SUATU pesta bulutangkis mengiringi ulang tahun Yayasan Jaya
Raya pekan lalu. Klub Jaya Raya mengundang 13 klub lainnya.
Sistem pertandingan beregu ala PON diterapkannya-sungguh
membangkitkan fanatisme. Ada yang membawa panji perusahaan (Liem
Swie King dkk. dari pabrik rokok Djarum), ada yang membawa nama
daerah (Kotab, singkatan Kota Madya Bandung), ada yang membawa
nama keluarga (Monza, Jakarta). Selebihnya membawa perkumpulan
saja.
Dari kubu Djarum Kudus (putra) dan Djarum Semarang (putri),
yang dibiayai Rp 50 juta setahun oleh pabrik rokok kretek itu,
terdengat ambisi yang tidak kecil. "Kami ingin merebut semua
nomor,"kata manajer pelatih Anwari. Sedang Jaya Raya berani
mengeluarkanRp 12 juta untuk pesta ini, demikian Sekretaris
Panitia, Umar Sanusi, "karena yakin akan jadi juara."
Target kedua klub 'semi-profesional' itu ternyata dibendung
oleh kuda-kuda hitam Monza dan Mutiara-Bandung Klub putra
Mutiara yang menurunkan cuma 2 pemain pelatnas--Christian
Hadinata dan Heryanto --mampu menahan Rudy Hartono, Ade, Sigit
Pamungkas, dan Kurniahu ke final. Tapi di final Christian dkk
mengakui keunggulan para pemain yang mendapat uang saku Rp
135.000 sebulan dari Djarum, yakni King, Hadiyanto, Hastomo
Arbi, Kartono, Hadiwibowo dan Bobby Ertanto.
Di nomor putri, klub Mutiara--dengan Imelda Wiguno dan
Ivana--rupanya jitu dalam penyusunan urutan pemain sehingga
mampu menyapu bersih tim Jaya Raya B di semi final, bahkan
mengalahkan tim A pimpinan pelatih pelatnas, Minarni, di final.
Pada nomor taruna Monza, klub keluarga seorang pengusaha asal
Sum-Bar yang berdomisili di Tebet, Jakarta, juga sanggup menahan
Djarum Semarang di semi final,walau kalah dari Jaya Raya di
final.
Orang-orang Gila
Turnamen antar klub secara beregu scperti ihi jarang sekali
diadakan. Pernah ia diselenggarakan tahun 1977 oleh klub Libra,
asuhan Syamsul Alam, dari DKI. Di luar Jakarta, klub-klub Djarum
dan Suryanaga (Surabaya) juga pernah mengadakannya. Tapi
Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI)
selama ini belum pernah menyelenggarakannya. "Padahal hidup
matinya PBSI tergantung dari klub," kata J.C. Tambunan, Ketua
Bidang Organisasi PB PBSI. "Selama ini PBSI memang membiarkan
dulu klub-klub berkembang sendiri," ujar Sumarsono, Ketua Bidang
Pembinaan PBSI.
Banyak klub lahir untuk kemudian mati atau hidup
Senin-Kemis. Biaya klub memang tidak dapat diandalkan hanya dari
iuran anggotanya. "Minimum diperlukan Rp 500.000 sebulan,
terutama untuk keperluan shuttle-cock. Belum lagi ongkos
lapangan, biaya seragam atau perlengkapan pemain bila mengikuti
kompetisi," ujar Sumarsono lagi. "Pada hakikatnya diperlukan
orang-orang gila yang mau mengorbankan tenaga, dana dan waktu,
baru suatu klub bisa hidup," tambah Tambunan.
Dari turnamen ini ternyata PBSI menemukan pemain yang tidak
pernah mengikuti Kejurnas PBSI, tapi layak masuk pelatnas. Di
bagian putra, Sumarsono menunjuk bibit baru seperti Agus
Setiawan, pasangan ganda dengan Christian Hadinata. Juga ia
terkesan pada Edi Siswanto, pasangan Heryanto, yang mengalahkan
Liem Swie King/Kartono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini