Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Slamet Membantu Dewi Sri

Serupa beras, tapi terbuat dari jagung, sagu, dan sorgum. Beras analog siap mengatasi krisis pangan.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARNANYA kuning, tapi bukan nasi kuning, bukan pula nasi dari beras kuning. Nasi itu tak mengandung beras sedikit pun.

Dua pekan lalu Tempo menguji nasi itu di dapur kantor. Baunya agak keras, hingga tercium di ruangan Kompartemen Nasional dan Bisnis di lantai 2. Tapi tidak ada yang keberatan. Baunya seperti nasi agak gosong dan justru karena itu nasi tersebut tercium mirip bau eksotis nasi bakar.

Beras itu, yang terbuat dari campuran jagung dan sorgum, dinamai beras analog. Bentuk dan ukuran beras analog persis dengan beras dari padi. Begitu pula ketika ditanak. Rasanya pun bisa dikatakan tak berbeda dengan nasi biasa. "Ada sedikit rasa jagung ketika dikunyah dan tak ada rasa manis amilum seperti ketika makan nasi," kata seorang awak Tempo.

Beras analog itu dicetak Slamet Budijanto, peneliti Institut Pertanian Bogor. Beras analog dibuat di laboratorium menggunakan mesin, sehingga beras ini disebut juga sebagai beras artifisial. Slamet menyematkan kata "analog" karena ia memang ingin menciptakan pangan buatan yang bentuk dan rasanya analog dengan beras.

"Beras analog ini sama sekali tak menggunakan tepung beras," kata Slamet kepada Tempo di gedung F-Technopark IPB, Bogor, akhir Mei lalu. Formula bahannya macam-macam, tergantung kebutuhan. Jadi, selain bisa terbuat dari tepung jagung dan sorgum, beras analog bisa berasal dari campuran tepung sagu, singkong, tepung hotong, dan sagu aren.

Untuk menghasilkan bentuk mirip beras, adonan kombinasi tepung dimasukkan ke mesin ekstruder yang dipesan khusus dari sebuah perusahaan di Tangerang, Banten. Slamet menggunakan cetakan yang diberi lubang berbentuk elips, persis dengan bentuk beras.

Adonan yang mengalir keluar dari lubang cetakan dipotong oleh bilah pisau yang berputar cepat. Potongan yang jatuh sudah berbentuk bulir beras. Mesin yang dimiliki Slamet mampu mencetak 50 kilogram beras per jam. "Saya telah memesan mesin yang sanggup memproduksi 300 kilogram setiap jam," dia mengatakan.

Perlu waktu setahun bagi Slamet untuk menemukan formula beras analog yang tepat. Dosen Departemen Ilmu Teknologi Pangan ini telah mencampur berkarung-karung aneka tepung dengan beragam takaran untuk mencari adonan yang sempurna.

Bahkan pencariannya sempat menemui jalan buntu selama semester pertama 2011. Ekstrudernya tak juga berhasil mencetak makanan berbentuk beras. Padahal ia juga harus membagi tenaga dan pikiran untuk penelitian bekatul, proyek riset dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi untuk pengembangan rantai nilai serealia lokal.

Baru pada September 2011, ia kembali memiliki waktu untuk mencurahkan perhatiannya pada beras analog. Dibantu tiga mahasiswanya, Annisa Karunia, Suba Santika Widara, dan Yulianti, pencarian ramuan tepung dilanjutkan. "Pencarian harus selesai," kata pria 51 tahun ini. Demi tekadnya itu, ia merogoh Rp 30 juta dari kocek sendiri untuk membiayai riset.

Tiga mahasiswanya dicekoki dengan pengetahuan tentang kimia pangan, sehingga mereka bisa cekatan membuat adonan sendiri. Ketiga mahasiswa tingkat akhir itu bahkan sanggup mengajukan berbagai gagasan mengenai komposisi tepung. "Kami dan Pak Slamet bahkan berkompetisi untuk mendapat formula terbaik," ujar Suba.

Keberuntungan datang pada Februari 2012. Slamet tak sengaja menemukan bahwa kekuatan dan bentuk beras cetakan ditentukan oleh kadar air. Alhasil, kini kadar air adonan tepung dikurangi dengan melakukan pengeringan pada tahap awal. "Akhirnya sampailah pada hasil yang sekarang," ujar doktor dari Universitas Tohoku Jepang itu.

Dengan formula tersebut, Slamet dan ketiga mahasiswanya dapat membuat beras analog dari berbagai macam bahan. Annisa membuat beras analog dari formula sorgum dan tepung singkong. Suba dan Yulianti memilih formula tepung jagung, sorgum, dan tepung aren.

Beras analog lebih padat daripada beras biasa. Maklum, kadar airnya hanya 6 persen, sedangkan beras biasa 12 persen. "Ini membuat beras analog juga lebih mudah disimpan dan tahan lama," kata Slamet.

Beras analog pun unggul dari kecepatan penyajian. "Cukup direbus seperti memasak mi instan," kata Suba. Satu takaran beras analog dicampurkan ke dalam dua takaran air mendidih selama 10-15 menit dan langsung bisa dimakan. "Beras analog juga tak perlu dicuci."

Beras serupa sudah dibuat pula oleh peneliti Cina dan Jepang, berikut mesinnya. Namun, di Indonesia, Slametlah penemu beras artifisial pertama berbahan lokal. Formula pembuatan beras analog itu kini telah dipatenkan.

Beberapa perguruan tinggi juga pernah membuat beras tiruan dari berbagai bahan. Tujuannya untuk membantu program diversifikasi pangan nonberas yang kurang sukses, karena banyak orang Indonesia merasa belum makan kalau perutnya belum diisi nasi.

Achmad Subagio, dosen dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, Jawa Timur, misalnya, meneliti pembuatan beras tiruan sejak 2008. Ia menggunakan formula tepung singkong, ubi jalar, kentang, sukun, dan sagu.

Beras tiruannya berdiameter 2 milimeter dan panjang 4-5 milimeter, tapi kepadatan dan bentuknya belum sempurna sehingga masih mirip pelet. Beras tiruan dari Jember ini dipasarkan dengan merek dagang Beras Cerdas seharga Rp 6.000-7.000 per kilogram. Pemerintah Kabupaten Jember dan Trenggalek berencana memanfaatkan Beras Cerdas untuk pengganti beras untuk masyarakat miskin.

Berbeda dengan Beras Cerdas, beras analog dari IPB membidik pasar masyarakat menengah ke atas. Harganya Rp 9.000-14.000 per kilogram, bervariasi tergantung bahan dasarnya. Sorgum, misalnya, lebih mahal dibanding jagung dan sagu.

Keunggulan beras analog, ujar Slamet, terletak pada beberapa unsur yang tak dimiliki beras biasa. Beras dari jagung dan sagu, misalnya, memiliki kadar glikemik rendah sehingga cocok bagi penderita diabetes. "Itu sebabnya, beras ini tak manis ketika dikunyah," katanya.

Lain lagi dengan beras campuran sorgum. Kandungan antioksidannya membantu peremajaan kulit serta mencegah kanker. Begitupun kandungan prebiotik sorgum membantu proses pencernaan serta memperkuat sistem kekebalan tubuh.

Beras analog juga cocok bagi orang yang hendak menurunkan berat badan. Berasnya yang lebih padat membuat orang tak cepat lapar. Slamet menghitung 1 kilogram beras analog cukup untuk dikonsumsi 20 orang, sedangkan beras biasa hanya cukup bagi 10 orang. Slamet mengabarkan, berkat keunggulan tersebut, sebuah produsen produk pelangsing tubuh ternama telah melirik beras analog sebagai bahan dasar produknya.

"Zat bermanfaat juga bisa disuntikkan ke dalam beras analog," kata Slamet. Misalnya vitamin dan aneka mineral.

Firman Lubis, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dari Departemen Kedokteran Komunitas dan Keluarga, mencium potensi nutrisi beras Slamet itu. Ia menilai beras analog bisa memiliki banyak zat bermanfaat yang tak terdapat pada beras.

"Beras analog juga dapat menjadi solusi krisis pangan," katanya. Produksi kalori harian per kapita dari pertanian lokal, ujar Firman, mencapai 3.500 kalori, lebih tinggi daripada kebutuhan kalori harian orang Indonesia sekitar 2.000 kalori per hari. "Dengan demikian seharusnya Indonesia tak pernah mengalami krisis pangan," katanya.

Masalahnya, semua orang makan beras dan melupakan sumber karbohidrat lain. Ini terkait dengan pendapat sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa mereka merasa belum kenyang jika belum makan nasi. Padahal penyebabnya hanyalah faktor psikologis. "Orang Indonesia dicitrakan wajib makan nasi, makanan lain inferior," kata Firman.

Slamet sepakat. Dengan beras analog dari sumber karbohidrat lain yang cenderung terlupakan, kata dia, pemerintah tak perlu khawatir lagi akan menghadapi krisis pangan. "Dewi Sri (dewi padi) juga tak perlu lembur lagi, biar kami bantu dengan beras analog," kata Slamet.

Produksi massal beras analog, kata Slamet, sudah berada di depan mata. Ia, dibantu sejawatnya, sedang merancang mesin produksi yang bekerja sekali jalan. Dalam rancangan tersebut, mixer, pemanas, pengatur debit adonan, ekstruder, dan pengering berada dalam satu rangkaian. Sebuah perusahaan di Jawa Timur sudah menghubungi IPB untuk membeli alat yang dibanderol Rp 1 miliar ini.

Slamet juga tengah meneliti kajian ilmiah di balik formula temuannya bersama mahasiswa program doktor IPB. "Jika kami dapat sainsnya, merancang makanan untuk berbagai keperluan semudah menjentikkan jari," katanya.

Slamet yakin, ketika dipasarkan nanti, beras analog dapat diterima luas. Uji rasa yang diikuti 70 sukarelawan di IPB menunjukkan beras analog cukup disukai. Di rumahnya sendiri ia menemukan bukti.

Tiga bungkus nasi bakar dari beras analog yang dibawanya pulang pada suatu hari habis tak tersisa. Setelah menyantapnya untuk makan malam, Sekar Atias Salsabila, putri Slamet yang berusia 11 tahun, masih mencari nasi itu keesokan harinya.

"Dari situ saya yakin olahan beras analog memang enak," kata pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, ini sambil tersenyum.

Beras analog yang bisa diolah menjadi nasi goreng, nasi bakar, atau nasi uduk juga telah memikat Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail. Ia tertarik memasukkan beras analog ke program One Day No Rice di kotanya. Pemerintah Jawa Barat juga berencana menjadikan beras analog sebagai pangan masyarakat miskin.

Ada keinginan lainnya mengenai beras analog. Slamet ingin menghilangkan warna kuning pada beras analognya yang bersumber dari bahan baku jagung, yang memang berwarna kuning. Ia sudah mendapat gagasan cemerlang. Di Sulawesi, ia menemukan jenis jagung putih yang diproduksi petani lokal. Maka, selain ada Dewi Sri kuning langsat, ada pula yang berkulit putih.

Anton William, Eka Utami Aprilia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus