Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Ancol, mereka tak banyak berbeda dengan anak-anak seusianya. Sepanjang hari pada Kamis pekan lalu, 118 anak pelbagai bangsa itu berlarian kian-kemari berebut untuk menaiki berbagai wahana di Dunia Fantasi. Semua tampak gembira. Meskipun bahasa mereka berbeda, anak-anak seusia sekolah da-sar ini punya satu kesamaan yang tidak dimiliki semua orang: otak mereka encer.
Kepandaian inilah yang mengantar mereka ke ajang Olimpiade Matematika dan Sains Internasional tingkat sekolah dasar ketiga, yang diadakan pada 13-17 November lalu di Jakarta. Setelah mereka dua hari diuji, panitia dari Departemen Pendidikan Nasional memberikan kesempatan pada anak-anak dari 12 negara—Nigeria, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Cina, Taiwan, Hong Kong, India, Sri Lanka, dan Indonesia—untuk bersantai di tepi laut Jakarta.
Di sana mereka melupakan sejenak persaingan. Di antara seratusan anak itu, ada 29 wakil Indonesia. Merekalah harapan negeri ini pada masa mendatang. Yang menggembirakan, anak-anak berotak pandai ini tak melulu datang dari sekolah elite di kota-kota besar. Dari sebuah kota kecil di pelosok Jawa, muncul bocah pintar anak tukang bengkel sepeda yang tak pernah mengenal les atau kursus. Kepandaian agaknya tak mengenal kelas sosial. Inilah beberapa wakil Indonesia.
Mukhtar Amin, 11 tahun Bertubuh kurus, Mukhtar tak lelah berlarian di Ancol. Ransel berat berpita merah putih tak menghalanginya menikmati tempat wisata yang jarang dilihatnya itu. Mukhtar memang bukan anak Jakarta. Ia juga bukan anak berada. Ayahnya hanya pekerja di bengkel sepeda di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Namun dialah unggulan Indonesia dalam bidang yang ia kuasai benar, ilmu pengetahuan alam (IPA). Mukhtar lolos mengikuti Olimpiade Internasional setelah berhasil menjadi juara pertama dan meraih medali emas dalam Olimpiade Sains Nasional V di Semarang, September lalu. Dalam ajang yang diikuti siswa-siswa cerdas dari seluruh Indonesia itu, ia merebut gelar The Best Overall (nilai paling tinggi) dan The Best Theory.
Jalan berliku harus dilalui Mukhtar sebelum menjadi peserta Olimpiade Internasional. Siswa kelas enam SD Negeri Ngombakan 01 Sukoharjo ini harus mengikuti sejumlah tahap seleksi, mulai dari tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Di tingkat provinsi Mukhtar hanya mampu menjadi juara ketiga, namun selebihnya menjadi juara pertama.
Keberhasilan bocah ini melewati berbagai ujian terbilang menakjubkan. Tak pernah sekalipun ia mengikuti les atau kursus pelajaran di luar yang diberikan gurunya di sekolah. Maklum, ayahnya cuma bekerja di bengkel sepeda. Sepulang sekolah dia membantu ibunya menjaga adiknya, mengaji, dan bermain. Mengulang pelajaran baru dilakukannya pada malam hari.
Penggemar matematika dan IPA ini baru mendapat tambahan pelajaran setelah menjadi juara dan bersiap mewakili daerahnya di tingkat provinsi dan nasional. Itu pun hanya berlangsung di sekolah setelah jam pelajaran usai. ”Pembimbingnya bapak-bapak guru,” katanya pelan.
Namun kecerdasan anak pertama pasangan Siman dan Samiatun ini diakui pembinanya di Jakarta. Selain itu, ia pintar berbahasa Inggris. Padahal bahasa asing ini baru dipelajarinya dua tahun lalu, saat ia duduk di kelas empat. Dia baru mendapat bimbingan secara khusus dari sekolah dua minggu sebelum kompetisi berlangsung. Tak mengherankan bila Mukhtar dijagokan menjadi peraih medali bagi Indonesia.
Dalam perlombaan, bocah yang tak pernah mendapat uang jajan dari orang tuanya ini mengaku bisa menjawab semua soal eksperimen. Namun ia gagal menjawab semua soal teori karena kehabisan waktu. Dari sini, bocah yang bercita-cita jadi dosen para dokter ini mendapat sebuah medali perunggu.
Nathan Darius, 11 tahun Nathan yang anak Jakarta ini adalah wakil Indonesia di bidang matematika. Sebagai anak kota besar, peraih gelar The Best Overall, The Best Theory, dan The Best Experiment pada Olimpia-de Sains Nasional silam itu terbiasa mengikuti aneka kursus, termasuk bahasa Inggris. Karena itu dia tidak mengalami banyak kendala saat menjawab soal teori maupun eksperimen. Hasilnya, medali emas dan gelar The Best Theory.
Tentu saja Nathan bocah yang cerdas. Sang ibu, Jusuita Jusuf, mengatakan sejak kecil bahwa siswa SD Kristen Tirta Marta, Pondok Indah, Jakarta ini telah menunjukkan bakatnya di bidang matematika. Ketika masih duduk di bangku taman kanak-kanak pun Nathan telah bisa mengajari temannya berhitung dengan perkalian.
Tak aneh bila Nathan menjadi langganan juara dalam setiap lomba matematika. Anak bungsu dari dua bersaudara ini mengungkapkan dirinya selalu bisa menjawab semua soal jauh sebelum waktu yang ditetapkan habis.
Seperti Mukhtar, sebelum mengikuti kompetisi internasional ini Nathan juga harus mengikuti berbagai tahap seleksi, mulai dari tingkat sekolah hingga nasional. Di semua tahap itu, bocah yang bercita-cita menjadi profesor matematika ini selalu keluar sebagai juara pertama.
Toh, layaknya anak seusianya, Nathan juga gemar bermain. Ia penggila Playstation (PS) dan hobi membaca komik. ”Saya selalu pengin main PS,” ujarnya sambil tertawa. Hanya dua jam ia belajar tiap malam. Itu pun, kata ayahnya, Lie Robert T.S., masih sering diselingi bermain.
Maximilian Sutanto, 11 tahun Satu lagi jagoan matematika Indonesia adalah Maximilian Sutanto, siswa SD BPK Penabur Bumi Serpong Damai, Banten. Max dijagokan karena dalam kompetisi tingkat nasional berhasil meraih emas bersama empat juara lainnya.
Selain matematika, pelajaran lain favoritnya adalah IPA. Uniknya, ia tak suka pelajaran menggambar, olahraga, dan bahasa Indonesia. Bahkan Max mendapat nilai merah untuk kedua pelajaran terakhir. ”Males gambar-gambar dan nggak bisa nulis bagus,” ujarnya beralasan.
Kendati pelik, Max menilai soal-soal di Olimpiade Sains Internasional tidak sesulit soal di tingkat Olimpiade Sains Nasional. Hampir semua soal bisa dijawabnya dengan mudah. Sebuah medali perak kemudian ia dapatkan. Menurut ibunya, bakat matematika anaknya itu sudah terlihat saat dia duduk di bangku kelas empat SD. Ketika itu ia berhasil menjuarai lomba Matematika Sakamoto.
Bermain dan membaca buku merupakan hobi Max. Banyak buku terkenal telah habis dilahapnya. Di antaranya Da Vinci Code dan Digital Fortress. Uniknya, buku-buku itu tidak pernah dibawa pulang ke rumah. Ia hanya membaca saat berkunjung ke toko buku.
Bagus Guntur Farisa, 11 tahun Siswa SD Ngunut 6, Tulung Agung, Jawa Timur ini mengaku tak kesulitan menjawab soal-soal kendati dalam bahasa Inggris. Anak sulung dari dua bersaudara dari ayah seorang pedagang kebutuhan pokok dan ibu penjahit ini mengaku soal eksperimen cukup mudah baginya.
Padahal, sebelum mengikuti kompe-tisi tingkat internasional, penggemar fisika yang bercita-cita menjadi arkeolog ini tidak melakukan persiapan khusus. Dia hanya menerima pelajaran dari gurunya di sekolah. Sedangkan di rumah dia belajar dengan bimbingan bapak dan ibunya.
Masih ada bocah-bocah pandai lainnya yang berlaga di sini. Tri Ahmad Irfan, misalnya. Berusia 10 tahun, anak buruh tani yang bersekolah di SD Gunung Simo, Boyolali, Jawa Tengah ini dikenal jago eksperimen. Juga ada Jessica Woen yang mendapat medali perak dan gelar The Best Experiment. Secara keseluruhan, Indonesia mendapat 1 medali emas, 6 perak, dan 19 perunggu dari ajang olimpiade ini.
Apa pun hasilnya, usaha para bocah ini untuk mengharumkan negara sungguh patut dipuji. Merekalah yang bisa menyandingkan kegiatan bermain dan membaca komik bersama medali olimpiade.
Sunariyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo