CARA orang buta mencari makan hanya dua. Kalau tidak memijat, ya
mengemis.
Itu anggapan banyalk orang, agaknya. Padahal, orang buta
yang sempat memperoleh pendidikan atau mengembangkan bakat punya
kemungkinan lebih banyak. Ada misalnya yang menjadi guru di
SLB-A, jadi pemusik atau lainnya. Bahkan Otje Soedioto sempat
memperoleh gelar sarjana hukum (TEMPO, 24 November 1979)
Di antara yang beruntung adalah Ali Sundoro Partokusumo, 47
tahun. Ia jadi stemmer (penala) piano --dan lulusan Victorian
Institute of The Blind di Melbourne, Australia, 1969. Ia juga
punya keahlian menyanyi lagu klasik. Dan sejak awal November
lalu, Ali diberi kepercayaan sebagai pengajar utama di kelas
Kejuruan Piano Stemmer--bertempat di SLB bagian A (tunanetra),
Cilandak, Jakarta. Badan Koordinasi Urusan Tuna Netra (BKUTN),
di bawah Badan Pembina Koordinasi & Pengawasan Kegiatan Sosial
(BPKKS) DKI, merupakan pemrakarsa proyek ini.
Mencetak seorang penala piano memang tidak mudah. "Tanpa
bisa main piano dan mengerti nada, bagaimana bisa menyetem?"
kata Ali. Maka untuk langkah pertama ini ia cuma punya 4
murid--semuanya mengerti musik. Joni Watimena, 32 tahun dan
Irianto, 27 tahun, adalah pemain band Tunanetra's Group yang
bubar 1978. Mulyadi pernah ikut band Alunan Nada dan Mutjipto
selain bisa memijat juga pemain gitar dan plano.
Agak Khusus
Di ruang berukuran 12 x 6 meter itu, mula-mula satu per satu
mereka diperkenalkan dengan bagian-bagian piano. Pelajaran
pertama Ali Sundoro ialah: kalau hendak menyetem, selidiki dulu
apakah pada piano tak ada barang yang perlu disingkirkan,
misalnya jambangan bunga.
Cara pendidikan yang harus satu per satu itulah yang membuat
lama pendidikan penala piano bagi si buta. Pengajaran secara
serentak memang tak mungkin, bukan? Tiga hari dalam seminggu Ali
Sundoro harus mengajar, dari pukul 08.00 sampai 14.00. Tiap
murid kebagian waktu hanya dua jam dan tiap hari hanya tiga
murid.
Direncanakan pendidikan ini selesai dalam setahun. Karena
kursus awal ini dimaksud untuk menghasilkan guru atau palin
tidak asisten pengajar -- ke cuali sebagai pe nala piano
profesional -- syaratnya memang agak khusus: tamatan SLTP, paham
musik terutama piano, dan belum punya pekerjaan. Pelajarannya
pun tak hanya berurusan dengan piano melulu. Ada teori dan
sejarah musik, bahasa Inggris, pengetahuan manajemen, pelajaran
bermain piano sendiri dan -- ah ya, P4.
Tentu saja tak semuanya diberikan Ali seorang. Pelajaran
tambahan itu dipegang oleh antara lain Suwardjo, Kepala SLB A
Cilanda k yang juga pemegang Seksi Pendidikan BKUTN, Sugeng
Tatkono, guru musik tunanetra di SLB A tersebut -- yang. juga
penala piano profesional. Adapun pendidikan yang lebih reguler,
baru akan dibuka Januari tahun depan, bertepatan dengan awal
Tahun Cacat Dunia.
Sebetulnya di Jakarta ada sekitar 10 tunanetra penala piano,
menurut Suwardjo. Mereka kebanyakan hasil lulusan kursus yang
diadakan oleh J. Zaharias, tunanetra Belanda yang pernah
mendirikan kursus penala piano--kini sudah meninggal. Menurut
Suwardjo pula, sebetulnya bidang ini sangat menguntungkan
tunanetra. "Makin banyak orang memiliki piano, dan para
tunanetra biasanya dikaruniai pendengaran di atas rata-rata, "
tuturnya.
Juga, tentu, pengllasilan penala piano tergolong tak kecil.
Ali misalnya, mengaku sekali menyetem piano yang makan waktu
sekitar 3 jam, bisa menghasilkan Rp 20 ribu. Bahkan pernah
menyetem total sebuah piano yang makan waktu tiga bulan dengan
imbalan Rp 600 ribu.
Ali mengaku punya empat orang langganan tetap --di samping
sejumlah yang tak tetap. Dan biasanya tiga bulan sekali piano
perlu distem. Dari itulah Ali, yang telah berkeluarga tapi belum
dikaruniai anak, mampw memiliki rumah sendiri di kawasan Warung
Buncit.
Sugeng Tatkono pasang tarip lebih rendah. Sekali menyetem
biasa ia hanya minta Rp 17.500. Untuk menyetem total Rp 500
ribu. Standar tarif memang tak ada. Menurut seorang pemilik
piano, menyetem piano itu bagaikan bepergian: anda mau pergi
dengan taksi, kereta api, bis kota atau pesawat terbang.
Ada yang segar dalam kursus ini. Ali Sundoro, yang menguasai
lima bahasa secara aktif (Inggris, Belanda, Jerman, Italia dan
Prancis) ternyata memiliki rasa humor yang tinggi. Menurutnya
pula, bila dibumbui dengan yang berbau seks, biasanya orang
lebih cepat memahami pelajaran. Misalnya ketika ia menunjukkan
bagian yang menonjol pada piano Katanya: "Ini, yang menonjol di
bagian bawah ini . . . Tapl bukan yang . . . " dan seterusnya.
Toh ia pernah marah besar. Seorang pemilik piano di Bandung
memanggilnya untuk mereparasi piano. Rupanya orang itu banyak
mulut. Ali Sundoro jengkel, hampir ia memukulnya dengan kunci
stem. "Kalau saya teruskan, mungkin ia mati, mas . . . "
katanya, tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini