Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
HAMPIR saban hari Kromosjemito, seorang pengawas wilayah (opziener) pada zaman kolonial, menulis laporan dalam bahasa Melayu tentang gelandangan yang sakit atau meninggal di daerahnya. Pada 1 Februari 1852, misalnya, dia laporkan kepada Asisten Residen bahwa sehari sebelumnya, "ambah triema 1 bidjie orang perempoean dari Wedono distriek Semarang dan 1 bidjie perempoean dari Wedono distrik Srondol: – Mbok Tudjah, asal Kampoeng Terbaia distrik Semarang, sakit toelang dengan soedah toea, meninggal djam 06.00 pagi. – Mbok Srigati asal Patii dengan tidak poenja sanak soedara; dari ambah poenja pendapatan itoe orang boleeh misjkien djadie kuru sebab sakitnja." Ejaan kutipan sesuai dengan aslinya.
Ditulis tangan dalam ragam "tulisan halus" khas ajaran Belanda, teks asli laporan itu tersimpan di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Jumlah laporan sejenis itu mencapai ribuan kasus yang terhimpun dalam bundel "Ingekomen rapporten bij de Assistant Resident voor de Politie inzake armenmensen (orang kéré) 1840-1855" [Laporan masuk oleh Asisten Residen kepada Polisi mengenai orang miskin]. Lantaran tergerus oleh waktu——berumur sekitar 160 tahun——kertas dokumen itu rapuh, sebagian hancur. Laporan itu menggambarkan petaka kehidupan masyarakat pribumi di wilayah Semarang yang sangat memilukan karena didera kemiskinan, penyakit, dan kematian.
Pada hari yang sama, Kromosjemito juga melaporkan Setroeno, penduduk Desa Pilang, yang telantar karena tak punya keluarga dan menderita sakit "idoeng groewoeng"——mungkin direnggut kusta. Mirip dengan itu, ia kembali melaporkan "1 bidjie orang kéree lakie-lakiek, nama Djénggot, asal Kampoeng Deereesjan, inie arie itoe kéree matie sebab sakiet korèng kaki di kanan." Sedangkan Tan Kibo, pengelola rumah sakit milik orang Cina di Semarang, melaporkan "3 orang djawa laki sakit gila semoewa" yang dirawat di rumah sakit itu kabur entah ke mana. "Amba soeroe orang njang djaga boewat priksa dieja poenja djalan nahèk die atas tembok," tulisnya dari Peterongan, 21 Mei 1852.
Di balik laporan Kromosjemito (dan kawan-kawan) terpantul isu aktual kebahasaan ketika itu, yakni penggunaan bahasa Melayu dalam birokrasi kolonial Belanda meski dalam komposisi seadanya. Ejaan pun tak keruan dan tak konsisten. Semisal bunyi /i/ yang ditulis /ie/ atau /ii/, jelas karena pengaruh Belanda—seperti dalam penulisan politie. Tan Kibo menuliskan alamat tujuan laporannya dalam ragam Melayu Pasar yang biasa dipakai orang Cina pada masa itu: Kapada njang terhoormat Kandjeng Toewan Asjiestent Resjiesdent njang atas Koewasja di Kapolisjien dalem nagrie Samarang. Pada beberapa bagian lain laporannya, Kromosjemito menuliskan namanya Kromosemito——yang lebih lazim dalam ejaan nama orang Jawa.
Artinya, ada ketidaktaatasasan dalam praktek berbahasa (tulis) waktu itu. Maklum, tak ada panduan gramatikal yang bisa dirujuk oleh kerani seperti Kromosjemito. Berselang sekitar tiga dekade kemudian barulah terbit buku tuntunan berbahasa Melayu karangan Lie Kimhok, Malajoe Batawi: Kitab deri hal perkataän-perkataän Malajoe, hal memetjah oedjar-oedjar Malajoe dan hal pernahkan tanda-tanda batja dan hoeroef-hoeroef besar, yang "tertjitak pada toewan W. Bruining & Co., Batawi" (1884). Boleh jadi buku itu merupakan yang pertama dalam jenisnya yang terbit di Hindia Belanda. Sedangkan pembakuan ejaan versi Van Ophuysen yang dimuat dalam Kitab Logat Melajoe baru beredar setelah pergantian abad (1901).
Pada masanya, bahasa laporan Kromo disebut "Melayu Rendah". Inilah yang kemudian dipersoalkan oleh para pemangku kolonial sendiri: ragam Melayu manakah yang pantas dikembangkan, apalagi jika diinginkan menjadi dienstaal (bahasa resmi) pemerintahan. Di mata linguis H.C. Klinkert, Melayu Riau merupakan bahasa yang "menyebarkan peradaban dan pencerahan di antara inlanders". Pandangan ini tampaknya terinspirasi oleh kaum predikant (pendeta) yang memilih ragam Melayu "standar" ketika menerjemahkan Bibel pada zaman VOC. Namun Herman van der Tuuk, pekamus kelahiran Melaka, menyebutkan Melayu di Kepulauan Nusantara "bukan bahasa sebenarnya", melainkan brabbeltaal alias bentuk obrolan atawa ocehan——tapi justru inilah lingua franca sejati (dikutip J.E. Hoffman dalam Nusantara, 4/1973).
Sebaliknya, N. Graafland, pendidik yang tinggal di gugus kepulauan Timur, membela Melayu Rendah, dan melihat "Melayu Tinggi" asal Riau tak komunikatif bagi semua pribumi di Kepulauan Nusantara. Biarkan, kata dia, Melayu hidup dan berkembang bersama penuturnya. Di kalangan militer Hindia Belanda yang sebagian perwiranya Indo-Eropa dan membawahkan anak buah dari berbagai suku di Nusantara, beredar ragam "Melayu tangsi" (kazerne-Maleisch) yang agak menyulitkan komando. Maka Letnan Jenderal Van Kroesen, kepala staf tentara pada 1870-an, mengusulkan perwira dan prajurit Belanda yang bertugas di tanah jajahan belajar bahasa lokal, khususnya Jawa dan Melayu (lihat W.C. Niuwenhuyzen dalam Indische Gids, I/1884).
Tidak seperti bahasa pribumi di negeri jajahan lain yang tergilas oleh sistem kolonialnya, Melayu aman dalam kekuasaan Belanda di Nusantara. Di sisi lain, jelas pula Belanda——seperti ditulis Heather Sutherland dalam The Making of a Bureaucratic Elite (1979)——menularkan bahasa dan gaya hidup mereka kepada lingkaran binnenlandsch-bestuur atau elite pamong praja pribumi. Namun kemudian, kita tahu, perkembangan penting terjadi ketika kaum muda dengan cergas mentransformasikan Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia pada masa-masa awal abad ke-20——yang tak ada hubungan dengan bahasa resmi rezim kolonial.
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo