Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mereka meliuk, menyusup langit

Jambore aerosport indonesia 1987 di halim perdanakusuma, jakarta diresmikan pembukaannya oleh ketua umum fasi marsekal oetomo. olah raga dirgantara dianggap mahal karena kurang dikenal.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Mereka meliuk, menyusup langit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DUA kali dentuman meriam. Lalu ratusan balon dilepaskan. Tiga buah layang gantung bermesin kemudian mengudara membentuk formasi segitiga. Mereka meliuk-liuk, menyusup langit, menunjukkan kebolehannya melakukan manuver selama kurang lebih 15 menit. Itulah atraksi aerobatik pada upacara pembukaan Jambore Aerosport Indonesia 1987, yang diresmikan Ketua Umum Federasi Aerosport Indonesia (FASI), Marsekal Oetomo, Sabtu pekan lalu di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Penyelenggaraan Jambore ini merupakan gebrakan pertama PB FASI untuk memperkenalkan olah raga dirgantara di Indonesia. Selain itu dilakukan kunjungan ke daerah-daerah sembari melakukan demonstrasi olah raga udara, seperti layang gantung, terjun payung, ultralight, dan aeromodelling. "Saya optimistis, masa depan olah raga dirgantara akan cerah, melihat animo masyarakat yang sangat besar dalam jambore ini," kata Oetomo kepada TEMPO, sembari menyaksikan peragaan pesawat. "Tapi itu semua tergantung para anggota FASI dalam mencari jalan keluar untuk mempertemukan para peminat dengan kesulitan fasilitas yang dihadapi," tuturnya. Olah raga ini memang masih tergolong mahal. "Mahal karena kita harus memiliki pesawat, lapangan, payung, dan masih banyak kebutuhan lainnya," tutur Oetomo, yang juga Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) ini. Karena itulah Ketua Umum PB FASI selalu dijabat oleh KSAU selama masa jabatannya, sebab hambatan yang terjadi tertumpu pada masalah dukungan fasilitas dan pengadaan alat-peralatan. "Apalagi olah raga ini berhubungan dengan teknologi canggih," ujar Ashadi Tjahjadi bekas KSAU yang mendampingi Oetomo meninjau peserta jambore. Di negara mana pun, katanya, olah raga ini selalu didukung oleh angkatan udaranya. Jambore ini baru pertama kali diadakan di Indonesia sejak FASI didirikan, 1972. PB FASI mengeluarkan sekitar Rp 20 juta untuk mengadakan acara ini. "Semua biaya diperoleh dari sponsor. PB sendiri tidak mempunyai uang sebanyak itu," ujar H. Sukari, Sekjen PB FASI, kepada Tri Budianto Soekarno dari TEMPO. Sedangkan TNI-AU membantu menyediakan bahan bakar, termasuk pengadaan fasilitas lapangan terbang. Berbagai atraksi disuguhkan kepada masyarakat umum secara cuma-cuma. Semua jenis sport dirgantara yang bernaung di bawah PB FASI memamerkan fasilitas yang mereka miliki: aeromodelling, terbang layang, layang gantung, terjun payung, ultralight, pesawat bermotor, dan pesawat swayasa. Khusus untuk pesawat swayasa, kepada pengunjung ditunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah mampu membuat ataupun merakit pesawat sendiri. Tidak kalah menariknya adalah pengenalan jenis pesawat baru yang dikenal dengan sebutan power chute. Bentuknya hampir sama dengan ultralight. Perbedaannya terletak pada pemakaian sayap parasut (parachute wing) yang memiliki Standard Ram Air Type. Karena menggunakan parasut, sifatnya fleksibel pada angin. "Kita tidak dituntut untuk mempelajari ilmu angin seperti untuk menerbangkan ultralight," kata Wiwien, dari PT Surya Kepanjen, penyalur peralatan ini. Selain itu, pesawat ini tidak memerlukan landasan pacu yang panjang, cukup 25 meter. Dari segi keselamatan, power chute juga lebih terjamin. Jika terjadi sesuatu dengan mesin, pesawat akan turun seperti seorang penerjun. Hanya saja, harganya masih sulit dijangkau oleh golongan menengah ke bawah. Kecuali kalau mau bergotong-royong. Untuk single sit harganya sekitar Rp 13,5 juta, sedangkan yang double sit sekitar Rp 14 juta. Menurut Adi Dirhamsyah, Sekretaris Pusat Layang Gantung Indonesia, mahal tidaknya olah raga dirgantara ini relatif. Bukan berarti mereka yang tidak berduit banyak tidak bisa menyalurkan hobinya. "Kami selalu mencoba memecahkan masalah ini bersama, yaitu dengan cara gotong-royong, sehingga biayanya lebih ringan". Hasilnya, olah raga layang gantung kini telah memiliki 13 klub di 9 provinsi, dengan lebih dari 300 penerbang. Setiap anggota dikenai uang pangkal Rp 75.000, dan uang iuran Rp 5.000 per bulan. "Tentunya diperlukan disiplin dan kesadaran yang tinggi dari para anggota untuk meringankan beban latihan itu," kata Adi. Hal itu dibenarkan oleh Letkol I.G.N. Pudjianto, Kepala Sub-Dinas Elektronik Mabes AU. Selama ini masyarakat kurang memperoleh informasi tentang olah raga dirgantara ini, sehingga mereka takut untuk ikut di dalamnya, mengingat biaya yang mahal. Padahal, kalau mau bersama-sama menanggung seluruh biaya, tidak akan mahal. "Akibatnya, olah raga ini kurang populer," ujarnya. BULAN lalu FASI mendirikan Pusat Pendidikan & Pelatihan (Pusdiklat), gliding dan terjun payung di Kalijati, Subang, Jawa Barat. "Setiap daerah boleh mengirimkan atlet-atletnya ke sana. Semua biaya ditanggung oleh PB, kecuali transportasi dari daerah ke tempat latihan yang harus ditanggung sendiri," ujar Oetomo. Puncak acara Jambore Aerosport selama empat hari ini adalah tampilnya "Duta Berseragam Biru" (Ambassadors in Blue) dari angkatan udara AS, Thunderbirds. Mereka melakukan penerbangan aerobatik dengan menggunakan pesawat jet F-16. Ini merupakan lawatan pertama tim Thunderbirds yang dipimpin oleh Letkol Roger D. Riggs ke kawasan Asia Pasifik sejak 1959. Kunjungan selama satu bulan ini diawali dari Hawaii, Jepang, Korea Selatan, Cina, Filipina, Muangthai, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan berakhir di Australia. Biaya lawatan sebesar 1,3 juta dolar AS ini ditanggung pemerintah AS. Empat jam sebelum acara dimulai, puluhan ribu orang sudah memadati lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Thunderbirds memang mengagumkan. Selama 30 menit para pilot jagoan itu memamerkan 36 olah gerak berdasarkan 12 jurus andalan Thunderbirds. Buat masyarakat Jakarta, itulah kesempatan kedua menonton langsung aerobatik setelah tahun lalu tim aerobatik Inggris The Red Arrows memamerkan kebolehan mereka memakai pesawat A-4 Hawk dalam Pameran Dirgantara Indonesia I. "Mungkin, ini satu-satunya kesempatan menyaksikan Thunderbirds beraksi di Indonesia, sebab tim tersebut sangat penuh acaranya," kata Oetomo. Rudy Novrianto, Bambang Harymurti, dan Ahmed K.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus