Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden George W. Bush memeluk Karl Rove, penasihat senior presiden sekaligus deputy chief of staff yang juga mantan arsitek kemenangan Bush atas John Kerry pada pemilu presiden 2004. Rove mengundurkan diri dari jabatan strategisnya pada 31 Agustus 2007. Bush berkata lirih, "Karl Rove is moving on down the road... I’ll be on the road behind you here in a little bit."
Anda tak akan menemukan kisah semanis hubungan antara Bush dan Rove dalam buku yang baru saja diluncurkan Adnan Buyung Nasution, advokat senior sekaligus anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2007-2009. Buku ini berisi "antologi" kisah nyata Buyung sejak menit pertama diajak bergabung dalam skuad Wantimpres. Sebuah kesaksian yang kontroversial, bahkan sebelum Buyung resmi dilantik sebagai anggota Wantimpres.
Akhir dari kisah pergumulan Buyung dalam lingkaran kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah bisa ditebak bahkan sebelum dia berkantor resmi sebagai penasihat presiden. Awalnya, sebuah telepon dari Sudi Silalahi mengajak Buyung bergabung dalam Wantimpres. Surat Keputusan Presiden yang memuat nama Buyung sudah siap diumumkan. Buyung bersedia, tapi ngotot minta bertemu dengan SBY dulu sebelum SK diumumkan ke publik. Dalam bahasa yang dipakai Buyung, dia "menolak di-fait accompli Presiden tanpa mengetahui secara langsung visi dan misi SBY tentang Wantimpres".
Tak berhenti di situ, Buyung kembali membuat ulah yang memanaskan kuping Istana. Buyung tampil sebagai "bintang utama" dalam acara Kick Andy di Metro TV. Ketika ditanya Andy F. Noya soal ukuran keberhasilan sebagai penasihat Presiden, Buyung menjawab lugas, "Jika ada sepuluh point of interest tentang kepentingan bangsa yang dipertaruhkan… dan hanya satu (nasihat) yang diterima, berarti saya gagal. Tidak ada gunanya saya kasih nasihat, lebih baik saya keluar, saya cabut saja dari situ, buat apa saya ada di situ."
Metro TV secara cerdik menjadikan petikan wawancara itu sebagai promosi setiap hari sebelum acara Kick Andy ditayangkan. Telepon berdering dari duo SilaÂlahi, T.B. Silalahi dan Sudi Silalahi. Kedua orang dekat SBY itu memprotes pernyataan Buyung yang dinilai mengancam Presiden ingin keluar dari Wantimpres padahal dilantik saja belum. Ditulis juga dalam buku, Istana yang gerah bahkan meminta Buyung dan Metro TV mencabut promosi yang berisi "ancaman" Buyung tersebut.
Dua kisah yang dimuat di awal buku ini merupakan pertanda kuat bahwa petualangan Buyung sebagai penasihat presiden takkan berlangsung mulus. Buku ini adalah monumen kekecewaan Buyung selama menjadi anggota Wantimpres periode 2007-2009. Dia tak menyesal atas pilihannya sebagai penasihat presiden, tapi menyesal kenapa sebagai anggota Wantimpres tak diberi kesempatan berbuat lebih banyak lagi.
Buyung juga sadar sepenuhnya bahwa keputusan membukukan pengalamannya sebagai anggota Wantimpres mungkin dianggap "melanggar" Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden Nomor 19 Tahun 2006, yang berbunyi: "Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun."
Namun Buyung memaknai lain bunyi undang-undang tersebut dengan menggugat "sifat kerahasiaan" yang membatasi seorang abdi negara menyampaikan pertanggungjawaban moral, hukum, dan politik kepada rakyat. Buyung menilai rakyat berhak tahu apa yang sudah dia lakukan sebagai anggota Wantimpres karena dia dibayar melalui uang rakyat. Jika tak ada transparansi, rakyat tak tahu tugas dan tanggung jawab Wantimpres. Bagi Buyung, sifat "kerahasiaan" pekerjaan Wantimpres selesai setelah memberikan pertimbangan kepada presiden. Setelah itu rakyat berhak tahu apa saja catatan keberhasilan dan kegagalan Wantimpres dalam menjalankan tugasnya.
Kontroversi buku ini juga terlihat dari penuturan Buyung yang tanpa tedeng aling-aling membocorkan semua isu dan peristiwa yang masih segar dalam ingatan publik. Penulis dengan detail menelanjangi sosok SBY. Banyak pihak yang disinggung dalam buku ini juga masih hidup. Buyung berkisah mengenai nasihat yang tak jelas nasibnya, cerita unik memberikan nasihat melalui SMS soal polemik gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, hingga suasana komunikasi satu arah antara Presiden dan menteri-menterinya.
Buku ini jelas melabrak pakem budaya ewuh-pakewuh. Buyung punya jalan pikiran lain. Justru momentum terbitnya buku ini tepat karena SBY masih berada di kekuasaan sehingga bisa dijadikan pertimbangan memperbaiki saluran mampat yang membuat hubungan kerja Presiden dan Wantimpres kurang maksimal. Meski bisa dinilai melanggar batas etika, Buyung dengan sadar "mewakafkan" bukunya agar Wantimpres lebih diberdayakan supaya citÂra negatif Wantimpres yang hanya menjadi ornamen demokrasi bisa pelan-pelan dihapuskan. Sudah jadi rahasia umum, Wantimpres selama ini hanya dijadikan sebagai wahana bagi-bagi atau akomodasi kekuasaan bagi mantan pejabat negara dan mereka yang semula berada di "luar radar".
Buku ini juga secara terang-benderang menguliti kelemahan Wantimpres. Intensitas pertemuan Wantimpres dengan Presiden terlalu sedikit. Dalam kurun waktu satu setengah tahun hanya tiga kali berkomunikasi secara langsung. Selebihnya, harus melalui perantara Menteri-Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, atau lebih sering dengan cara "bergerilya" di sela-sela resepsi atau acara kenegaraan. Bahkan, dalam setahun terakhir sebelum masa tugas berakhir, tak ada pertemuan sama sekali antara Presiden dan Wantimpres.
Buyung sering merasa bersalah, apalagi jika dihadapkan dengan Pasal 4 ayat 1-3 Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden, yang memberi tugas Wantimpres untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, baik diminta maupun tidak diminta Presiden, yang disampaikan secara perorangan maupun kolektif. Buyung ingin sering memberikan pertimbangan, tapi terbentur minimnya kesempatan bertemu dengan Presiden. Dia mencontohkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pelaksana Tugas Pimpinan KPK yang keluar tanpa berkonsultasi dengan dirinya.
Minimnya komunikasi secara teratur dan periodik tersebut mengkonfirmasi bahwa Wantimpres hanyalah pajangan konstitusi. Hal ini terjadi karena lebarnya kesenjangan antara apa yang seharusnya dilakukan Presiden secara normatif (das sollen) dan riil-politik yang membuat langkah-langkah Presiden lebih banyak disetir oleh pertimbangan politik (das sein). Nasihat Wantimpres lebih banyak bekerja dalam ranah apa yang seharusnya dilakukan Presiden, sementara realitas politik berbicara sebaliknya.
Buyung mencontohkan saran agar Presiden melakukan reshuffle kabinet tanpa terbelenggu kepentingan politik partai koalisi dan menomorsatukan integritas dan prinsip meritokrasi (zaken kabinet). Buyung juga menyoal posisi Presiden yang tidak tegas terhadap usulan amendemen UUD 1945 untuk menguatkan kewenangan DPD. SBY terjepit antara pilihan untuk meningkatkan kewenangan DPD melawan resistensi kuat dari kalangan politikus DPR yang tak ingin berbagi kekuasaan dengan DPD dan arus penolakan para purnawirawan jenderal yang tak ingin konstitusi diamendemen.
Kalkulasi politik juga terlihat kentara ketika Presiden menandatangani RUU Pornografi yang sudah disetujui menjadi undang-undang oleh DPR. Saking marahnya atas sikap Presiden, Buyung hampir mengundurkan diri dari jabatan Wantimpres. Tak semua saran Buyung kepada Presiden kandas oleh pertimbangan politik dan tekanan mayoritas. Misalnya Presiden mengikuti rekomendasinya agar Ahmadiyah tak dibubarkan, meski desakan pembubaran Ahmadiyah sangat kuat.
Di atas segalanya, buku ini layak dibaca siapa pun, terutama oleh Presiden dan para pembantunya agar eksistensi Wantimpres bisa lebih diberdayakan bagi sebesar-besar kepentingan rakyat.
Burhanuddin Muhtadi, Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo