Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal 1980-an demonstrasi perdamaian marak di Jerman. Warga menentang keputusan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang menerima penempatan 572 misil Pershing II Amerika Serikat di lima negara Eropa Barat. Tak tanggung-tanggung, Heinrich Boll dan Gunter Grass (keduanya pemenang Nobel Sastra) ikut turun ke jalan. Dua Nobelis ini berpidato tentang tanggung jawab moral Jerman sebagai penyebab pecahnya dua perang dunia.
Dua puluh lima tahun kemudian, 1 September 2006, meluncurlah otobiografi Gunter Grass: Beim Haut der Schwiebel (Pada Kulit Bawang). Sebuah pengakuan mengejutkan disampaikan Grass dalam buku itu. Pada suatu saat, katanya, dia pernah menjadi pasukan Waffen-SS, yakni pasukan elite yang kejam milik Hitler-Nazi. Dunia terperangah!
Kehidupan Dami N. Toda di Jerman, sejak awal hingga akhir sebagai pengajar di Lembaga Studi Indonesia dan Pasifik Universitas Hamburg, ditentukan oleh dua peristiwa itu. Dami mulai mengajar sejak 1981. Dan pada 10 November 2006 dia meninggal dunia di Leezen. Sebelumnya dia koma sejak September lalu.
Kedua peristiwa di atas terekam dalam kehidupan intelektual Dami N. Toda. Yang pertama dinyatakannya dalam sebuah diskusi pada Oktober 2003, di Hamburg. Dan yang kedua dalam tulisannya di harian Kompas, 17 September 2006. Mungkin inilah tulisan terakhir dia sebelum kematian merenggutnya.
Saya mengenal Dami sebagai seorang penyair sejak akhir 1970-an. Puisi-puisinya sarat ungkapan teologis dan mitologi Yunani. Kegelisahan teologisnya itu, saya kira, ikut mendorongnya untuk hidup di Jerman—berada langsung di sebuah negeri yang sebagian besar kaum intelektualnya pernah menyatakan ”tuhan telah mati”, sementara 95 persen rakyat Jerman masih memeluk agama. Kegelisahan teologis yang juga berkali-kali muncul dalam kehidupan intelektualnya.
Dia menulis puisi, tetapi berbagai analisis sastranya jauh lebih memikat. Saut Situmorang, penyair, menempatkan Dami N. Toda sebagai kritikus sastra Indonesia yang sejajar dengan H.B. Jassin, Umar Junus, Subagio Sastrowardoyo, dan Boen S. Oemarjati.
Kehadiran Dami dalam kritik sastra Indonesia seperti antitesis bagi konstruksi sastra Indonesia yang dihasilkan H.B. Jassin. Dami menolak konstruksi sastra Indonesia dalam perspektif tunggal yang dihasilkan sarjana-sarjana sastra lulusan Be-landa. Menurut dia konstruksi sastra itu telah direduksi ke dalam sejarah Indonesia modern, yang juga merupakan konstruksi kolonial.
Konstruksi itu tidak bisa dipotong dari genesis kulturalnya. Dami mencoba menawarkan ”estetika bahari” sebagai alternatif, dan menelusuri kembali perjalanan kebudayaan Melayu hingga Manggarai (Flores, NTT), yang juga menjadi tempat kelahirannya pada 20 September 1942.
Saya kembali bertemu Dami beberapa kali pada awal 1990-an di Hamburg. Saat itu dia sudah bekerja sebagai pengajar. Ia sempat memberi saya sebuah topi musim dingin. Bentuk topi itu sering mengingatkan saya pada sebuah teropong milik anaknya, di apartemennya di Hamburg. Teropong yang acap digunakan untuk melihat dunia luar lewat balkon apartemennya. Dan, Dami tersenyum—sebuah senyum dari ensiklopedia yang tak pernah tidur.
Dan burung-burung nazar menemukan mayat kita, tersusun dalam kornet ensiklopedia, entah di delta benua mana, tulis Dami dalam salah satu puisinya.
Selamat jalan, Dami….
Danke untuk semua kebaikanmu. Sejarah seperti bermain dalam spasi antara kulit bawang dan isinya. Mata kita akan pedas bila mengupasnya.
Afrizal Malna Penyair, tinggal di Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo