PUKUL 7 malam, warga Dukuh Daman di lereng Gunung Merbabu,
Jawa Tengah, sudah masuk rumah dan mengunci pintu. Tetapi Dargo
Sudarmo Sardju, 40 tahunl yang rumahnya paling dekat hutan,
justru siap siaga. Ia meng intip dari balik pintu, menunggu
kedatangan seekor macan tutul.
Di halaman rumah terlihat umpan berupa seekor itik hidup.
Di sampingnya ada batu akik. Sardju menganggap akik tersebut
dapat menyetrum jiwa macan. "Karena akik di mata macan yang kena
setrum, bisa berubah menjadi ayam," katanya.
Malam itu, 19 September lalu, penantian Sardju tak sia-sia.
Seekor macan tutul dengan panjang satu setengah depa
mengendap-endap menghampiri perang kap. Sardju waspada, tetapi
rupanya tak bisa menahan diri. "Saya tak sabar lagi," tuturnya
kemudian. Ia keluar langsung menerkam buruannya, sebelum
binatang itu keburu masuk perangkap.
Terjadi pergulatan seperti dalam film Tarzan. Para tetangga
berhamburan ke luar mendengar suara macan mengaum. Tapi karena
tidak seorang pun yang berani seperti Sardju, mereka hanya jadi
penonton. Pergulatan berlangsung beberapa menit. Akhirnya
ternyata manusia masih lebih banyak punya akal. "Setelah saya
berhasil mengikat keempat kakinya menjadi dua, ia lumpuh dan
saya menang," tutur Sardju mengenangkan peristiwa tersebut
kepada M. Cholid dari TEMPO. la juga sempat memukul tengkuk raja
rimba itu.
"Sebaiknya macan harus dihadapi oleh satu orang saja, karena
kalau oleh 4 orang misalnya, macan justru mempunyai kelebihan
tenaga 4 orang. Kalau dengan satu lawan kan hanya satu tenaga
yang dipakainya," kata Sardju lebih lanjut. Menurut
pengamatannya di teng kuk macan ada "tosan kiat" (tulang
lembut di dalam daging) yang menamE bah kesaktian dan
kekuatanhewan itu. MamJsia yang berhasil memilikinya akan a
punya kekuatan seperti macan. "Tapi "tosan kiat" tersebut kalau
sudah dipegang manusia, selalu hilang musnah, entah kenapa,"
ungkap Sardju.
Kini macan tutul tangkapan Sardju itu menambah koleksi Kebon
Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Sehingga jumlah hewan jenis
ini menjadi 7 ekor di kebun binatang tadi. Sebelumnya, selama
setengah bulan macan tangkapan Sardju sempat dirawat oleh
Syahrul --Seorang anggota ABRI di Panca Arga Magelang. Dari Rp
200 ribu yang dibayarkan oleh Tirtowinoto (pengurus Gembira
l.oka), Sardju mendapat bagian Rp 60 ribu. "Sebenarnya saya
tidak mengharap diberi ganti, tapi Pak Syahrul memaksa, yahhh
saya terima juga," ujarnya. Duit itu kemudian dibagikannya pada
tetangganya yang pernah kehilangan ternak piaraan karena dicuri
oleh raja rimba tersebut.
Tak Pernah Luka
Sejak Agustus, tahun ini juga, Sardju sudah menundukkan 5
ekor macan tutul. Semuanya jantan. Dua ratus KK Dukuh Daman
sebelumnya telah menderita kerugian 27 ekor kambing, 14 di
antaranya milik Sardju sendiri. Macan yang paling besar yang
dikalahkan Sardju berukuran 2,40 meter, dari kepala sampai a
ujung buntutnya. Satu di antaranya disekap dengan perangkap kayu
berbentuk segitiga yang dilapisi seng--berua —kuran pas badan
macan. Lmpat lainnya melalui perkelahian bebas.
"Setiap menghadapi macan, saya selalu yakin bahwa sayalah
yang harus menang," kata Sardju dengan sederhana. Almarhum
ayahnya, Djojodihardjo.
Sadji (meninggal pada usia 125 tahun, bulan Maulud 31 Maret
1974), mewarisinya sebilah pedang. Agaknya pedang itulah sumber
kekuatan Sardju. "Tapi meski pegang pedang, macan yang
dibunuhnya tidak pernah luka atau tergores," tutur Samuri, 47
tahun, kakak kandung Sardju.
Lalu buat apa pedang itu? "Ujung nya saya tusukkan ke
tenggorokan macan," jawab Sardju. Pedang yang hanya tajam di
pucuknya itu pernah bengkok digulung oleh seterunya. Tapi Sardju
berhasil meluruskan kembali meski belum lempang benar.
Beberapa koran pernah menobatkan Sardju sebagai Tarzan. Tapi
sebetulnya yang lebih tersohor sebagai Tarzan Kedu adalah
Djojodihardjo Sadji, bapaknya. Selama 3 bulan antara tahun
1948-1949 almarhum sempat menangkap 18 ekor macan hanya dengan
senjata pedang dan batu akik--dua senjata yang kini juga
dipergunakan Sardju. Batu akik ini, entah kenapa, setelah
dipergunakan untuk macan kelima, hilang musnah. Kabarnya batu
itu dulu pemberian Ibu Kabul, seorang kerabat keraton Yogya.
Beliau sudah almarhumah jauh lebih awal dari Pak Djojo.
Reputasi Djojo almarhum, cukup hebat. Ia anak mBah Amir,
seorang ahli agama keraton. Ia menjadi lurah selama 26 tahun.
Anaknya 9 orang. Tapi hanya Sardju yang mewarisi ilmunya. "Saya
saja yang diizinkan meneruskan keahlian bapak," kata Sardju.
Ialah yang dianggap kuat dipangku oleh jenazah bapaknya.
Maksudnya dialah yang mampu diam di dalam rumah yang dibangun di
depan makam bapaknya. Selama 4 tahun, setiap malam Jumat Kliwon
ia menyepi di makam yang punya ruang berukuran 4 x Z meter.
Pada suatu malam, selama menyepi, anjingnya Sardju yang
bernama Si Kombang diterkam macan. Sardju langsung mengejar
binatang itu. "Di sebuah pojok pinggir hutan, saya rebutan
anjing dengan macan itu," tutur Sardju. Entah kenapa, macan itu
tidak berusaha menerkam Sardju--malah lari ketakutan. Tinggal si
Kombang yang sudah robek-robek --tapi masih sempat
disembuhkan--meskipun pada akhirnya mati disikat macan juga.
"Sejak itu saya berfikir, kenapa saya tidak bisa mengalahkan
macan," kata Sardju. Ide itu terus menerus menguntitnya. Hingga
di suatu malam, ia bagaikan mendengar bisikan bahwa dialah
orangnya yang kuat untuk mengambil dan menggunakan pedang
karatan yang tergolek di atas makam bapaknya. Semua saudara
lelakinya tidak mampu. Pedang itu kemudian dikombinasikan dengan
batu akik yang sudah diceritakan di atas.
Lidah
Percobaan Sardju yang pertama terjadi ketika rumah se orang
tetangganya di pojok desa kemasukan macan. Binatang itu berhasil
digebuk dengan pedang pada tengkuknya, hingga tersungkur. Sejak
itu Sardju mulai meyakini kemampuannya. Tapi sementa ra itu ia
pun waspada. Untuk melind ungi keempat orang anaknya, serta
beberapa ekor sapi muda yang menjadi hartanya, ia melapisi
dinding rumahnya dengan tumpukan kayu di luar. "Tidak adl
salahnya waspada," tutur Sardju.
"Di samping pedang dan batu akik, untuk mempunyai kekuatan
setingkat macan, saya makan lidah macan. Lidah itu dipotong
kctika macan masih hidup, kalau sudah mati tidak berkhasiat,"
kata Sardju lebih lanjut. Dari 4 ekor macan yang dibunuhnya, ia
sudah makan 3 ujung lidah. Tapi selain itu Sardju juga punya
sumber kekuatan lain--yang tak mau diceritakannya. Sebab kalau
diceritakan bisa hilang. "Kalau hilang repot, saya ini kan
membantu pemerintah," katanya dengan lugu.
Benar, sudah 10 tahun ini ia membantu Dinas Kehutanan
setempat dengan sukarela. Meronda di lereng Merbabu, menyelusup
hutan, melihat-lihat kalau ada orang yang berburu kijang tanpa
izin. "Saya berhak menangkapnya," kata Sardju. Tapi sampai saat
ini belum pernah ada yang ketanggor. Mungkin mereka takut pada
macan. Menurut perkiraan Sardju lereng Merbabu masih dihuni oleh
sekitar 100 ekor macan tutul .
Beberapa hari setelah menaklukkan macan kelima, warga Dukuh
Burunan, agak jauh dari desanya, kehilangan 4 ekor angsa dan
beberapa ayam. Mereka meminta Sardju untuk menangkap macan yang
disangka jadi biang pencurinya. "Tapi saya tolak," kata Sardju,
"sebab nanti saya dituduh memburu macan, karena bukan hutan
wilayah perondaan saya, kecuali kalau Pak Camat menulis surat
resmi kepada saya." la juga menolak permintaan warga desa lain
ketika melapor telah 26 ekor angsa milik warga desa itu disikat
raja rimba itu.
"Di mana pun, di hutan atau di desa saya tidak takut macan,
saya takut pada peraturannya, bukan macannya," kata Sardju
menjelaskan. Tapi peraturan itu pun bisa dilanggar kalau
kepepet, misalnya diserang terlebih dulu. Di hutan Sardju sering
bertemu, bahkan bersinggungan dengan macan, tapi tidak terjadi
apa-apa. "Macan tidak punya penciuman dan pendengaran tajam,
maka kalau tidak dikagetkan, ia tidak akan menyerang. Karena itu
ketika bersentuhan dengan macan di hutan saya diam saja, malah
aman," katanya dengan tenang.
Tak Tega
Sardju seorang penakluk tapi juga seorang penjaga
kelestarian alam yang setia pada tugasnya. Ia selalu
berkonsultasi dalam menangkap macan. Macan yang ditangkapnya
benar-benar karena masuk desa, bukan karena Sardju yang mengejar
ke hutan.
Ketika Sardju berhasil membunuh macan, dagingnya biasanya
dibagikan kepada seluruh penduduk. "Kalau sudah makan daging
macan, seluruh penduduk di sini bergadang," kata Samuri
kakaknya. Maklum daging macan memang panas, bikin orang sulit
tidur. Adapun kulitnya kemudian dipersembahkan kepada beberapa
pejabat. "Pada waktu membunuh macan keempat saya sebenarnya tak
tega," kata Sardju, "tapi tetangga-tetangga meminta, padahal
macan itu sebelum diapa-apakan sudah menunduk seperti
menyerahkan nasibnya. "
Sardju, yang dijuluki Tarzan di Kedu(dan daerah DIY dan
Ja-Teng),sebagaimana juga bapaknya, tidak mau mengkomersialkan
kepintarannya. Lelaki bertubuh pendek tapi gempal dankukuh itu
juga tidak mau menjual-beli kan daging binatang taklukannya.
Kini a punya janji. "Jika suatu hari nanti ada macan yang masuk
desa lagi, akan saya tangkap dan saya lindungi untuk tetap
hidup: Sebagai kaul, akan saya serahkan sendiri ke kebun
binatang Yogya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini