Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ali dan kursusnya

Pendidikan/kursus penala piano, diprakarsai oleh bkutn, merupakan satu bidang pekerjaan bagi tunanetra. (ms)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CARA orang buta mencari makan hanya dua. Kalau tidak memijat, ya mengemis. Itu anggapan banyalk orang, agaknya. Padahal, orang buta yang sempat memperoleh pendidikan atau mengembangkan bakat punya kemungkinan lebih banyak. Ada misalnya yang menjadi guru di SLB-A, jadi pemusik atau lainnya. Bahkan Otje Soedioto sempat memperoleh gelar sarjana hukum (TEMPO, 24 November 1979) Di antara yang beruntung adalah Ali Sundoro Partokusumo, 47 tahun. Ia jadi stemmer (penala) piano --dan lulusan Victorian Institute of The Blind di Melbourne, Australia, 1969. Ia juga punya keahlian menyanyi lagu klasik. Dan sejak awal November lalu, Ali diberi kepercayaan sebagai pengajar utama di kelas Kejuruan Piano Stemmer--bertempat di SLB bagian A (tunanetra), Cilandak, Jakarta. Badan Koordinasi Urusan Tuna Netra (BKUTN), di bawah Badan Pembina Koordinasi & Pengawasan Kegiatan Sosial (BPKKS) DKI, merupakan pemrakarsa proyek ini. Mencetak seorang penala piano memang tidak mudah. "Tanpa bisa main piano dan mengerti nada, bagaimana bisa menyetem?" kata Ali. Maka untuk langkah pertama ini ia cuma punya 4 murid--semuanya mengerti musik. Joni Watimena, 32 tahun dan Irianto, 27 tahun, adalah pemain band Tunanetra's Group yang bubar 1978. Mulyadi pernah ikut band Alunan Nada dan Mutjipto selain bisa memijat juga pemain gitar dan plano. Agak Khusus Di ruang berukuran 12 x 6 meter itu, mula-mula satu per satu mereka diperkenalkan dengan bagian-bagian piano. Pelajaran pertama Ali Sundoro ialah: kalau hendak menyetem, selidiki dulu apakah pada piano tak ada barang yang perlu disingkirkan, misalnya jambangan bunga. Cara pendidikan yang harus satu per satu itulah yang membuat lama pendidikan penala piano bagi si buta. Pengajaran secara serentak memang tak mungkin, bukan? Tiga hari dalam seminggu Ali Sundoro harus mengajar, dari pukul 08.00 sampai 14.00. Tiap murid kebagian waktu hanya dua jam dan tiap hari hanya tiga murid. Direncanakan pendidikan ini selesai dalam setahun. Karena kursus awal ini dimaksud untuk menghasilkan guru atau palin tidak asisten pengajar -- ke cuali sebagai pe nala piano profesional -- syaratnya memang agak khusus: tamatan SLTP, paham musik terutama piano, dan belum punya pekerjaan. Pelajarannya pun tak hanya berurusan dengan piano melulu. Ada teori dan sejarah musik, bahasa Inggris, pengetahuan manajemen, pelajaran bermain piano sendiri dan -- ah ya, P4. Tentu saja tak semuanya diberikan Ali seorang. Pelajaran tambahan itu dipegang oleh antara lain Suwardjo, Kepala SLB A Cilanda k yang juga pemegang Seksi Pendidikan BKUTN, Sugeng Tatkono, guru musik tunanetra di SLB A tersebut -- yang. juga penala piano profesional. Adapun pendidikan yang lebih reguler, baru akan dibuka Januari tahun depan, bertepatan dengan awal Tahun Cacat Dunia. Sebetulnya di Jakarta ada sekitar 10 tunanetra penala piano, menurut Suwardjo. Mereka kebanyakan hasil lulusan kursus yang diadakan oleh J. Zaharias, tunanetra Belanda yang pernah mendirikan kursus penala piano--kini sudah meninggal. Menurut Suwardjo pula, sebetulnya bidang ini sangat menguntungkan tunanetra. "Makin banyak orang memiliki piano, dan para tunanetra biasanya dikaruniai pendengaran di atas rata-rata, " tuturnya. Juga, tentu, pengllasilan penala piano tergolong tak kecil. Ali misalnya, mengaku sekali menyetem piano yang makan waktu sekitar 3 jam, bisa menghasilkan Rp 20 ribu. Bahkan pernah menyetem total sebuah piano yang makan waktu tiga bulan dengan imbalan Rp 600 ribu. Ali mengaku punya empat orang langganan tetap --di samping sejumlah yang tak tetap. Dan biasanya tiga bulan sekali piano perlu distem. Dari itulah Ali, yang telah berkeluarga tapi belum dikaruniai anak, mampw memiliki rumah sendiri di kawasan Warung Buncit. Sugeng Tatkono pasang tarip lebih rendah. Sekali menyetem biasa ia hanya minta Rp 17.500. Untuk menyetem total Rp 500 ribu. Standar tarif memang tak ada. Menurut seorang pemilik piano, menyetem piano itu bagaikan bepergian: anda mau pergi dengan taksi, kereta api, bis kota atau pesawat terbang. Ada yang segar dalam kursus ini. Ali Sundoro, yang menguasai lima bahasa secara aktif (Inggris, Belanda, Jerman, Italia dan Prancis) ternyata memiliki rasa humor yang tinggi. Menurutnya pula, bila dibumbui dengan yang berbau seks, biasanya orang lebih cepat memahami pelajaran. Misalnya ketika ia menunjukkan bagian yang menonjol pada piano Katanya: "Ini, yang menonjol di bagian bawah ini . . . Tapl bukan yang . . . " dan seterusnya. Toh ia pernah marah besar. Seorang pemilik piano di Bandung memanggilnya untuk mereparasi piano. Rupanya orang itu banyak mulut. Ali Sundoro jengkel, hampir ia memukulnya dengan kunci stem. "Kalau saya teruskan, mungkin ia mati, mas . . . " katanya, tersenyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus