Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Ihwal Profesi dalam Sastra

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zen Hae

Bahasa Indonesia punya sejumlah cara dalam membentuk nomina yang bermakna "profesi" atau "pelaku". Dari membubuhkan prefiks pe-, menempelkan aneka sufiks serapan, hingga menambahkan kata "tukang". Sejumlah profesi dalam dunia kesusastraan mengalami semua itu: penyair, esais, novelis, cerpenis, deklamator, tukang cerita.

Dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja, sebutan-sebutan itu telah kita terima begitu saja. Sebutan-sebutan itu mengarahkan kita kepada orang yang punya pekerjaan menulis syair/puisi, esai, novel, dan cerpen, membaca puisi, serta membawakan cerita di atas panggung. Namun, jika kita telisik, akan tampak sejumlah kasus menarik berkaitan dengan proses morfologis sebutan-sebutan tersebut.

Misalnya, penyair adalah nomina yang dihasilkan dari proses morfofonemik syair à bersyair à penyair. Namun maknanya lebih mengarah kepada "orang yang menulis puisi", bukan "menulis syair". Di sini, "syair" adalah nama umum untuk jenis karangan yang kini kita sebut sebagai "puisi", meski di masa silam "syair" adalah genre sastra tersendiri, yang kelak berbeda dengan "puisi" (modern).

Sedangkan cerpenis berasal dari akronim "cerpen" (cerita pendek) yang mendapat sufiks -is. Sebenarnya, sufiks serapan -is dalam bahasa Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai pembentuk nomina yang "berhubungan dengan -isme" (kapitalis, sosialis, individualis) atau pembentuk ajektiva yang bermakna "bersangkutan dengan" (teknis, praktis, Digulis) ketimbang "pelaku" atau "profesi". Dalam kasus cerpenis, mengapa sufiks serapan ini berfungsi sebagai pembentuk nomina yang bermakna "pelaku" atau "profesi"?

Lebih dulu kita mesti memeriksa bentukan esais dan novelis. Esais (variasi: eseis) kita serap dari essayist (Belanda dan Inggris) untuk menamai "penulis esai". Sayangnya, esai itu sendiri termasuk jenis tulisan yang tidak mudah dikenali sekarang ini. Jangankan orang awam, kaum sastrawan sendiri belum tentu mampu membedakan antara esai, kolom, dan kritik.

Lain lagi dengan novelis, yang sejauh ini punya dua sumber serapan: novelist (Inggris) dan novellist (Belanda). Harap diingat, kamus Loan-Words in Indonesian and Malay (2008) suntingan Russell Jones mendaftar kata novelis sebagai serapan dari novellist, bukan novelist. Jika kita menyerapnya dari bahasa Inggris, bereslah urusan, karena maknanya tepat: "penulis novel". Namun, jika kita menyerapnya dari Belanda, tampaklah salah kaprah itu. Ternyata, di Negeri Keju, novellist bermakna "penulis cerpen", sementara penulis novel dalam bahasa Belanda disebut romanschrijver.

Marilah kita berprasangka baik bahwa novelis diserap dari novelist dan bukan novellist. Yang pasti, siapa pun yang pertama kali menggunakan sebutan cerpenis melihat potensi besar sufiks -is untuk dikawinkan dengan kata-kata lain dalam bahasa Indonesia agar bisa melahirkan nomina bermakna "pelaku" atau "profesi". Termasuk dengan kata cerpen yang menghasilkan cerpenis. (Sekelompok pekerja LSM di Jakarta pada awal 2000-an pernah menggunakan kata burjois [sebagai pelesetan dari borjuis] untuk menamai "penggemar bubur kacang ijo [burjo]".)

Pembentukan kata berimbuhan berwatak Indis itu tampaknya mengesampingkan potensi prefiks pe- yang selama ini terbukti menghasilkan banyak sekali nomina bermakna "pelaku" atau "profesi". Selain penyair, ada petinju, penambang, pengojek, pelancong, pengutil, dan seterusnya. Akhir-akhir ini malah orang mulai berani menggunakan bentukan pemuisi yang bermakna "penulis puisi" sebagai padanan penyair. Malah pada 1950-an dikenal bentukan penyanjak yang bermakna "penulis sanjak/sajak"—sebagaimana judul tulisan H.D. Mangemba dalam majalah Indonesia (Oktober 1953): "A.M. Dg. Myala sebagai Penyair (Penyanjak)".

Apakah kita bisa membentuk nomina sejenis dengan kata cerpen sehingga menjadi pecerpen? Semestinya bisa. Secara proses morfofonemik, ia memenuhi syarat: cerpen à becerpen (bermakna "mengusahakan sebagai mata pencarian", sebagaimana beternak dan berkedai) à pecerpen. Apakah bentukan ini akan berterima? Tergantung seberapa berani kita menggunakan bentukan baru ini dalam penulisan.

Kendati demikian, cerpenis telanjur diterima sebagai nama salah satu profesi dalam dunia kesusastraan. Ia adalah hasil kreativitas kita dalam menyerap sufiks -is, yang mula-mula kita serap dari bahasa Belanda dan belakangan dari bahasa Inggris. Terbukti, kreativitas kita dalam mengawinkan imbuhan asing dengan kosakata Indonesia tidak berhenti pada kasus sufiks -is semata, tapi juga pada sufiks -isasi. Tengoklah bagaimana agresifnya kita menggunakan sufiks ini dalam pembentukan nomina bermakna "proses". Kita tidak hanya menggunakan modernisasi dan asimilasi (dari modernization dan assimilation), tapi juga kuningisasi dan betonisasi.

Kreativitas ini, tentu saja, memperlihatkan hasrat kita dalam memodernkan bahasa Indonesia. Tapi, di sisi lain, ia bisa menunjukkan kemalasan kita dalam berbahasa. Sebab, sebenarnya, kita masih bisa menggunakan bentukan penguningan dan pembetonan untuk maksud yang sama. l

Penyair, kritikus sastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus