Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Meniupkan Nyawa Sebuah Rangka

Damiet van Dalsum asal Dordrecht, Belanda, menghidupkan barang rongsokan menjadi teater boneka yang menarik.

20 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata Damiet van Dalsum memerah. Ia menyaksikan paras Ratu Merope, boneka cantik miliknya, berantakan. Kening dan hidungnya retak. Padahal sebentar lagi pertunjukan Club Medea, yang melibatkan boneka Ratu Merope sebagai salah satu tokohnya, akan ia mainkan. Ia tampak menahan marah.

Tapi dengan cepat dalang 63 tahun asal Belanda itu mengambil lem karet dan merapikan ulang pecahan wajah Merope. Ia tak tahu penyebab kerusakan itu. Ia mencoba menggerak-gerakkan boneka itu—masih tampak tak rupawan. Damiet segera cari akal lain. Ia mengambil sepotong kerudung warna krem dan menutupkan ke sebagian wajah Merope. Jadilah kisah Raja Creon dan Ratu Merope, penguasa Kota Corinthus, tetap terhidang di layar pementasan Gedung Kesenian Jakarta, Minggu dua pekan lalu.

Boneka Merope atau Medea milik Damiet sebenarnya memang terbuat dari barang rongsokan. Bagian kepala boneka yang ambil bagian dalam Jakarta International Puppetry Festival itu tampak seram. Tapi hiasan manik-manik di kepala Merope dan sepatu fiber bening Medea yang trendi menutupi ketaksempurnaan mereka. Manik-manik itu bahkan memberi petunjuk bahwa Merope adalah boneka perempuan. Cantik.

Kendati hanya benda mati, semua bonekanya itu dianggap Damiet sebagai belahan jiwa. ”Setiap boneka adalah bagian dari diri saya sendiri,” kata penggemar benda seni asal Afrika itu.

Bagi Belanda, Damiet dikenal sebagai peniup nyawa dari negeri boneka, Dordrecht. Sejak 1967 ia membuat pementasan di gedung teater sendiri, sampai sekarang. Damiet juga dikenal rajin bermain di dua kategori penonton, anak-anak dan dewasa.

Keasyikan mengutak-atik barang rongsokan itu membuat Damiet leluasa bereksperimen. Ia juga mengail pelbagai cerita fantasi, juga mitologi, untuk dijadikan bahan cerita panggung boneka yang tengah ia garap. Kisah Club Medea yang ditampilkan pertama kali di Jakarta itu, misalnya, diambil dari mitologi Yunani. Ia tinggal memberi tafsir berbeda untuk memberi pesan dukungan kepada kaum perempuan sedunia. ”Semua tahu apa yang dilakukan lelaki kepada perempuan,” katanya menyindir.

Kisah nyata juga kerap ia pakai sebagai inspirasi cerita. Pada 1992, setelah membaca berita seorang neo-Nazi Jerman membakar hidup-hidup satu keluarga keturunan Turki, ia melahirkan lakon dewasa Kleine Frederik, sebuah kisah anak-anak yang mengalami diskriminasi. Untuk pementasan anak usia empat tahun ke atas, ia memberi judul Little Frederik.

Kendati maunya memberi pesan, ciri khas pementasannya justru minim dialog, lebih melebur pada karakter dan membebaskan penonton dengan fantasi masing-masing. Pada karakter penghasut di lakon Medea, Damiet hanya perlu mengucapkan kata ”Ta..ta..ta…” dalam rentetan panjang, untuk memberi petunjuk karakter tukang gosip pada Agameda. Sesekali ia menyelipkan dialek Indonesia seperti ketika mengucapkan ”agak gila” dan ”aduh..., mana tahan”.

Latar panggung, baju, ikat kepala senada warna hitam memberi kemudahan kepada Damiet menyembunyikan tubuhnya dan bermain-main dalam bayangan. Baginya, esensi teater boneka adalah menyampaikan gerakan, emosi, dan tanggapan indrawi lewat bahan-bahan yang dipertunjukkan kepada penonton.

Selain berpentas dengan kelompok sendiri, Damiet juga menyutradarai banyak sandiwara serta kelompok lain dari berbagai negara, seperti Jerman dan Taiwan. Selain itu, ia aktif dalam proyek pendidikan bersama seniman dan guru di Taiwan, Belarusia, dan Belgia.

”Karya mereka sangat indah, tapi sudah kehilangan tradisi,” kritiknya sambil menyebut teater boneka Taiwan dan AS sebagai contoh. Padahal, menurut pepatah Belanda, ia mengutip, ”Jangan sekali-kali membuang sepatu lama Anda bila belum punya yang baru,” kata Damiet, yang memuja topeng-topeng dari Afrika yang menurut dia diilhami dari tradisi nenek moyang.

Kehadiran Damiet yang berkolaborasi dengan Francoise van Hecken asal Belgia memberi warna sendiri dari sekian pertunjukan. ”Ini kehormatan bagi saya diundang ke Indonesia,” katanya. Pulang ke Negeri Kincir Angin, serangkaian agenda padat menantinya, dari akhir bulan ini hingga April tahun depan. Dunia poppenteater tak pernah berhenti menyampaikan pesan.

Evieta Fadjar P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus