BERIKUT ini bukan ceritera trayek jarak jauh Banda Aceh --
Denpasar yang bulan ini dijelajahi Menteri Perhubungan Rusmin
Nurjadin. Cuma sepotong trayek kecil, yang jaraknya pun hampir
sama dengan jarak Jakarta-Ciawi, 66 km. Yaitu jalur Sibolga -
Tarutung. Bedanya, jarak dua kota di Sumatera Utara tersebut
tidak bisa, ditempuh mobil dalam tempo satu jam. Karena mobil
harus merayap naik -- kadang-kadang begitu terjal, sampai 40ø di
KM 5,5. Untuk sampai dengan selamat orang harus sabar dengan
makan waktu 3 atau 4 Jam.
Selain terjal, keistimewaan lainnya jarak ini mempunyai tikungan
sebanyak 1200 buah! Sebelah kiri dibatasi punggung gunung dan di
bibir jalan sebelah kanan menganga jurang yang dalam.
"Tetapi jalur Sibolga-Tarutung ini bukan gudang kecelakaan,"
ujar Peltu Rizal yang jadi Komandan Operasi Polantas Kores 211,
Tapanuli Tengah. Buktinya, "tahun lalu hanya terjadi 7 kali
kecelakaan saja." Jalan yang menanjak dan berkelok, kalau dari
Sibolga, tidak memungkinkan pengemudi melepaskan kewaspadaannya.
Salah langkah sedikit, juranglah makanannya. "Coba sebutkan, di
mana ada jalur jalan yang mempunyai tikungan sebanyak di sini,"
kata Rizal. "Jadi hanya orang gila yang berani ngebut di situ."
Orang Rante
Karena itu, banyak supir sebisa-bisa menghindari jalur yang satu
ini. Kalau jalur Padangsidempuan-Sipirok-Pahae-Tarutung,
oke-lah. Tapi kalau diteruskan sampai ke Sibolga. nanti dulu!
Kalau terpaksa lewat juga, supir bis dan keneknya harus
memeriksa rem mobilnya lebih dulu. Kalau sudah sampai di
Sibolga, apa boleh buat, tampang mobil jadi kotor tidak karuan.
Karena terkocok rupanya banyak penumpang memuntahkan isi
perutnya tak kira-kira. Pemandangan yang bukan main indah
seperti di Teluk Tapiannauli yang tampak mempesona dari Bonan
Dolok di Km 9, jadi tak menarik lagi.
Jalan yang hebat itu telah ada semenjak jaman Belanda.
"Sebetulnya jalan itu sendiri masih muda usianya," ujar S.O.
Sianturi, yang di jaman Belanda dulu jadi Mantri Garam I di
Balige dan bekas anggota DPRD II Kodya Sibolga hasil Pemilu '71,
membuka kisah asal-usul pembuatan jalan itu. Selepas perang
Sisingamangaradja di tahun 1907, katanya, pemerintah Belanda
mengalami kesulitan melancarkan komunikasi kawasan sekitar
Tarutung yang kaya akan hasil hutan dengan Sibolga sebagai
pelabuhan alam Bagaimana memboyong hasil bumi Tapanuli Utara ke
Sibolga?
Maka adalah menir Stins, waktu itu dikenal sebagai kepala
bengkel Pekerjaan Umum di Sibolga, menemukan cara menembus
kesulitan Stins, yang oleh orag-orang Sibolga diganti jadi
sebutan tuan Sitenus, cukup terkenal di Padanglawas dan daerah
sekitarnya. Dia kesohor sebagai Belanda yang baik, tidak
sombong, bahkan isterinya pribumi berasal dari pulau Jawa. Pula
ia fasih berbahasa Tapanuli. Dia inilah yang memimpin pembuatan
jalan Sibolga-Tarutung.
Dipekerjakannya orang-orang hukuman yang biasanya berasal dari
Jawa dan Bugis. Orang rante, begitu orang menyebut narapidana,
digiring dari penjara di Jalan Tarutung, Sibolga, yang kini
telah jadi kantor Pajak Gadai. Tahap demi tahap, mereka mengorek
bukit batu, atau meledakkannya dengan dinamit.
"Dinamit model kuno," kata Abdul Rahim Siregar (81 tahun) yang
dulu pernah jadi klerek di Kantor Residen Tapanuli sampai tahun
1922. Artinya, Sitenus tidak mempergunakan kabel atau kenop
tekan untuk meledakkannya. Tapi seperti orang main petasan saja.
Beberapa buah "petasan" besar disulut sumbunya. Tunggu saja
beberapa menit. Tepat jam 11 siang, jika lonceng di gardu
berdentang, semua orang harus tiarap atau berlindung. Sebab,
ketika itulah bumi akan tergoncang oleh ledakan. Jangan harap
dapat ganti kerugian kalau ada rumah yang bocor tertimpa batu
gunung. Berapa orang yang meninggal ketika membuat jalan itu
juga tidak pernah tercatat.
Saudagar Batak
Sitenus bekerja bak sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau
terlampaui. Pecahan batu diangkut dengan lori dari Km 8 ke
tempat yang sekarang bernama Jalan Panjaitan. Dari situ, Sibolga
yang waktu itu masih rawa-rawa, mendapat timbunan batu dan
tanah. Hasilnya, dengan lori yang masih mempergunakan rem kayu,
telah tertimbuni 3 buah kampung di Sibolga.
Di suatu tempat Sitenus menemui bukit yang bukan main kerasnya
-- tidak mempan didinamit. Sitelus tak habis akal. Diborlah
bukit tersebut. Hingga kini, tempat itu bernama Batu Berlubang.
Perihal orang rante yang bekerja-paksa masih dikenang oleh Rahim
Siregar. Dari bui, berkulit legam dan berbaju seragam, orang
rante digiring ke lokasi pembuatan jalan dengan kaki terikat
satu sama lain. Leher mereka dikalungi semacam gari yang
dikunci. Suatu iring-iringan yang menakutkan bocah.
Ceritera berdarah tentang jalan Sibolga-Tarutung mengandung
sejarah bagi penduduk setempat. Ada rasa kebanggaan pula. Bis
pertama yang lewat di sana 1917 bernama Tofan Saudagar Batak.
Dari Tarutung, bis yang memakai ban mati ini mengangkut kemenyan
ke Sibolga. Sejak itulah terjalin hubungan antara daerah
pedalaman dengan pesisir berkat menir Stins Sitenus dengan orang
perantean.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini