BULU tangkis identik dengan keharuman, juga rezeki, bagi orang Indonesia. Dari bulu tangkis tak hanya mengalir piala dan medali, juga hadiah serta kontrak bisnis yang nilainya cukup besar. Biasanya, atletlah yang beruntung dalam kontrak seperti ini, tapi kini ternyata Atik Djauhari, pelatih nasional bulu tangkis untuk ganda putra, juga mendapatkannya. Sejak pertengahan bulan lalu, ia dikontrak oleh Asosiasi Badminton Swedia (SBA) hingga Desember 2000.
Di negeri itu, Atik menangani tim nasional bulu tangkis Swedia plus dua klub besar. Sesuai dengan pengalamannya sebagai pelatih ganda selama 25 tahun, pelatih bulu tangkis yang meniti karir badminton melalui klub Simpati di Bandung pada awal 1960-an itu bertugas memoles penampilan pemain ganda putra dan putri serta campuran Swedia, yang belakangan ini terpaku di level kedua atau di bawah tim Asia seperti Cina dan Indonesia.
Kepergian Atik memicu pro dan kontra. Yang kontra mengkhawatirkan kelanjutan pembinaan ganda putra, sedangkan yang menyokongnya beralasan bahwa para pelatih kerap dijadikan anak tiri—terutama dalam soal pembagian hadiah—setiap kali tim bulu tangkis Indonesia menang.
Dalam masalah uang, nasib para pelatih bulu tangkis Indonesia memang tak secerah anak-anak asuhannya. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), misalnya, hanya berani menggaji Rp 2 juta—bisa meningkat sampai Rp 5 juta bila ditambah dengan bonus dan kontrak alat-alat olahraga. Padahal, dengan setumpuk pemain, Indonesia dianggap gudang pelatih yang banyak diincar pengurus besar bulu tangkis dari negara lain. Mereka jelas menawarkan bayaran yang tidak kecil, bisa sampai 10 kali lipat daripada yang diterima di dalam negeri. Selama ini, sudah banyak pemain bulu tangkis nasional yang dikontrak Swiss, Jepang, atau Hong Kong, saat off season di Tanah Air. Mereka mendapat bayaran US$ 2.000 untuk setiap pekan.
Memang, ada saja pelatih yang tak tergiur dengan iming-iming dolar itu. Icuk Sugiarto, satu contohnya. Ia lebih senang berkutat melatih puluhan pemain yunior di klub Pelita Bakrie. Padahal, sejak tahun lalu, klubnya sudah tak mendapat subsidi. Maka, meski ia harus memberi makan sebagian anak-anak asuhannya, aktivitas itu terus dijalankannya. "Kalau saya bubarkan, anak-anaknya akan saya kemanakan?" ujarnya.
Tentu, keputusan Atik tak bisa begitu saja disalahkan karena ia punya alasan sendiri. Dengan dua anak dewasa yang bersekolah di Belgia, kebutuhan finansialnya memang besar. Kini, selain bisa mengunjungi anaknya, ia mendapat imbalan yang lumayan dari SBA. Soal gaji, ia merahasiakannya. Tapi, selain memperoleh gaji, Atik juga mendapat apartemen dan kendaraan gratis.
Namun bukan melulu soal itu yang memacu Atik meninggalkan Indonesia. "Untuk penyegaran, agar motivasi dan inovasi saya tak hilang," kata pelatih senior berusia 50 tahun ini, yang mengantar Ricky Subagja dan Rexy Mainaki menjuarai Asian Games Bangkok 1998. Soal ganda putra asuhannya, ia yakin tak bakal keteteran. Mereka dalam keadaan solid. Begitu pula pelatihnya. Selain masih ada Christian Hadinata, di pusat pelatihan nasional Cipayung yang dibidaninya itu juga bercokol pelatih Heri I.P. dan Sigit Pamungkas.
Bagaimanapun, menurut Rudy Hartono, pemegang rekor juara All England delapan kali, kepergian Atik dapat menggoyang penampilan pemain yang ditinggalkannya. Satu-satunya jalan untuk memperkuat barisan adalah mengoptimalkan kemampuan pelatih yang ada, karena tak mungkin mengimpor pemain asing. "Buat apa? Indonesia itu gudangnya pemain bulu tangkis," kata Rudy.
Sayangnya, gudang bulu tangkis ini rapuh terhadap tawaran negara luar. M.F. Siregar, Ketua Bidang Pembinaan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), yang semula merasa gembira dengan kepergian Atik karena baik untuk citra Indonesia, mengaku bahwa imbalan besar dari Swedialah yang menyebabkan Atik terbang ke sana. Ketimpangan ini merupakan persoalan kronis yang bisa menjadi friksi, seperti yang dikhawatirkan Ivana Lie, mantan pemain bulu tangkis nasional. "Lama-lama bisa terjadi krisis pelatih," katanya.
Atik merupakan pelatih nasional pertama yang terbang ke mancanegara. Namun sudah lama pelatih-pelatih klub melangkah ke dunia internasional. Tan Yoe Hok, pemain Indonesia pertama yang menjadi juara All England, telah mengajarkan cara mengayunkan raket kepada pemain mancanegara, antara lain Kamboja, Hong Kong, Iran, Brunei, dan Meksiko, pada 1970-an.
Pada masa itu, nama Indonesia memang sedang harum-harumnya. Negara seperti Swedia, Brunei Darussalam, Thailand, Singapura, dan Vietnam mengincar pelatih dari sini. Salah satu pemain yang dipikatnya adalah Iie Sumirat, anggota tim Thomas Cup 1970-1979. Pemain asal Jawa Barat itu menjadi "guru" di Kamboja (1994) untuk mempersiapkan atlet nasionalnya menuju Asian Games di Hiroshima (1994).
Menurut Iie, fasilitas yang diberikan pemerintah Kamboja kepada pelatih asing sangat representatif. Mulai dari pemondokan hingga transportasi, semua telah tersedia. Ringkasnya, Iie tinggal membawa badan. Gaji yang diterima pun menggiurkan, kira-kira 15 kali lipat dari honor yang diterima dari PBSI. "Kita sangat dikenal di sana dan dijadikan kiblat mereka," ujar Iie.
Tampaknya, cuma kelebihan finansial itu yang bisa dipetik Iie. Selain itu, tak banyak yang bisa dipetik dari aktivitasnya melatih tim nasional Kamboja. Sebab, kondisi pusat pelatihan di sana jauh tertinggal daripada di Indonesia. Lapangan yang tersedia cuma satu, dan gedung yang digunakan pun bekas barak tentara berusia puluhan tahun. "Diperlukan waktu yang panjang bagi Kamboja untuk mengejar Indonesia," katanya.
Ivana Lie, yang pernah tinggal di Amerika Serikat pada 1988, berkesempatan melatih pemain amatir di sekolah setingkat SLTP. Menurut Ivanna, kualitas pemain di sana masih sangat jauh jika dibandingkan dengan pemain klub atau pusat pelatihan di Indonesia sekalipun. Namun, itu cerita 10 tahun lalu. Kini Amerika mulai serius menggeluti olah raga tepak bulu itu. Indikasi ini bisa disimak dengan hadirnya Ardi B. Wiranata sebagai pelatih nasional di Colorado sejak tahun lalu.
Jangan-jangan, tahun mendatang, gudang pelatih bulu tangkis Indonesia pindah ke negara lain.
Ma'ruf Samudra, Ardi Bramantyo, Henriko L. Wiremmer (Jakarta), Upik Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini