Pada saat pelatih bulu tangkis Indonesia diekspor ke negeri orang, beberapa cabang olahraga lain harus mengimpor pelatih asing ke sini. Cukup banyak cabang olah-raga yang menggantungkan pembinaan pada tenaga dari luar tersebut. Mereka umumnya dikontrak beberapa bulan menjelang pertandingan. Menjelang SEA Games XIX tahun 1997, misalnya, ada 23 cabang olahraga yang dibina oleh pelatih asing. Mereka datang dari pelbagai negara: Amerika Serikat, Cina, Pakistan, hingga Kuba dan Rumania. Dipecundanginya Indonesia oleh Thailand dalam SEA Games sebelumnya membuat pengurus KONI serta cabang olahraga bersangkutan gamang dan menempuh jalan cepat untuk mendongkrak prestasi.
Kontrak pelatih asing itu bervariasi. Ada yang hanya tiga bulan, tapi banyak yang sampai setahun. Nyatanya, tak semua pelatih asing tersebut bertangan dingin dan bisa menghadiahkan medali emas pada asuhannya. Bola basket dan hoki, umpamanya, cuma menggaet medali perunggu. Padahal, Nikolai Arkhipov, pelatih bola basket asal Rusia yang dikontrak untuk setahun, sudah ada di sini sejak 11 bulan sebelum SEA Games dimulai. Bandingkan dengan cabang karate, yang mendatangkan pelatih Jepang Suzuki Ryusho hanya dua bulan sebelum acara tersebut, tapi 14 medali emas masuk ke kantong anak asuhannya.
Prestasi buruk atlet-atlet binaan pelatih asing ini menimbulkan banyak cemooh. Sudah mendatangkan tenaga luar yang bayarannya mahal, prestasi yang dicetak pun begitu-begitu saja. Untuk itu, Bernard Schumm, pelatih kepala tim PSSI praolimpiade yang berasal dari Jerman, berkilah, "Pelatih bagus tanpa pemain yang berbakat tidak akan meraih kemajuan apa-apa. Harus ada keseimbangan," ujarnya.
Mungkin pendapat pelatih yang sudah dikontrak sejak pertengahan 1997 lalu itu ada benarnya. Kalau begitu, apa bedanya mereka dengan pelatih dalam negeri, sementara gaji mereka jauh berlipat-lipat? Sebagai perbandingan, menurut Sarengat, Wakil Ketua Pembinaan Prestasi KONI, pelatih lokal hanya digaji Rp 700 ribu per bulan, sementara KONI menetapkan plafon gaji untuk pelatih impor sebanyak US$ 1.500 tiap bulan (Rp 13,5 juta, dengan kurs Rp 9.000) alias hampir 20 kali lipat. Gaji itu pun masih mungkin melampaui plafon yang kekurangannya dibayarkan oleh pengurus olahraga bersangkutan. Mau tahu bayaran pelatih top? Gebhard Gritsch, pelatih tenis asal Austria yang dikontrak oleh PB Pelti, punya harga US$ 8.500!
Mahal? Menurut mereka, tidak. "Kualitas itu punya harga sendiri. Ketika Anda ingin pelatih yang baik, Anda tidak bisa membayar dia seperti pemain kampung," kata Bernard Schumm.
Banyaknya uang yang mesti keluar untuk prestasi olahraga yang tak pernah menonjol ini membuat prihatin M.F. Siregar, Ketua Bidang Pembinaan PBSI. Padahal Indonesia sudah mengimpor pelatih asing sejak Asian Games 1962. "Lalu, ke mana semua uang itu? Kenapa tidak kita alihkan untuk investasi pelatih dalam negeri? Kenapa sekolah pelatihan tidak kita bikin bagus?" katanya. Sebuah kritik yang sebaiknya dipikirkan oleh para pengurus olahraga kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini