Kalau ada dukungan yang bisa merepotkan, barangkali itulah yang akan diterima calon presiden Wiranto dari Tutut Hardijanti dan keluarga Soeharto. Wiranto dan Salahuddin Wahid dicalonkan Partai Golkar, yang di bawah pimpinan Akbar Tandjung mengaku sudah berbeda dengan Golkar dulu sebelum reformasi. Dengan bergabungnya Tutut, putri sulung Soeharto yang tidak sungkan tampil sebagai wakil masa lalu, pengakuan itu jadi tidak ada artinya lagi. Benarkah citra Golkar lama lebih disukai para pemilih dalam perhitungan pasangan Wiranto-Salahuddin?
Bantuan Mbak Tutut bukan tidak berarti. Dia cantik, lebih simpatik dibandingkan dengan politisi perempuan lainnya. Partai yang dipimpinnya, Partai Karya Peduli Bangsa, memperoleh sekitar dua setengah juta suara dalam pemilu kemarin. Namun, kalau nama Wiranto sebagai calon presiden Partai Golkar dihubungkan dengan Tutut dan Keluarga Cendana, akan timbul kesan Orde Baru sedang mencoba membalikkan sejarah untuk berkuasa kembali. Niat untung bisa jadi buntung karena mungkin lebih banyak yang batal mendukung daripada tambahan suara yang didapat Wiranto dalam pemilihan presiden nanti. Sebabnya sederhana, kebanyakan orang merasa tidak ada gunanya memberi kesempatan Keluarga Cendana dan para kroninya berjaya lagi. Biar belum diadili, Soeharto sudah dianggap bersalah.
Kelihatannya ada beda persepsi. Tutut menyangka banyak yang merindukan Bapak Pembangunan, Pak Harto, presiden hampir seumur hidup itu. Semula Tutut sendiri akan dicalonkan jadi presiden oleh Partai Karya Peduli Bangsa, yang dipimpinnya bersama mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Purnawirawan Hartono. Nama Soeharto disangka menjadi aset yang menaikkan popularitas, bukan dianggap merugikan karena memberikan citra negatif. Dalam sebuah kampanye terbuka, Jenderal Hartono berkata bahwa dia bangga menjadi antek Soeharto, lalu karena itu mengharap simpati publik akan mengalir ke partainya. Apalagi mengingat keadaan sosial ekonomi yang tak kunjung menentu semenjak reformasi, tentu yang tidak puas akan berpaling ke belakang dan menginginkan kembalinya kepemimpinan Soeharto.
Ternyata Partai Karya Peduli Bangsa hanya mendapat dukungan suara yang jauh dari memenuhi syarat untuk mencalonkan Tutut sebagai presiden. Mestinya pertanda ini dibaca sebagai penolakan mayoritas rakyat terhadap dirinya dan Keluarga Cendana. Setidak-tidaknya hasil pemilu itu harus dipahami sebagai isyarat bahwa lebih banyak yang waswas dan memilih untuk menghindar dari segala kaitan dengan Orde Baru, khususnya dengan Soeharto. Rupanya keluhan masyarakat terhadap keadaan sekarang belum bisa menyingkirkan pikiran kritis tentang pengalaman buruk pada masa pemerintahan otoriter Soeharto. Dwifungsi ABRI, pengekangan kebebasan menyatakan pendapat dan pemberangusan pers, indoktrinasi wajib ideologi negara, kredit macet, korupsi besar-besaran, kolusi konglomerat dengan penguasa, serta nepotisme Keluarga Cendana, tak ada yang mau semua itu terulang lagi. Wiranto pun pasti tahu, karena untuk mengerti hal sederhana ini tidak dibutuhkan terlalu banyak pikiran.
Namun, demi rehabilitasi kedudukan bapaknya dan Keluarga Cendana, tak ada yang bisa menghentikan langkah Tutut. Maka dia menyodorkan diri untuk menyokong Wiranto. Alasannya ialah agar suara Golkar tidak terpecah-pecah. Tentu saja mengenai kepentingan kembalinya kekuasaan Orde Baru tidak sepatah kata pun diucapkan. Yang jelas, Keluarga Cendana akan merasa aman dan nyaman kalau Wiranto terpilih jadi penguasa kelak. Tutut, dan Wiranto juga, memanfaatkan sarana demokrasi, yaitu pemilihan umum presiden langsung?sebagai jalan menuju kekuasaan?suatu kesempatan yang tidak tersedia dan tak pernah terbayangkan akan dibuka semasa Soeharto memerintah. Boleh dikatakan, demi kepentingan bapaknya sekarang, Tutut memakai alat yang dulu diharamkan oleh bapaknya sendiri dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Pantaskah?
Soalnya kemudian ialah apakah dukungan Tutut dan Cendana jadi tenaga pengangkat ke atas atau beban penarik ke bawah bagi Wiranto dalam pencalonannya menjadi presiden. Dilihat dari bantuan dana dan dua setengah juta suara, bisa mengangkat; dari kesan karena dihubungkan dengan rezim Soeharto, bisa menghambat. Wiranto jadi serba salah: menerima timbul masalah, menolak juga enggan barangkali. Wiranto adalah ajudan Presiden Soeharto dari 1989 sampai 1993, dan kariernya cepat naik hingga menjadi Panglima ABRI juga berkat restu presiden pembina Golkar itu. Ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Hanya sayang juga jika misi Wiranto menjadi pemimpin negara disusutkan sekadar untuk tujuan membayar utang budi pribadi.
Waktu dan tenaga Wiranto hampir habis tersita untuk membela diri: tentang militerisme, tentang pelanggaran hak asasi manusia. Sekarang masih harus ditambah lagi dengan beban membela Soeharto dan Keluarga Cendana. Ini tidak sehat, karena merongrong potensinya sebagai calon presiden. Kalau benar seperti kata orang Wiranto tegas sikapnya, mengapa tak ditolaknya saja dukungan Cendana yang merugikan itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini