Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Euforia yang mengikuti keberhasilan Islandia lolos ke putaran final Piala Eropa 2016 kerap meletupkan rasa kesal di dada Saerun Jonsdottir, warga Reykjavik, Islandia. Setiap hari, di berbagai sudut kota, keajaiban yang ditorehkan tim sepak bola negara itu masih terus menjadi bahan perbincangan. Meski ikut senang dan bangga terhadap prestasi ini, gadis itu juga sedikit kesal karena keberhasilan tersebut telah mengganggu rencana pernikahannya.
Ia dan tunangannya, Haukur Valgeir, sudah menetapkan tanggal 18 Juni 2016 sebagai hari perkawinan. Namun pendeta Gudni Mar Hardarson, yang semula setuju memimpin upacara pernikahan mereka, mendadak memberi kabar buruk. "Ia akan terbang ke Prancis untuk menonton tim nasional," kata Jonsdottir, seperti dikutip Iceland Review, awal bulan ini.
Tim nasional Islandia akan menjadi satu dari 24 peserta Piala Eropa 2016, turnamen sepak bola antarnegara Eropa, yang akan berlangsung di Prancis pada Juni-Juli tahun depan. Itu akan menjadi putaran final pertama bagi Negara Islandia, seperti halnya Albania, Wales, Irlandia Utara, dan Slovakia. Namun, berbeda dengan pendatang baru lain, tim dari Negeri Es itu melaju dengan menggenggam rekor sebagai negara terkecil yang bisa lolos. Dengan jumlah penduduk 330 ribu orang, Islandia memecahkan rekor Slovenia, yang berpenduduk 1,9 juta orang saat melaju ke putaran final Piala Eropa 2000.
Lolosnya Islandia menjadi kejutan besar, bahkan bagi kapten tim Aron Gunnarsson. "Ini luar biasa. Saya bahkan tak pernah memimpikan ini," ujar pemain Cardiff City itu dengan wajah berseri-seri pada 6 September lalu. Beberapa saat sebelumnya, hasil seri 0-0 yang diraih Islandia ketika melawan Kazakstan mengantar Strakarnir Okkar—julukan tim Islandia yang berarti "anak-anak kami"—lolos ke Prancis dengan masih menyisakan dua pertandingan. Itulah prestasi yang mengesankan, mengingat Jerman, yang tahun lalu menjadi juara Piala Dunia di Brasil, pada saat yang sama masih terus berjuang untuk merebut tiket ke putaran final.
Keajaiban Islandia ini tak lepas dari peran Lars Lagerback, 67 tahun. Pria Swedia itu ditunjuk menjadi pelatih pada Oktober 2011. Dengan pengalaman melatih selama 20 tahun, termasuk di tim nasional Swedia dan Nigeria, ia menghadapi tantangan yang tak kecil ketika menangani Islandia.
Kala itu, Islandia baru meraih hasil sangat buruk pada kualifikasi Piala Eropa 2012: 8 kali main, 6 kali kalah, dan hanya sekali menang. Tapi, "Lars bilang kami memiliki tim yang cukup kuat untuk lolos ke Piala Dunia," kata Heimir Hallgrimsson, asistennya, mengutip komentar Lagerback pada tahun itu. "Saya pikir dia gila."
Berbekal pemain muda yang pada 2011 meloloskan Islandia ke putaran final Piala Eropa di bawah usia 21 tahun (U-21), termasuk Kolbeinn Sigthorsson (kini bermain di Nantes) dan Gylfi Por Sigurdsson (Swansea), Lagerback mulai membuat gebrakan. Dia membawa Islandia melaju ke babak playoff Piala Dunia 2014. Prestasi itu banyak mengundang pujian, meski tiket ke Brasil tak dapat diraih karena Islandia disingkirkan Kroasia.
Dalam kualifikasi Piala Eropa 2016, yang berlangsung sejak September tahun lalu, timnya tak gagal lagi. Islandia melaju mulus, antara lain berkat keberhasilan memukul Belanda dua kali: 2-0 dan 1-0. Republik Cek, yang juga lolos ke putaran final, dikalahkan 2-1 meski pada laga pertama menang dengan skor sama.
Prestasi itu membuat Lagerback dielu-elukan sebagai pahlawan. Tapi ia merendah. "Nelson Mandela adalah pahlawan. Saya hanya pelatih sepak bola," ujarnya.
Baginya, keberhasilan tim nasional merupakan buah kerja keras banyak pihak, termasuk asosiasi sepak bola setempat (Knattspyrnusamband Islands atau KSI). "Enam atau tujuh tahun lalu, mereka membangun lapangan indoor. Itu berarti pemain bisa berlatih dengan layak sepanjang tahun," katanya.
Arnar Bill Gunnarsson, Direktur Teknik KSI, membenarkan pendapat bahwa pembangunan lapangan indoor itu menjadi terobosan bagi Islandia. Berkat stadion indoor yang dibangun asosiasi itu pada 2001, sepak bola, yang semula hanya bisa dimainkan lima bulan dalam setahun—karena faktor cuaca yang tak bersahabat—kini bisa ditekuni sepanjang tahun.
Negara dengan luas 102 ribu kilometer persegi itu kini memiliki 7 stadion indoor berstandar internasional, 4 stadion indoor yang lebih kecil, dan 22 lapangan outdoor. Selain itu, ada 150 lapangan kecil lain di seantero negeri.
KSI juga gencar menggelar kursus kepelatihan. Hasilnya, pada 2013, negara itu memiliki 447 pelatih berlisensi B dan 185 pelatih berlisensi A. Gunnarsson mengklaim Islandia sebagai negara terbaik di dunia dari segi ketersediaan pelatih. "Ketika memulai sepak bola di Islandia, minimal Anda akan ditangani pelatih berlisensi B, bahkan A. Jadi Anda ditangani pelatih berkualitas sejak awal," ujarnya.
Kehadiran pelatih berkualitas itu memberi nilai lebih pada para pemain, yang sejak semula dikenal sebagai petarung tak kenal lelah di lapangan. "Kini kami juga memiliki kemampuan teknik lebih ketimbang sebelumnya," kata Gunnarsson. Keunggulan mental dan teknik itu membantu Islandia lolos ke Paris.
Tambahan kuota peserta turnamen—dari 16 menjadi 24 tim—ikut memudahkan tim-tim kecil lolos ke putaran final Piala Eropa 2016. Khusus untuk Albania, lajunya juga tak terlepas dari faktor "keberuntungan" karena perseteruan dengan Serbia.
Ketika bertanding pada Oktober 2014, tim Albania dan Serbia sempat bentrok gara-gara pemain Serbia merobek-robek bendera yang dibawa sebuah drone yang masuk lapangan. Pertandingan yang masih berkedudukan 0-0 itu dihentikan dan Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) memberikan kemenangan 3-0 bagi Serbia. Tapi permohonan banding yang diajukan Albania ke Badan Arbitrase Olahraga (CAS) menganulir keputusan UEFA, yang balik memberikan kemenangan 3-0 kepada Albania.
Poin yang diberikan CAS itu menjadi krusial bagi Albania dalam persaingan perebutan posisi kedua dengan Denmark. Setelah mengalahkan Armenia 3-0 pada Sabtu dua pekan lalu, tim itu akhirnya memastikan diri lolos bersama Portugal ke putaran final Piala Eropa 2016.
Namun, di luar itu, pelatih Giovanni de Biasi sudah bekerja keras untuk membangun tim terbaik Albania. Pria Italia itu mulai menangani Albania pada 2011. Mantan pelatih Brescia dan Udinese ini menemukan situasi ironis: Albania sulit menemukan pemain bagus, tapi banyak pemain berdarah Albania yang malah menjadi andalan tim nasional negara lain.
De Biasi lantas bekerja keras merayu para pemain diaspora itu. Satu per satu bintang itu pulang kampung, seperti Mergim Mavraj (kelahiran Jerman), Migjen Basha (Swiss), dan Berat Djimsiti (Swiss). Dengan tim barunya, dia membawa negeri seluas 28.748 kilometer persegi dan berpenduduk 2,8 juta itu pelan-pelan menembus Piala Eropa 2016.
Tapi tugasnya belum selesai. Ia harus memastikan timnya tak hanya menjadi penggembira saat tampil di Prancis nanti.
Nurdin Saleh (FIFA, UEFA, Guardian, ESPN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo