Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Dicari: Gaya Terobosan

Resep Cina untuk menaklukkan penonton cukup manjur. Hanya, perbedaan gaya Eropa-Asia semakin kabur.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN mata sayu khasnya, Misbun Sidek duduk di deretan ofisial tim Piala Thomas Malaysia. Gaya pelatih kepala bulu tangkis negeri jiran ini sama seperti saat dia dulu bermain: tenang, tak banyak ekspresi. Begitu pula ketika ia menyaksikan kekalahan timnya 1-3 dari tuan rumah Indonesia pada babak perempat final di Istana Olahraga Senayan, Jakarta, Rabu malam pekan lalu.

Malaysia menurunkan tim terbaiknya yang sebelumnya keluar sebagai juara grup C. Sedangkan Indonesia harus melalui babak play-off melawan Selandia Baru sebelum bertemu dengan Malaysia. Dengan alasan timnya lebih berpengalaman, sebelumnya Misbun yakin mampu membekuk Indonesia. Tapi hasil pertandingan sungguh di luar dugaan.

Kekalahan itu juga menunjukkan tidak efektifnya latihan psikologis yang diterapkan Malaysia. Inilah latihan di luar teknik demi menghadapi penonton Istora Senayan, yang terkenal "sadis" terhadap pemain lawan. Pengalaman sepuluh tahun lalu, dalam final Piala Thomas 1994, telah membuktikan hal itu. Botol air minum berhamburan ke bangku pemain Malaysia. Hasilnya, Malaysia sebagai juara bertahan saat itu dihancurkan 0-3. Jauh sebelum itu lebih brutal. Pada final 1967, wasit kehormatan Herbert Scheele menghentikan pertandingan karena tak bisa mentolerir ulah penonton. Malaysia diuntungkan, dianggap sebagai juara, meski masih ada dua partai pertandingan. Saat itu untuk sementara Malaysia unggul 4-3 pada sistem sembilan partai.

Untuk membiasakan pemainnya dengan suasana Istora, beberapa pekan sebelum berlangsungnya putaran final Piala Thomas 2004, Malaysia mengadakan latihan agak unik. Murid-murid sekolah diundang untuk menyaksikan latihan tim Malaysia di Stadion Bukit Jalil. Bukan sekadar hadir, para siswa diharuskan berteriak-teriak sekuatnya, persis penonton di Istora.

Cara Cina mengantisipasi hiruk-pikuk penonton mirip. Seperti dilaporkan harian The Star Malaysia dua pekan lalu, Negeri Tirai Bambu ini berusaha "menghadirkan" suasana Istora dalam setiap latihan mereka. Pelatih kepalanya, Li Yongbo, memutar keras-keras kaset berisi rekaman suara penonton saat final Piala Thomas 1994 di Jakarta, Indonesia lawan Malaysia. "Teror penonton" itu diputar penuh-waktu saat pemain tim Thomas dan tim Uber Cina berlatih.

Latihan psikologis yang diterapkan Cina ternyata cukup manjur. Dalam babak penyisihan grup, Indonesia dibantai lima angka tanpa balas. Tunggal pertama Lin Dan seperti tak hirau dengan gegap-gempita penonton. Dengan tenang, peringkat pertama dunia ini mengempaskan Sony Dwi Kuncoro 17-16, 15-3.

Di luar "resep psikologis" itu, hampir tiada perubahan yang berarti dalam teknik perbulutangkisan. Setidaknya begitu menurut Morten Frost Hansen, legenda Denmark yang bermain di era 1980-an. "Bulu tangkis masih sama sejak zaman saya dulu," kata lelaki jangkung yang sekarang menjabat Direktur Teknik Bulu Tangkis Afrika Selatan ini, "Sedikit perbedaannya, para pemain Eropa sudah mulai terpengaruh gaya Asia."

Pada masanya, lelaki yang sekarang berusia 46 tahun itu menjadi ikon bulu tangkis Eropa. Ciri mainnya khas, reli-reli panjang mengandalkan kelengkapan pukulan dan kelenturan tubuh. Dengan tubuhnya yang jangkung, Hansen enak saja menjangkau bola ke mana pun mengarah. Hasilnya, dia mengantongi empat gelar tunggal putra All England dari delapan kali final yang ia ikuti. Andalan Denmark, Peter Gade Christensen, salah satu yang terinspirasi cara main Hansen.

"Eropa lebih memanfaatkan variasi stroke," kata Icuk Sugiarto, memilah perbedaan gaya, "Sedangkan pemain Asia lebih suka langsung, bertenaga, dan banyak jumping smash. Tapi untuk gaya Asia sendiri ada perbedaan antara Indonesia dan Cina."

Menurut Icuk, pemain Indonesia bertumpu pada power tangan dan kaki, sementara Cina unggul kelenturan. Lim Swie King, yang terkenal dengan jumping smash-nya, memang punya kaki yang lincah. "Tapi itu lebih karena power, bukan kelenturannya. Beda dengan misalnya Yang Yang atau Zhao Jianhua," kata Icuk lebih jauh. Han Jian, yang terkenal dengan gaya superdefensifnya pun, menurut Icuk, punya kelenturan kaki khas Cina.

Pemain Indonesia dikenal dengan kekuatannya. Namun gaya ini sekarang sedikit demi sedikit ditinggalkan. Menurut Icuk, itu karena pemain sekarang kurang memperhatikan Vo2 max, kemampuan paru-paru mengisap oksigen. "Saya dulu bisa berlari mengelilingi Istora 74 kali. Saya tidak yakin pemain sekarang mampu melakukan seperti yang saya lakukan."

Akhirnya, sama seperti Hansen, Icuk melihat olahraga tepuk bulu ini sekarang dimainkan dengan lebih seragam, kurang variasi. "Hampir semua pemain kini main cepat," kata mantan tunggal utama Indonesia yang sekarang menjadi Ketua Pengurus Daerah PBSI Jakarta ini. Itu terkait dengan teknologi pembuatan raket. Raket sekarang jauh lebih ringan dan kuat dibandingkan dengan masa sebelum Icuk, apalagi Liem Swie King.

Bila pola makin seragam, lantas apa yang bisa dinikmati penonton pada era kini? "Lin Dan dan pemain Jepang," kata Icuk tegas. Menurut dia, Lin Dan punya kelenturan tubuh khas Cina dan kehati-hatian Eropa. Sedangkan gaya pemain Jepang mulai meninggalkan tradisinya yang lebih mendekati Indonesia. "Mereka sekarang bergaya mirip-mirip pemain Cina." Barangkali contoh yang paling jelas adalah Shoji Sato, yang membuat repot Lin Dan pada perempat final.

Tim Indonesia memiliki Tri Kusharyanto, yang kocak, lincah, dan pukulannya aneh-aneh. Kadang ia mengembalikan smes dari kolong kaki atau dengan pukulan dari balik punggung. "Dia berhasil mengembangkan keunggulan dirinya," komentar Icuk. Tri sendiri hanya tertawa ketika dikonfirmasi bahwa ia punya semangat menghibur, bukan sekadar bermain untuk menang.

Di tengah keseragaman gaya, boleh jadi diperlukan terobosan ala Trikus atau Shoji.

Andy Marhaendra


King Smash, Belum Ada Duanya

WAH, itu sudah lama sekali, tapi memang sangat fenomenal." Morten Frost Hansen, bekas bintang bulu tangkis dari Denmark, berbinar saat menjawab pertanyaan tentang "King Smash". "Meski sekarang sudah banyak pemain yang bisa memainkannya, Liem Swie King tetap yang terbaik."

"King Smash" memang diambil dari nama Liem Swie King. Ini bisa berarti smes King, tapi dapat pula diartikan "raja smes". Saking hebatnya pukulan mematikan ini, sebuah lembaga penelitian di Inggris pernah mencoba menelitinya, juga pukulan overhead khas Rudy Hartono pada 1970-an. Itulah dua variasi teknik temuan putra-putra Indonesia.

Forehand overhead temuan Rudy itu untuk menutup kelemahan pukulan backhand-nya. Jadi, dia melakukan pukulan forehand, tapi tangannya melintas di atas kepala. Sekarang teknik ini sudah umum dipakai, tapi tidak pada era 1970-an.

Smes King? Dilakukan sambil melayang. Shuttlecock dipukul saat tubuh belum menyentuh tanah. King sendiri tak begitu ingat dari mana ia mendapat ide untuk melakukan teknik yang ketika itu sangat anyar.

Di bulu tangkis, King dikenal sebagai pemain bertipe menyerang. Ada juga pemain bertipe bertahan semacam Icuk Sugiarto. Final Piala Dunia 1983 menjadi ajang pembuktian dua pola berseberangan ini. Icuk menang setelah melalui perjuangan keras. Skornya 15-8, 12-15, 17-16. "Pertandingan terberat yang pernah saya hadapi," kata Icuk mengenang. Namun saat itu King sudah mencapai usia hampir pensiun, sedangkan Icuk baru naik daun.

AM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus