Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Sardju, tarzan dari kedu

Sarju, warga dukuh daman di lereng gunung merbabu (ja-teng), sudah mengalahkan 5 ekor harimau tutul, mendapat julukan tarzan kedu. (tk)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 7 malam, warga Dukuh Daman di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, sudah masuk rumah dan mengunci pintu. Tetapi Dargo Sudarmo Sardju, 40 tahunl yang rumahnya paling dekat hutan, justru siap siaga. Ia meng intip dari balik pintu, menunggu kedatangan seekor macan tutul. Di halaman rumah terlihat umpan berupa seekor itik hidup. Di sampingnya ada batu akik. Sardju menganggap akik tersebut dapat menyetrum jiwa macan. "Karena akik di mata macan yang kena setrum, bisa berubah menjadi ayam," katanya. Malam itu, 19 September lalu, penantian Sardju tak sia-sia. Seekor macan tutul dengan panjang satu setengah depa mengendap-endap menghampiri perang kap. Sardju waspada, tetapi rupanya tak bisa menahan diri. "Saya tak sabar lagi," tuturnya kemudian. Ia keluar langsung menerkam buruannya, sebelum binatang itu keburu masuk perangkap. Terjadi pergulatan seperti dalam film Tarzan. Para tetangga berhamburan ke luar mendengar suara macan mengaum. Tapi karena tidak seorang pun yang berani seperti Sardju, mereka hanya jadi penonton. Pergulatan berlangsung beberapa menit. Akhirnya ternyata manusia masih lebih banyak punya akal. "Setelah saya berhasil mengikat keempat kakinya menjadi dua, ia lumpuh dan saya menang," tutur Sardju mengenangkan peristiwa tersebut kepada M. Cholid dari TEMPO. la juga sempat memukul tengkuk raja rimba itu. "Sebaiknya macan harus dihadapi oleh satu orang saja, karena kalau oleh 4 orang misalnya, macan justru mempunyai kelebihan tenaga 4 orang. Kalau dengan satu lawan kan hanya satu tenaga yang dipakainya," kata Sardju lebih lanjut. Menurut pengamatannya di teng kuk macan ada "tosan kiat" (tulang lembut di dalam daging) yang menamE bah kesaktian dan kekuatanhewan itu. MamJsia yang berhasil memilikinya akan a punya kekuatan seperti macan. "Tapi "tosan kiat" tersebut kalau sudah dipegang manusia, selalu hilang musnah, entah kenapa," ungkap Sardju. Kini macan tutul tangkapan Sardju itu menambah koleksi Kebon Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Sehingga jumlah hewan jenis ini menjadi 7 ekor di kebun binatang tadi. Sebelumnya, selama setengah bulan macan tangkapan Sardju sempat dirawat oleh Syahrul --Seorang anggota ABRI di Panca Arga Magelang. Dari Rp 200 ribu yang dibayarkan oleh Tirtowinoto (pengurus Gembira l.oka), Sardju mendapat bagian Rp 60 ribu. "Sebenarnya saya tidak mengharap diberi ganti, tapi Pak Syahrul memaksa, yahhh saya terima juga," ujarnya. Duit itu kemudian dibagikannya pada tetangganya yang pernah kehilangan ternak piaraan karena dicuri oleh raja rimba tersebut. Tak Pernah Luka Sejak Agustus, tahun ini juga, Sardju sudah menundukkan 5 ekor macan tutul. Semuanya jantan. Dua ratus KK Dukuh Daman sebelumnya telah menderita kerugian 27 ekor kambing, 14 di antaranya milik Sardju sendiri. Macan yang paling besar yang dikalahkan Sardju berukuran 2,40 meter, dari kepala sampai a ujung buntutnya. Satu di antaranya disekap dengan perangkap kayu berbentuk segitiga yang dilapisi seng--berua —kuran pas badan macan. Lmpat lainnya melalui perkelahian bebas. "Setiap menghadapi macan, saya selalu yakin bahwa sayalah yang harus menang," kata Sardju dengan sederhana. Almarhum ayahnya, Djojodihardjo. Sadji (meninggal pada usia 125 tahun, bulan Maulud 31 Maret 1974), mewarisinya sebilah pedang. Agaknya pedang itulah sumber kekuatan Sardju. "Tapi meski pegang pedang, macan yang dibunuhnya tidak pernah luka atau tergores," tutur Samuri, 47 tahun, kakak kandung Sardju. Lalu buat apa pedang itu? "Ujung nya saya tusukkan ke tenggorokan macan," jawab Sardju. Pedang yang hanya tajam di pucuknya itu pernah bengkok digulung oleh seterunya. Tapi Sardju berhasil meluruskan kembali meski belum lempang benar. Beberapa koran pernah menobatkan Sardju sebagai Tarzan. Tapi sebetulnya yang lebih tersohor sebagai Tarzan Kedu adalah Djojodihardjo Sadji, bapaknya. Selama 3 bulan antara tahun 1948-1949 almarhum sempat menangkap 18 ekor macan hanya dengan senjata pedang dan batu akik--dua senjata yang kini juga dipergunakan Sardju. Batu akik ini, entah kenapa, setelah dipergunakan untuk macan kelima, hilang musnah. Kabarnya batu itu dulu pemberian Ibu Kabul, seorang kerabat keraton Yogya. Beliau sudah almarhumah jauh lebih awal dari Pak Djojo. Reputasi Djojo almarhum, cukup hebat. Ia anak mBah Amir, seorang ahli agama keraton. Ia menjadi lurah selama 26 tahun. Anaknya 9 orang. Tapi hanya Sardju yang mewarisi ilmunya. "Saya saja yang diizinkan meneruskan keahlian bapak," kata Sardju. Ialah yang dianggap kuat dipangku oleh jenazah bapaknya. Maksudnya dialah yang mampu diam di dalam rumah yang dibangun di depan makam bapaknya. Selama 4 tahun, setiap malam Jumat Kliwon ia menyepi di makam yang punya ruang berukuran 4 x Z meter. Pada suatu malam, selama menyepi, anjingnya Sardju yang bernama Si Kombang diterkam macan. Sardju langsung mengejar binatang itu. "Di sebuah pojok pinggir hutan, saya rebutan anjing dengan macan itu," tutur Sardju. Entah kenapa, macan itu tidak berusaha menerkam Sardju--malah lari ketakutan. Tinggal si Kombang yang sudah robek-robek --tapi masih sempat disembuhkan--meskipun pada akhirnya mati disikat macan juga. "Sejak itu saya berfikir, kenapa saya tidak bisa mengalahkan macan," kata Sardju. Ide itu terus menerus menguntitnya. Hingga di suatu malam, ia bagaikan mendengar bisikan bahwa dialah orangnya yang kuat untuk mengambil dan menggunakan pedang karatan yang tergolek di atas makam bapaknya. Semua saudara lelakinya tidak mampu. Pedang itu kemudian dikombinasikan dengan batu akik yang sudah diceritakan di atas. Lidah Percobaan Sardju yang pertama terjadi ketika rumah se orang tetangganya di pojok desa kemasukan macan. Binatang itu berhasil digebuk dengan pedang pada tengkuknya, hingga tersungkur. Sejak itu Sardju mulai meyakini kemampuannya. Tapi sementa ra itu ia pun waspada. Untuk melind ungi keempat orang anaknya, serta beberapa ekor sapi muda yang menjadi hartanya, ia melapisi dinding rumahnya dengan tumpukan kayu di luar. "Tidak adl salahnya waspada," tutur Sardju. "Di samping pedang dan batu akik, untuk mempunyai kekuatan setingkat macan, saya makan lidah macan. Lidah itu dipotong kctika macan masih hidup, kalau sudah mati tidak berkhasiat," kata Sardju lebih lanjut. Dari 4 ekor macan yang dibunuhnya, ia sudah makan 3 ujung lidah. Tapi selain itu Sardju juga punya sumber kekuatan lain--yang tak mau diceritakannya. Sebab kalau diceritakan bisa hilang. "Kalau hilang repot, saya ini kan membantu pemerintah," katanya dengan lugu. Benar, sudah 10 tahun ini ia membantu Dinas Kehutanan setempat dengan sukarela. Meronda di lereng Merbabu, menyelusup hutan, melihat-lihat kalau ada orang yang berburu kijang tanpa izin. "Saya berhak menangkapnya," kata Sardju. Tapi sampai saat ini belum pernah ada yang ketanggor. Mungkin mereka takut pada macan. Menurut perkiraan Sardju lereng Merbabu masih dihuni oleh sekitar 100 ekor macan tutul . Beberapa hari setelah menaklukkan macan kelima, warga Dukuh Burunan, agak jauh dari desanya, kehilangan 4 ekor angsa dan beberapa ayam. Mereka meminta Sardju untuk menangkap macan yang disangka jadi biang pencurinya. "Tapi saya tolak," kata Sardju, "sebab nanti saya dituduh memburu macan, karena bukan hutan wilayah perondaan saya, kecuali kalau Pak Camat menulis surat resmi kepada saya." la juga menolak permintaan warga desa lain ketika melapor telah 26 ekor angsa milik warga desa itu disikat raja rimba itu. "Di mana pun, di hutan atau di desa saya tidak takut macan, saya takut pada peraturannya, bukan macannya," kata Sardju menjelaskan. Tapi peraturan itu pun bisa dilanggar kalau kepepet, misalnya diserang terlebih dulu. Di hutan Sardju sering bertemu, bahkan bersinggungan dengan macan, tapi tidak terjadi apa-apa. "Macan tidak punya penciuman dan pendengaran tajam, maka kalau tidak dikagetkan, ia tidak akan menyerang. Karena itu ketika bersentuhan dengan macan di hutan saya diam saja, malah aman," katanya dengan tenang. Tak Tega Sardju seorang penakluk tapi juga seorang penjaga kelestarian alam yang setia pada tugasnya. Ia selalu berkonsultasi dalam menangkap macan. Macan yang ditangkapnya benar-benar karena masuk desa, bukan karena Sardju yang mengejar ke hutan. Ketika Sardju berhasil membunuh macan, dagingnya biasanya dibagikan kepada seluruh penduduk. "Kalau sudah makan daging macan, seluruh penduduk di sini bergadang," kata Samuri kakaknya. Maklum daging macan memang panas, bikin orang sulit tidur. Adapun kulitnya kemudian dipersembahkan kepada beberapa pejabat. "Pada waktu membunuh macan keempat saya sebenarnya tak tega," kata Sardju, "tapi tetangga-tetangga meminta, padahal macan itu sebelum diapa-apakan sudah menunduk seperti menyerahkan nasibnya. " Sardju, yang dijuluki Tarzan di Kedu(dan daerah DIY dan Ja-Teng),sebagaimana juga bapaknya, tidak mau mengkomersialkan kepintarannya. Lelaki bertubuh pendek tapi gempal dankukuh itu juga tidak mau menjual-beli kan daging binatang taklukannya. Kini a punya janji. "Jika suatu hari nanti ada macan yang masuk desa lagi, akan saya tangkap dan saya lindungi untuk tetap hidup: Sebagai kaul, akan saya serahkan sendiri ke kebun binatang Yogya," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus