Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

1200 tikungan tarutung-sibolga

Pembuatan jalan antara tarutung-sibolga pada zaman belanda menggunakan tenaga orang hukuman yang dipimpin menir stins. sarana yang dipakai sangat sederhana dan situasi medan berbukit-bukit. (ils)

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERIKUT ini bukan ceritera trayek jarak jauh Banda Aceh -- Denpasar yang bulan ini dijelajahi Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin. Cuma sepotong trayek kecil, yang jaraknya pun hampir sama dengan jarak Jakarta-Ciawi, 66 km. Yaitu jalur Sibolga - Tarutung. Bedanya, jarak dua kota di Sumatera Utara tersebut tidak bisa, ditempuh mobil dalam tempo satu jam. Karena mobil harus merayap naik -- kadang-kadang begitu terjal, sampai 40ø di KM 5,5. Untuk sampai dengan selamat orang harus sabar dengan makan waktu 3 atau 4 Jam. Selain terjal, keistimewaan lainnya jarak ini mempunyai tikungan sebanyak 1200 buah! Sebelah kiri dibatasi punggung gunung dan di bibir jalan sebelah kanan menganga jurang yang dalam. "Tetapi jalur Sibolga-Tarutung ini bukan gudang kecelakaan," ujar Peltu Rizal yang jadi Komandan Operasi Polantas Kores 211, Tapanuli Tengah. Buktinya, "tahun lalu hanya terjadi 7 kali kecelakaan saja." Jalan yang menanjak dan berkelok, kalau dari Sibolga, tidak memungkinkan pengemudi melepaskan kewaspadaannya. Salah langkah sedikit, juranglah makanannya. "Coba sebutkan, di mana ada jalur jalan yang mempunyai tikungan sebanyak di sini," kata Rizal. "Jadi hanya orang gila yang berani ngebut di situ." Orang Rante Karena itu, banyak supir sebisa-bisa menghindari jalur yang satu ini. Kalau jalur Padangsidempuan-Sipirok-Pahae-Tarutung, oke-lah. Tapi kalau diteruskan sampai ke Sibolga. nanti dulu! Kalau terpaksa lewat juga, supir bis dan keneknya harus memeriksa rem mobilnya lebih dulu. Kalau sudah sampai di Sibolga, apa boleh buat, tampang mobil jadi kotor tidak karuan. Karena terkocok rupanya banyak penumpang memuntahkan isi perutnya tak kira-kira. Pemandangan yang bukan main indah seperti di Teluk Tapiannauli yang tampak mempesona dari Bonan Dolok di Km 9, jadi tak menarik lagi. Jalan yang hebat itu telah ada semenjak jaman Belanda. "Sebetulnya jalan itu sendiri masih muda usianya," ujar S.O. Sianturi, yang di jaman Belanda dulu jadi Mantri Garam I di Balige dan bekas anggota DPRD II Kodya Sibolga hasil Pemilu '71, membuka kisah asal-usul pembuatan jalan itu. Selepas perang Sisingamangaradja di tahun 1907, katanya, pemerintah Belanda mengalami kesulitan melancarkan komunikasi kawasan sekitar Tarutung yang kaya akan hasil hutan dengan Sibolga sebagai pelabuhan alam Bagaimana memboyong hasil bumi Tapanuli Utara ke Sibolga? Maka adalah menir Stins, waktu itu dikenal sebagai kepala bengkel Pekerjaan Umum di Sibolga, menemukan cara menembus kesulitan Stins, yang oleh orag-orang Sibolga diganti jadi sebutan tuan Sitenus, cukup terkenal di Padanglawas dan daerah sekitarnya. Dia kesohor sebagai Belanda yang baik, tidak sombong, bahkan isterinya pribumi berasal dari pulau Jawa. Pula ia fasih berbahasa Tapanuli. Dia inilah yang memimpin pembuatan jalan Sibolga-Tarutung. Dipekerjakannya orang-orang hukuman yang biasanya berasal dari Jawa dan Bugis. Orang rante, begitu orang menyebut narapidana, digiring dari penjara di Jalan Tarutung, Sibolga, yang kini telah jadi kantor Pajak Gadai. Tahap demi tahap, mereka mengorek bukit batu, atau meledakkannya dengan dinamit. "Dinamit model kuno," kata Abdul Rahim Siregar (81 tahun) yang dulu pernah jadi klerek di Kantor Residen Tapanuli sampai tahun 1922. Artinya, Sitenus tidak mempergunakan kabel atau kenop tekan untuk meledakkannya. Tapi seperti orang main petasan saja. Beberapa buah "petasan" besar disulut sumbunya. Tunggu saja beberapa menit. Tepat jam 11 siang, jika lonceng di gardu berdentang, semua orang harus tiarap atau berlindung. Sebab, ketika itulah bumi akan tergoncang oleh ledakan. Jangan harap dapat ganti kerugian kalau ada rumah yang bocor tertimpa batu gunung. Berapa orang yang meninggal ketika membuat jalan itu juga tidak pernah tercatat. Saudagar Batak Sitenus bekerja bak sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Pecahan batu diangkut dengan lori dari Km 8 ke tempat yang sekarang bernama Jalan Panjaitan. Dari situ, Sibolga yang waktu itu masih rawa-rawa, mendapat timbunan batu dan tanah. Hasilnya, dengan lori yang masih mempergunakan rem kayu, telah tertimbuni 3 buah kampung di Sibolga. Di suatu tempat Sitenus menemui bukit yang bukan main kerasnya -- tidak mempan didinamit. Sitelus tak habis akal. Diborlah bukit tersebut. Hingga kini, tempat itu bernama Batu Berlubang. Perihal orang rante yang bekerja-paksa masih dikenang oleh Rahim Siregar. Dari bui, berkulit legam dan berbaju seragam, orang rante digiring ke lokasi pembuatan jalan dengan kaki terikat satu sama lain. Leher mereka dikalungi semacam gari yang dikunci. Suatu iring-iringan yang menakutkan bocah. Ceritera berdarah tentang jalan Sibolga-Tarutung mengandung sejarah bagi penduduk setempat. Ada rasa kebanggaan pula. Bis pertama yang lewat di sana 1917 bernama Tofan Saudagar Batak. Dari Tarutung, bis yang memakai ban mati ini mengangkut kemenyan ke Sibolga. Sejak itulah terjalin hubungan antara daerah pedalaman dengan pesisir berkat menir Stins Sitenus dengan orang perantean.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus