Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bilih Sudah Berkesuh-kesih

Iklan bilih, yang merupakan hewan endemis Danau Singkarak, akan punah 10 tahun lagi. Bendungan dan penangkapan anak ikan penyebabnya.

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fahrizal membiarkan sampannya mengapung di muara Sungai Sumpur di Danau Singkarak. Lelaki 53 tahun itu berdiri dan melempar jaring ke dalam air yang dangkal. Tak berapa lama kemudian dia menariknya lambat-lambat. Sepuluh ekor ikan bilih tersangkut di jaring, tapi semuanya kecil-kecil. Yang terbesar hanya seukuran telunjuk.

"Sudah sejak pagi saya menjaring, baru dapat setengah liter," kata Fahrizal, Senin siang pekan lalu. "Biasanya, saat musim ikan beberapa tahun lalu, sehari bisa sampai 10, bahkan pernah 20 liter."

Hal serupa dialami beberapa nelayan lain yang mencari ikan di danau di Nagari Sumpur, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, ini. Dulu mereka bisa mengumpulkan 20 liter ikan per hari, tapi kini paling-paling hanya dua liter. Ikan itu dijual ke pedagang dari Ombilin Rp 40 ribu per liter.

Fahrizal menyalahkan bendungan pembangkit listrik tenaga air Singkarak sebagai penyebab menurunnya populasi bilih. Pada 1997, Sungai Batang Ombilin, tempat keluarnya air danau, dibendung untuk memutar turbin pembangkit listrik itu, sehingga tidak ada jalan keluar bagi sampah dan limbah yang masuk ke danau. "Airnya sekarang semakin kotor, semakin banyak lumpurnya, padahal dulu jernih sekali. Ikan pun jadi semakin sedikit," ujarnya.

Banyak nelayan rekan Fahrizal di Nagari Sumpur, satu dari 13 nagari di tepian Singkarak, menyerah dan banting setir menjadi pedagang sawo, yang banyak tumbuh di kampung, atau merantau. Dari 150 nelayan di kampungnya, kini tinggal belasan orang yang masih mengais rezeki di danau yang terletak di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok itu.

Ikan endemis Singkarak ini menjadi populer pada akhir 1900-an hingga pertengahan 2000. Pada zaman keemasannya, dua-tiga ton ikan bilih ditangkap setiap hari dari danau itu. "Pada masa itu, saya mandi pagi ke danau sambil membawa jaring saja sudah mendapat dua liter bilih pada pukul delapan pagi. Cukup untuk mengasapi dapur selama dua hari," kata Afrizal Datuk Marajo, Sekretaris Nagari Sumpur.

Kini ikan itu jadi langka dan harganya melambung mencapai Rp 250 ribu per kilogram di Singkarak—empat kali lipat lebih dari harga tahun lalu. Di Padang, harga bilih kering bisa menembus Rp 280 ribu per kilogram. Di Pasar Padang Panjang, kota terdekat dengan danau, bilih bahkan tak lagi dijual di toko-toko makanan untuk oleh-oleh. "Harganya sudah terlalu tinggi, sampai Rp 250 ribu sekilo," ujar Bevin, pemilik toko makanan tradisional di pasar tersebut.

Di sepanjang pinggir Danau Singkarak juga tidak ada lagi penjual bilih goreng, yang dulu jadi primadona warung-warung di sana. "Hanya pedagang Ombilin yang tetap menjajakan bilih goreng dengan membeli langsung dari nelayan di tepi danau," kata Joni, nelayan di Nagari Sumpur. "Yang ingin makan bilih itu kebanyakan perantau. Kalau kami di sini lebih baik makan ikan yang lain."

Karena banyak rumah tangga di Nagari Sumpur yang menggantungkan hidup pada bilih, pada 2004 masyarakat dan pemerintah bersepakat membuat Peraturan Nagari Nomor 3 Tahun 2004 tentang Tata Tertib Penangkapan Ikan dalam Kawasan Nagari Sumpur, yang melarang penangkapan ikan dengan bahan peledak, setrum, dan potasium. Pemasangan pukat juga diatur dan mata jaring tidak boleh terlalu kecil untuk menyelamatkan anak-anak bilih.

"Aturannya sampai sekarang tetap berlaku, tapi bagaimana bisa menyelamatkan bilih kalau 12 nagari lainnya tidak punya aturan yang sama?" ujar Afrizal Datuk Marajo.

Napas bilih kini seakan-akan sudah kesuh-kesih, terngih-ngih seperti orang bengek. Populasi Mystacoleucus padangensis ini mulai langka akibat penangkapan besar-besaran yang tak ramah lingkungan dalam 15 tahun terakhir. "Bilih ini endemis Danau Singkarak, satu-satunya di dunia. Kalau tidak cepat ditangani sekarang, perkiraan saya dalam 10 tahun lagi akan tinggal nama," kata Hafrijal Syandri, guru besar perikanan Universitas Bung Hatta, Padang, yang meraih gelar doktor lewat penelitiannya tentang bilih.

Penyebab lain berkurangnya populasi bilih, kata Hafrijal, adalah maraknya penangkapan menggunakan waring dengan mata jaring yang sangat halus, sehingga menjerat pula anak-anak bilih. Terdapat 400 rakit yang memakai waring yang beroperasi setiap malam di danau. Prinsip kerjanya mirip dengan bagan di laut yang menggunakan lampu untuk menarik ikan.

Penduduk yang berumah di pinggir Danau Singkarak biasanya membuat waring berupa rakit dengan penerangan lampu listrik yang mengapung sejauh 25 meter ke tengah danau. Bilih yang berkumpul di dekat waring itulah yang mereka tangkap. Tapi tangkapan itu termasuk ribuan anak ikan.

Bilih kecil, seukuran 6-12 sentimeter, disebut ikan pelagis dan memakan fitoplankton, sehingga berperan penting dalam ekologi danau tektonik seluas 11.200 hektare itu. Bila bilih tak ada, fitoplankton akan tumbuh subur dan perairan akan menjadi hijau, tidak jernih lagi. "Sekarang sudah kelihatan. Kecerahannya semakin berkurang, tinggal enam meter. Bandingkan dengan Danau Toba, yang pada kedalaman 20 meter masih tembus cahaya," kata Hafrijal.

Bilih berkembang sampai dewasa di danau dan pada usia enam bulan akan memijah dengan cara menyongsong arus sungai. Ribuan ekor bilih setiap hari, mulai sore hingga dinihari, akan memijah dengan cara beruaya ke sungai yang bermuara di danau, seperti Sungai Sumpur, Paninggahan, Baing, Saningbakar, dan Muaro Pingai. Sungai-sungai itu berkerikil dan kerakal serta dangkal dengan kedalaman 20-30 sentimeter.

Di muara sungai itulah nelayan mencegat ikan-ikan tersebut dengan jala dan lukah (semacam bubu) atau membendung sungai. Telur ikan yang tidak tertangkap dan berhasil memijah akan dihanyutkan oleh arus sungai ke danau dan menetas setelah 20 jam.

Kondisi Singkarak, menurut Hafrijal, juga diperparah oleh adanya pembangkit listrik berkapasitas 175 megawatt yang membendung Sungai Batang Ombilin, tempat keluarnya air Danau Singkarak, sejak 1997. Bendungan itu mengakibatkan sedimentasi karena sampah yang masuk ke danau tidak bisa keluar. "Padahal Singkarak itu comberan Kota Solok. Sampah domestik dari sungai-sungai di sekitarnya masuk semua ke danau itu," ujarnya.

Untuk menyelamatkan bilih, menurut Hafrijal, harus ada aturan dan tindakan pemerintah provinsi, karena danau itu berada di dua kabupaten. Pemerintah harus membuat peraturan daerah khusus penanganan bilih dan mengatur penggunaan alat tangkap dengan jaring insang atau jaring langli seukuran minimal 0,75 inci.

"Perlu dilakukan moratorium selama satu tahun, stop penangkapan bilih, untuk memberi kesempatan bilih berkembang biak, karena ikan ini cepat bereproduksi. Usia enam bulan sudah memijah. Satu induk bisa mengeluarkan 5.000 telur," kata Hafrijal.

Bilih pernah dibudidayakan di laboratorium oleh Hafrijal, tapi biaya pemeliharaannya tinggi karena harus menggunakan pakan alami untuk anak bilih. "Saya tidak merekomendasikan budi daya bilih karena belum ada teknologi kita untuk menghasilkan pakan alami skala besar."

Sejak 2009, Singkarak termasuk 15 danau prioritas yang akan diselamatkan pemerintah dalam program pengelolaan danau berkelanjutan. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sumatera Barat Asrizal Asnan mengatakan pemerintah sedang menyusun peraturan daerah untuk menangani Danau Singkarak. "Sudah dibuat perencanaan penyelamatannya dan sekarang sedang dibuatkan peraturan daerah. Kalau peraturan sudah dibuat, dari sana kita berbagi peran antara provinsi dan dua kabupaten, Solok dan Tanah Datar."

Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus