Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bondo Nekat ala Eropa

Menghindari tarif penginapan yang melambung, sebagian penonton di Euro 2012 bepergian dengan paket hemat. Mulai tidur di tenda sampai karavan.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI bersinar galak di Kharkiv, Ukraina. Mata yang sulit terbuka penuh semakin silau oleh hamparan 500-an tenda oranye di Pulau Zhuravloka, di tengah Sungai Kharkiv. Area warga kota mandi matahari itu berubah jadi seperti Bumi Perkemahan Cibubur, tempat 7.500 pendukung Belanda berkumpul.

Di setiap sudut, tersebar atribut oranye. Pendukung Merah Putih Biru tidak begitu saja menduduki area tersebut seperti yang nenek moyang mereka lakukan di Nusantara lima abad silam. Sebuah perusahaan asal Breda yang mengaturnya, dengan persiapan sejak tahun lalu. Setiap orang yang menginap dikutip 75-200 euro per malam, setara dengan Rp 2,2 juta. Mulai tenda seperti yang digunakan Pramuka siaga sampai tenda mewah yang dilengkapi kamar mandi dan kulkas pribadi. Fasilitasnya lengkap: mulai WC umum, restoran, penyewaan sepeda, lapangan bola pasir, sampai musik hidup saban malam.

Frans Bongers menyembul dari tenda—tentunya juga oranye—2 x 2 meter, ukuran termini. "Sulit bisa bertahan lebih dari lima menit di dalam," ujarnya kepada Tempo, pertengahan pekan lalu. Jangankan yang dari Negeri Kincir Angin, orang Jakarta pun bakal meleleh terjemur matahari di suhu 32 derajat Celsius di tengah hari bolong itu. Di dalam tenda cuma ada kasur angin, dua tas, dan setumpuk atribut untuk mendukung Mark van Bommel dan kawan-kawan.

Pria 49 tahun asal Volkel—kota kecil dekat Eindhoven, Belanda—itu beruntung. Dia memenangi undian di sebuah situs judi sehingga bisa menonton dua partai Belanda di Grup B Euro 2012, plus tiket pesawat dan akomodasi dengan US$ 183 (sekitar Rp 1,7 juta) untuk dua orang. Tiket laga melawan Jerman dan Portugal dia beli dengan harga banderol kategori III—kelas kambing, di belakang gawang—35 euro (sekitar Rp 385 ribu). Ayah tiga anak itu mengajak putra tertuanya, Lars, 25 tahun. "Tidak ada yang percaya kami bisa pergi dengan harga semurah itu," kata Bongers.

Ini merupakan kedua kalinya penggemar PSV Eindhoven itu menyaksikan langsung Piala Eropa. Dia pertama kali menyaksikan Euro 2000, yang berlangsung di kampung halamannya. Bongers—yang hanya mau mengatakan dirinya karyawan rendahan—mengaku tidak mampu membiayai perjalanan ke luar negeri. "Kali ini bisa ikut hanya berkat undian," katanya. Untuk makan, Frans dan Lars cuma sekali sehari mengeluarkan duit, yaitu untuk makan malam. Sarapan—termasuk di paket penginapan—dirapel sekalian makan siang.

Seusai laga terakhir di Grup B melawan Portugal, 17 Juni, apa pun hasilnya, ayah dan anak ini langsung pulang. Mereka harus kembali bekerja mulai Senin ini dan tidak dapat mengganti tiket yang sudah disediakan pengelola undian.

Tentu tidak semua orang seberuntung keluarga Bongers. Menghindari tiket setara dengan Rp 5 juta per orang, enam sekawan dari Lisabon, Portugal, menyetir lebih dari 4.000 kilometer menembus Spanyol, Prancis, Jerman, Belgia, dan Polandia untuk menyaksikan Portugal berlaga di Lviv. Mereka berangkat Rabu malam dua pekan lalu dan tiba tiga hari kemudian. Karavan bercumbu dengan jalanan selama 44 jam dengan pengemudi berganti saban dua jam. Mereka hanya istirahat untuk mendinginkan mesin dan rem, serta isi bensin. Untuk mandi—yang tidak setiap hari—mereka menumpang di sebuah penginapan kecil. "Semua ini menyenangkan," ujar Jonas Codinha, 32 tahun, seperti dikutip The National.

Bondo nekat seperti Codinha dan kawan-kawan menempuh jarak yang tujuh kali lebih jauh ketimbang Jakarta-Surabaya itu guna menghindari "Bandit dan Begal". Istilah itu dialamatkan Presiden Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) Michel Platini kepada pengelola hotel di Ukraina yang menggandakan harga dari 40 jadi 100, bahkan bisa 500 euro—Rp 5,5 juta—per malam. Codinha tidak sendirian. Di Lviv, karavan bertebaran di setiap tempat parkir yang tersedia, terutama di depan gedung-gedung tua kota itu. Di Kiev, sekitar 2.000 suporter Swedia berkemah di lokasi yang hanya memiliki segelintir toilet dan tanpa kamar mandi.

Bahkan tanpa harga melambung pun pengencangan ikat pinggang terjadi di hampir setiap sudut Eropa. Lautan biru-putih, seperti gambaran saat Yunani menjuarai Euro 2004 di Portugal, tinggal kenangan. Di Warsawa dan Wroclaw hanya tersisa "tetesan" pendukung berbaju biru di antara merah dan putih suporter Polandia, Republik Cek, dan Rusia, pesaing mereka di Grup A.

"Memang cuma sedikit sekali yang datang. Semoga nanti bisa lebih banyak," ujar Theano Diakosia kepada AP. Perempuan asal Volos ini bergincu biru serta memakai topi lancip seperti punya penyihir dan baju panjang bermotif bendera Yunani.

Negara dengan bendera di tubuh perempuan itu ringsek akibat terjangan gelombang krisis keuangan dan finansial lima tahun terakhir. Akhir pekan lalu, Yunani menggelar pemilihan umum ulang setelah pemilu 6 Mei gagal menghasilkan pemerintahan. Di dalam negeri, pendukung ekstrem kanan menguat.

Situasi itu yang membuat Diakosia kesepian di Euro 2012. Pendukung Ethniki—julukan Yunani—lebih banyak datang dari negara lain, tempat warga keturunan Yunani mencari nafkah. Seperti Tasos Pantzaris dan 12 temannya dari Gifhorn, Jerman. Mereka mengenakan helm perang ala Sparta, menabuh drum, dan mengusung bendera Yunani dengan tulisan Gifhorn untuk dipajang di pagar stadion. Menurut Pantzaris, kebanyakan rekan di negara asalnya tidak memiliki kemampuan membeli tiket pesawat dengan harga sekitar Rp 4 juta. Di sebelahnya berdiri Lefteris Moschidis, 33 tahun, asal Stockholm. Dia berharap Giorgos Karagounis dan kawan-kawan bisa jadi pelipur lara bagi Yunani—terutama keluarganya di Thessaloniki, bagian utara Yunani—yang sedang berduka.

Pekan ini sekitar separuh dari pendukung—yang menurut hitungan UEFA mencapai 1,6 juta orang dari 16 negara—sudah kembali ke rutinitas harian di kota masing-masing. Ada yang pulang karena negaranya tersingkir, ada juga yang pulang karena sudah waktunya pulang karena jadwal, seperti keluarga Bongers dari Belanda dan Codinha cs dari Portugal. Bongers dengan berat hati melipat bendera merah-putih-biru bertulisan Volkel, yang menunjukkan mereka satu-satunya wakil kota itu di antara 20 ribu pendukung Oranye. Euro berlanjut tanpa para bonek tersebut.

Reza Maulana (Kiev dan Kharkiv)


Tiga Bulan untuk Euro

BAGI Hasby Jap, 30 tahun, Euro 2012 merupakan pertama kalinya dia melancong tanpa mengajak istri dan tiga anaknya. Biasanya warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu hanya ke luar negeri sonder keluarga untuk urusan memperlancar bisnis gensetnya, yang berlokasi di Jalan Cideng Barat, Jakarta Pusat.

Hasby merencanakan perjalanan ini sejak tiga bulan lalu bersama rekan sesama pengusaha muda asal Jakarta. Satu hari penuh dia habiskan di depan Internet untuk memesan tiket pesawat, hotel, dan karcis pertandingan. "Satu bulan baru kelar," ujarnya kepada Tempo di Kiev pekan lalu.

Empat sekawan itu mengantongi tiket pertandingan Ukraina-Swedia di Kiev, Belanda-Jerman di Kharkiv, Yunani-Rusia di Warsawa, dan Kroasia-Spanyol di Donetsk. Total kunjungan di Polandia dan Ukraina dua pekan. Sisa dua pekannya mereka habiskan keliling Republik Cek dan Jerman.

Butuh dua pekan, dan sedikitnya tiga kali bolak-balik, untuk mengurus visa di kedutaan negara-negara tersebut di Jakarta. "Tapi lebih repot mengurus 'visa' dari istri," katanya seraya tertawa. Ia bercerita, ada rekannya dilarang pergi oleh istri padahal tiket sudah di tangan. Itu artinya uang sekitar Rp 40 juta amblas. Visa baru keluar pada hari-hari terakhir menjelang keberangkatan.

Lepas dari urusan izin, Hasby masih tersandung urusan bahasa. Begitu mendarat di Bandar Udara Borispol, Kiev, mereka terbutakan oleh deretan huruf Cyrillic dan orang-orang yang tak mengerti bahasa Inggris. "Cuma ketemu orang yang bisa ngomong Inggris di hotel dan stadion," ujarnya. "Itu pun berantakan."

Dia kehabisan tiket kereta dari Kiev ke Kharkiv sehingga terpaksa menyewa mobil, lengkap dengan sopir, untuk menghindari ancaman tersesat di jalan tanpa petunjuk berhuruf Latin. Akibatnya, bujet tiket antarkota yang tadinya cuma Rp 100 ribuan membengkak jadi lebih Rp 5 juta.

Namun ada kabar baik. Sejauh ini ketakutan Hasby cs pada tindak kekerasan rasial di Ukraina tak terbukti. "Malah, mereka jujur," katanya. RML

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus