BISNIS obat-obatan rupanya masih menarik, sekalipun
persaingan sudah mencekik leher. Orang yang tergoda dengan
perdagangan yang beromzet Rp 250 milyar/tahun itu tak kurang
dari bekas orang kuat, dulunya Wapangab dan Pangkopkamtib
Jenderal (Purn) Soemitro .
Dalam sebuah upacara sederhana tanggal 10 November di Desa
Cicadas, Kecamatan Citeureup, Jawa Barat (40 km dari Jakarta)
dia meletakkan batu pertama pembangunan pabrik industri kimia
farmasi. Pabrik yang direncanakan mulai berproduksi Agustus 1981
itu milik PT Riasima Abadi.
Soemitro, yang Januari nanti akan genap berusia 56 tahun, di
situ duduk sebagai Komisaris Utama. Direktur Utamanya Mayjen
(Purn.) M. Ishak Djuarsa, bekas Dubes untuk Yugoslavia yang
pernah disebut-sebut dalam kasus Sawito.
Pagi itu Soemitro datang dengan pakaian safari putih.
Pembawaannya sebagaimana yang dikenal, tenang dan banyak tawa.
Ketika akan mengucapkan pidato di podium terbuka seorang petugas
datang untuk memayungi. Tapi ditolak Soemitro.
Ketika dipersilakan memotong tumpeng untuk mengawali
selamatan mula mula dia menolak. "Lho . . . kok saya. Mestinya
Pak Ishak." Tapi ia bangkit uga, dan mengambilkan santapan itu
untuk Ishak Djuarsa "Maksud acara ini untuk mengucapkan punten
atau kulonuwun pada penduduk di sini," katanya disambung tepuk
tangan hadirin.
Sejak pensiun tahun 1974 Soemitro mulai menekuni bisnis. Ia
punya PT Rigunas yang menguasai konsesi hutan di Irian Jaya
300.000 ha. Soemitro juga mengelola PT Tjakra Sudarma yang
bergerak dalam bidang pembelian peralatan ABRI.
Pabrik yang dibangun di atas tanah 16 ha tersebut
diperhitungkan memerlukan biaya Rp 2,1 miliar. "Dua puluh lima
persen dari jumlah itu kami kumpulkan ramai-ramai," kata Ishak
Djuarsa. Sedangkan selebihnya berupa kredit dari Bapindo.
Sebenarnya pembangunan pabrik kimia farmasi ini sudah
disetujui pemerintah tahun 1976. Merupakan kerjasama antara
sebuah perusahaan India dengan PT Wigo (distributor obat). Tapi
entah mengapa pihak India menarik diri setahun kemudian,
sehingga pembangunan pabrik itu batal.
Tak lama kemudian rencana itu dihidupkan kembali setelah ada
persesuaian paham antara Presiden Direktur PT Wigo Drs. Kalona
dengan Soemitro dan Ishak Djuarsa. Trio ini mengusahakan
perpindahan izin PMA untuk pembangunan pabrik kimia farmasi itu
menjadi PMDN dan disetujui BKPM 18 Februari 1980.
Produksi PT Riasima Abadi nantinya meliputi paracetamol,
.alicvlamide dan ethoxybenzamide, semuanya bahan baku untuk
pembuatan obat-obatan anti panas dan rasa nyeri.
Sampai sekarang ketiga bahan haku itu masiil diimpor s1ari
Italia, Prancis, Jerman Barat, RRC, Taiwan, Korea Utara dan
Jepang. "Pemakaiannya meningkat terus dari tahun ke tahun.
Paling tidak sekitar 15%," ulas Alwin Nurdin, Komisaris Riasima
Abadi.
Sasaran utama pabrik ini adalah produksi paracetamol
Diperhitungkan dia akan mampu memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik
obat yang akan berjumlah 1.000 ton tahun 1981. Tak heran karena
bahan baku ini yang paling digemari etelah adanya larangan
penggunaan phenacetin, karena efek sampingnya dikabarkan bisa
merusak tulang sumsum. Tak kurang dari 70 merk obat demam
memakai paracetamol.
Masih teka-teki apakah produksi bahan baku obat dari Cicadas
ini mampu bersaing dengan yang impor. Kecuah pemerintah "memberi
rezeki" berupa proteksi. Artinya kalau kebutuhan dalam negeri
men-ang sudah bisa dipenuhi, maka bahan baku yang sama tidak
diperbolehkan lagi untuk diimpor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini