman Sedana dan Wayan Dibia. Menurut dia, pihaknya hanya membuat laporan rutin biasa ke Inspektorat Jenderal mengenai kondisi ISI. ”Kalau kemudian ada temuan soal mereka, itu kewenangan Inspektorat.”

Kisruh di kampus ISI membuat posisi I Wayan Rai kini jauh dari nyaman. Sejumlah aktivis mahasiswa ISI menolak kepemimpinannya. Ketut Ngurah Aryawan, misalnya, meminta Rai segera ditahan. ”Kami ingin masalah ini diusut tuntas,” ujar koordinator Solidaritas Mahasiswa Anti-Korupsi itu. Kun Adnyana, salah seorang dosen, menyatakan suasana perkuliahan di ISI kini tak lagi kondusif.

Di Jakarta, kepada Tempo, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso mengaku pihaknya belum bisa mengambil tindakan terhadap persoalan ISI Denpasar. ”Kami masih mengumpulkan data, permasalahannya seperti apa,” katanya. ”Sebab, informasi yang kami terima sepotong-sepotong.”

Ramidi (Jakarta), Rofiqi Hasan (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus