Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Dia tak tahan pukul (konon)

Profil tae il chang, petinju korea selatan. ia biasa melakukan pukul-lari. tapi juga berani bertarung jarak dekat karena kombinasi pukulannya cukup komplet dan keras serta jangkauannya panjang.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Dia tak tahan pukul (konon)
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DIA biasa melakukan pukul-lari. Tapi juga berani bertarung jarak dekat karena kombinasi pukulannya cukup komplet dan keras. Jangkauannya panjang sehingga dia selalu menang bila bertukar pukulan dengan lawan. Itulah gambaran tentang Tae Il Chang, 23 tahun, calon lawan Ellyas Pical, yang diceritakan Wongso Indrajit, juara kelas bantam yunior Indonesia. Wongso menghadapi Tae Il Chang 31 Mei yang lalu di Buchon, Korea Selatan, dalam suatu pertandingan memperbaiki peringkat WBA. Wongso berada di peringkat 8 sedangkan Chang bekas juara OPBF (Asia-Pasifik) baru kehilangan gelar karena menolak pertandingan wajib. Di ronde kedua petinju dari sasana Sawunggaling Surabaya itu sudah sempoyongan disambar pukulan si Korea. "Setiap Wongso memukul, dia lari menghindar. Pukulan Wongso tak kena," kata Setyadi Laksono, pelatih yang menemani Wongso ke Korea. Di ronde lima, Wongso tergeletak di kanvas. Bagaimana dengan Elly ? Kelebihan Chang -- petinju kidal serupa Elly -- tentu pada jangkauan pukulan karena tubuhnya yang jangkung 1,72 m. Elly cuma 1,64 m. Artinya, Elly, 27 tahun, agaknya harus mengembangkan pertarungan jarak pendek agar dapat menyarangkan pukulannya yang keras. Selain itu jangan sampai Elly gegabah bermain terbuka. "Seperti saya dulu double cover terlalu tinggi, jadinya kena dan jatuh," kata Wongso Indrajit menyesal. Tapi mungkinkah Elly mampu bertarung seperti itu bila tak didukung stamina dan strategi yang jitu? Sebetulnya, Tae Il Chang bukanlah petinju dengan rekor menyeramkan seperti Khaosai Galaxy. Pemuda lulusan SLA itu mulai menjadi petinju pro enam tahun yang lalu. Dia sudah 24 kali bertanding, 22 menang (9 kali dengan KO), dan dua kali kalah angka. Semua kekalahan dideritanya dari lawan senegeri. Sebaliknya, Chang selalu menang melawan petinju asing yang pernah dihadapinya. Selain Wongso Indrajit tadi, dia pernah mengalahkan petinju Jepang, Muangthai, dan Filipina. Tapi tak ada nama beken yang dipecundanginya. Gelar juara dunia IBF, yang direbutnya setelah menang angka atas petinju sebangsa, Soon Chun Kwan, 17 Mei yang lalu, adalah karena gelar Ellyas Pical dicopot IBF menyusul kekalahannya atas Khaosai Galaxy. Elly juga memiliki sesuatu yang menarik diperhatikan: Dia belum pernah kalah menghadapi petinju Korea Selatan. Padahal lawan kali ini, sekali pun seorang Korea, memiliki gaya bertinju boxer yang selalu bertanding efektif, dengan mengandalkan ketrampilan teknik yang sempurna. "Wah berkelitnya luar biasa," komentar Anton Sihotang setelah menyaksikan rekaman pertandingan Tae Il Chang melawan Soon Chun Kwon. Padahal kekalahan Elly dari petinju Dominika -- juga bergaya boxer -- Cesar Polanco tahun lalu, justru karena jago Saparua itu kehabisan tenaga dan jadi frustrasi setelah amat banyak pukulannya dielakkan Polanco dengan berkelit. Tapi menurut Setyadi Laksono, peluang Elly untuk menang adalah 50:50. Kans itu bisa terwujud bila Elly berhasil memukul perut atau rahang lawan. "Dengan melihat postur tubuh Chang, saya yakin dia petinju tak tahan pukul. Maka perbanyak bertarung dekat dan jangan lupa pukul perutnya," kata Setyadi. Guna mengatur berbagai strategi pada saat pertandingan, nampaknya Elly membutuhkan sekondang yang berpengalaman. Karena itulah menurut Anton Sihotang, mereka masih terus berusaha mendekati Simson Tambunan. Katanya Simson-lah satu-satunya orang yang mampu dengan cepat membaca situasi pertandingan dan kelemahan lawan. "Kita harapkan saja dia bersedia," harap Anton. Dalam waktu sesingkat ini memang tak akan banyak lagi yang bisa diperbuat. Manejer Melky Goeslaw, hanya menyiapkan sebuah lagu karangannya yang katanya bisa mempertinggi semangat petinjunya, dan akan dinyanyikannya begitu Elly menginjakkan kaki di atas ring Istora Senayan. Selebihnya, barangkali adalah pekik sorak penonton untuk membantu mengkatrol semangatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus