Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usianya baru 17 tahun. Raut wajahnya mirip Pablo Aimar, pesepak bola sohor asal Argentina. Ia tinggal di kawasan permukiman buruh di Hoofddorp, pinggiran Amsterdam, Belanda. Orang di sana mengira remaja yang sejak kecil gemar menyepak bola ini keturunan Amerika Latin. Setelah mendengar namanya, ada pula yang menyangka ia keturunan Suriname.
Tapi coba baca namanya: Donovan Partosoebroto. Nama belakang itu menunjukkan ia keturunan Jawa. Dari ibunya, Cecille Kunz, yang lahir di Surabaya 45 tahun lalu, mengalir darah Jerman, Belanda, dan Indonesia. Ayahnya, Priyo Partosoebroto, 53 tahun, orang Indonesia tulen. Priyo bekas pegawai maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang hijrah ke Belanda.
Di negeri keju itu, Donovan yang biasa dipanggil Dono dan saudara kembarnya, Vincent, mulai berlatih bola sejak usia lima tahun. Awalnya ia tidak berminat menjadi pesepak bola profesional. ”Saya hanya senang bermain bola,” kata remaja yang tak bisa berbahasa Indonesia ini. Tingginya yang ”cuma” 174 sentimeter tak menghalangi pilihannya menjadi kiper.
Priyo mulanya tak menyadari anaknya menyimpan bakat besar. Di usia delapan tahun, sebuah undangan dari FC Utrecht, klub anggota Eredivise alias Divisi Utama Belanda, mampir ke rumahnya. Isinya meminta Dono berlatih di klub itu. Ada pula undangan dari AZ Alkmaar, klub papan atas Eredivise. Tapi, karena usianya masih sangat belia, Priyo enggan melepas putranya.
Dua tahun berlalu, giliran klub mentereng Ajax Amsterdam melayangkan surat meminta kesediaan Dono berlatih. Lagi-lagi sang ayah menampik. Ia khawatir anaknya akan menanggung beban berat berlatih dengan disiplin ketat di klub itu. Baru setelah Dono berusia 12 tahun, Priyo rela melepasnya ke Ajax. Itu pun setelah Dono menyatakan tekadnya menjadi pemain bola. Kini, lima tahun sudah ia digembleng di klub itu.
Di Ajax, Dono tak cuma berlatih bola. Ia mendapat les tambahan lewat guru pembimbing agar tak tertinggal pelajaran di sekolah. Klub juga menyediakan sesi khusus selama satu jam untuk para siswa menyelesaikan pekerjaan rumah. ”Itu penting karena, kalau dia ternyata tidak bisa main bola, dia punya pilihan lain,” kata Priyo.
Setiap hari, ia sekolah mulai pukul delapan pagi hingga tiga sore. Usai belajar, di depan sekolah, bus berlogo Ajax siap membawanya ke tempat latihan. Remaja yang bercita-cita merumput di klub Seri A Italia, AC Milan, itu baru kembali ke rumah pukul delapan malam.
Sejak bulan lalu, Dono sudah bermain di Tim A Yunior Ajax. Ini dua jenjang menuju tim utama. Sebelumnya ia pernah membela tim yunior Ajax pada turnamen antarklub di Barcelona dan Milan. Februari mendatang, ia akan berlaga pada turnamen yunior dunia di Tokyo, Jepang. ”I’m a very good linekeeper,” ujarnya kepada Tempo, yang bertamu ke kediamannya, Rabu malam pekan lalu.
Apakah bersedia berganti kewarganegaraan dan membela tim nasional Indonesia? Ia menjawab mantap, ”Bagaimanapun, dalam tubuh saya mengalir darah Indonesia. Tentu saja saya ingin bermain untuk Indonesia.” Uang baginya urusan kedua. ”Kalau mereka (PSSI) serius, saya ingin.” Tekad itu membuat Dono belum memutuskan memakai paspor merah Belanda.
Nun di Italia, ada remaja berdarah Indonesia yang juga berbakat besar menendang si kulit bundar. Dia Radja Nainggolan, kelahiran Antwerp, Belgia, 4 Mei 1988. Radja kini dipinjam oleh tim kedua Piacenza, klub anggota Seri B (divisi dua) Italia. Agar bisa total di sepak bola, ia rela meninggalkan bangku sekolah. ”Saya menyadari pentingnya menjadi pemain profesional,” katanya.
Di lingkungan tempat tinggalnya di Antwerp, tak banyak yang tahu bahwa dirinya keturunan Indonesia. Darah Indonesia mengalir dari ayahnya, Marianus Nainggolan. Ibunya, Lizy Bogaerts, warga negara Belgia. ”Saya pikir dia orang Maroko,” kata Henk Mariman, Manajer Yunior Germinal Beerschot, Antwerp, klub tempat Radja bernaung. Ia mengingat postur Radja yang lebih kecil dibanding rekan lain satu tim.
Mariman menuturkan, Radja masuk Beerschot sejak umur sembilan tahun. Meski posturnya kecil dan tingginya ketika itu hanya 70 sentimeter, ia selalu tampil dominan di lapangan. ”Coba saja kasih bola ke dia, bola itu tidak akan pernah berpisah dari kakinya,” kata Mariman di kantornya di lapangan Germinal Beerschot, pekan lalu.
Teknik permainan bocah itu, menurut Mariman, sungguh mengagumkan. ”Dia punya bakat alami dan tekniknya bagus,” katanya. Dua hal ini memincut Piacenza meminjam Radja selama dua musim mulai 2005 lalu. Satu-satunya kelemahan pemain ini, menurut Mariman, adalah suka berontak dan sulit diatur. Tapi ia yakin hal itu akan berkurang seiring bertambahnya usia dan pengalaman.
Bagi Radja, bergabung dengan Piacenza tidak pernah terbayang sebelumnya. Apalagi sebelum ini ia tak pernah keluar dari Belgia. Toh, di bulan pertama, ia berkali-kali menelepon Mariman. Ia mengeluh tidak kerasan dan rindu pulang. Proses penyesuaian berlangsung lambat karena ia tidak bisa berbahasa Italia. Tapi, karena terikat kontrak hingga pertengahan 2007, ia tak bisa pergi.
Memasuki musim kedua, Radja mulai bisa beradaptasi. ”Saat ini saya memang main di tim kedua, tapi latihannya tiap hari dengan tim utama,” ujarnya bangga. Menurut dia, Piacenza berencana memperpanjang kontraknya dua musim lagi. Tak hanya itu, tim yang pernah berlaga di kompetisi Seri A ini akan membelinya dari Beerschot. ”Jika jadi, musim depan saya akan mendapat gaji di klub ini,” katanya.
Apakah tertarik membela Merah Putih? ”Saya pernah ditanya ayah saya soal itu, tapi saya pikir itu bercanda,” katanya. Sang ayah, Marianus Nainggolan, kini menetap di Bali. Ia berpisah dengan istrinya ketika Radja baru berusia enam tahun. Radja selalu berkomunikasi dengan ayahnya minimal sekali dalam dua hari.
Mengaku belum sekali pun menginjakkan kaki di negeri bapaknya, Radja mengatakan sangat ingin berkunjung ke Indonesia. ”Saya hanya tahu sedikit tentang Indonesia. Indonesia itu panas karena negerinya tropis, dan juga Indonesia punya banyak laut,” ujarnya.
Kalaupun ada tawaran bermain untuk Indonesia, Radja akan menunggu hingga tahun depan sebelum memberi jawaban. Ia terlebih dulu ingin memastikan bahwa tim nasional Belgia tidak memanggilnya. Uniknya, ia mengaku prioritasnya datang ke Indonesia bukan karena ingin main dengan tim nasional Indonesia. ”Saya ingin ketemu ayah,” katanya.
Sinyal positif dari dua pemain itu membuat manajer tim nasional usia di bawah 23 tahun, Rahim Soekasah, gembira. Di tengah paceklik prestasi tim nasional, PSSI memang ingin menyuntikkan darah baru dengan pemain muda blasteran Indonesia yang bermain di Eropa.
Rahim, yang ditunjuk Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, menjadi penanggung jawab pencarian pemain, telah mengantongi beberapa nama. Tapi ia enggan menyebutkan nama-nama pemain yang ada di daftarnya. Ia mengaku mulanya cuma mengincar pemain yang masih memegang paspor Indonesia. Tapi ia hanya mendapat satu pemain, yaitu Irfan Bachdim (lihat boks: Irfan Batal ke Qatar).
Kesulitan itu membuat Rahim mulai mencari pemain berkewarganegaraan asing yang masih punya darah Indonesia. Tapi, akses memantau para pemain itu, menurut dia, sulit didapat karena klub-klub di Eropa umumnya sangat tertutup jika ditanya tentang pemain muda mereka.
Sebaliknya, Sekretaris Duta Besar RI untuk Belanda, Sulistijani Machsun, mengatakan di Belanda saja ada puluhan pemain yunior berdarah Indonesia yang tersebar di sejumlah klub. Di antara mereka adalah Michael Timisela (Ajax), Marciano Kastirejo (FC Utrecht), dan Tobias Waisapy (Feyenoord Junior).
Rahim mengatakan, sebelum akhir tahun, ia akan memilih lima atau enam pemain untuk dimainkan bersama tim nasional dalam satu turnamen. Soal kewarganegaraan tak lagi menjadi masalah selama para pemain masih berusia di bawah 21 tahun. Sesuai dengan undang-undang, mereka memang boleh memiliki dua kewarganegaraan. ”Kami juga sudah berkoordinasi dengan Departemen Hukum dan HAM,” kata Rahim.
Jika yang ditawari setuju, bukankah tinggal melatih mereka berbahasa Indonesia?
Adek Media Roza, Asmayani Kusrini (Hoofddorp, Antwerp)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo