Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENAR-benar bak naga mempermainkan ular sanca. Begitulah penampilan gadis-gadis Cina ketika menghadapi tim Piala Uber Indonesia. Hanya Silvi Antarini yang mampu mengambil satu set dari tunggal putri Gong Ruina, sedangkan dara Indonesia lainnya menyerah dua game langsung.
Menerima kekalahan telak 0-5 ini memang bukan monopoli Indonesia—tapi terlalu berat diterima sebuah "negeri bulu tangkis" dengan sejarah sukses cukup panjang. Alhasil, Cina mendominasi pesta yang diikuti 12 negara peserta itu.
Melenggang mulus menuju final, pekan lalu, tim Uber Cina juga mencampakkan Belanda dengan skor telak 5-0, dan Malaysia dalam tiga partai tanpa balas. Adapun di partai semifinal, Jepang harus pula mengakui kehebatan Sang Naga dengan skor kalah 3-0. Dalam empat partai tersebut, dari 34 set yang dimainkan mereka hanya kehilangan dua set—termasuk dari Silvi Antarini itu. Kemudian tunggal kedua Cina Zhou Mi dipaksa main tiga set sebelum mengemas kemenangan atas Judith Meulendijks dari Belanda.
Dalam dua tahun terakhir, putri Cina memang mendominasi sebagian besar kontes bulu tangkis kelas satu dunia. Hasilnya, 10 atlet Cina di antara 98 pemain wanita yang hadir dalam kompetisi Uber kali ini masuk daftar enam peringkat tertinggi dunia. Dalam nomor tunggal, Cina mengusung Gong Ruina (peringkat 1), Zhang Ning (2), Zhou Mi (3), dan Xie Xingfang (6). Benar-benar naga.
Cina memang telah menyiapkan atletnya dengan matang. Ratu bulu tangkis dunia saat ini, Gong Ruina, sejak usia 16 tahun telah mengikuti sejumlah kompetisi kelas dunia. Tiga tahun lalu dia meraih gelar juara dunia di Sevilla, Spanyol. Pemain yang kini berusia 23 tahun itu dua kali ikut mengantarkan Cina menjuarai Piala Uber dalam empat tahun terakhir. Kemudian dalam setahun terakhir, dari 12 kompetisi antarnegara yang disertainya, satu dari tiga gelar juara diraihnya di turnamen bergengsi All England.
Xie Xingfang merupakan teman seangkatan Ruina. Xingfang, yang usianya hanya selisih 10 hari lebih tua daripada Ruina, baru mulai ikut pertandingan antarnegara dalam empat tahun terakhir. Tahun lalu dia menjuarai Indonesia Terbuka dan menjadi finalis All England. Xingfang dan Ruina merupakan pemain muda yang sukses melapis dua rekan senior mereka, Zhang Ning dan Zhou Mi. Zhang Ning, yang pekan ini merayakan ulang tahunnya yang ke-29, memang telah membela Cina sekitar 10 tahun.
Adapun di sektor ganda mereka membawa tiga pasangan terbaik dunia, Yang Wei-Zhang Jiewen (1), Gao Ling-Huang Sui (2), dan Wei Yili-Zhao Tingting (4). Ganda putri terbaik dunia saat ini, Yang Wei dan Zhang Jiewen, mulai masuk daftar 10 besar dunia sejak Agustus tahun lalu. Dua bulan kemudian mereka masuk dalam peringkat satu setelah menjuarai Denmark Terbuka dan menjadi finalis Jerman Terbuka. Dalam final All England tahun silam, pasangan ini dikalahkan ganda terbaik kedua dari Cina sendiri, Gao Ling dan Huang Sui.
Dengan laskar yang begitu perkasa, wajar jika manajer tim Cina, Li Yongbo, sudah merasa menjadi juara sebelum Piala Uber digelar. "Saya yakin perhitungan ini sama dengan ramalan semua orang," kata andalan Cina 1980-an itu. Yongbo telah menyiapkan mental anak asuhnya sebelum terbang ke Jakarta. Salah satu persiapan itu adalah menghadapi teror penonton Istora Bung Karno yang terkenal sangar dan heboh. Dalam simulasi latihan pemain Cina, dia selalu memutarkan kaset sorakan dan teriakan penonton yang direkam saat mereka berlaga di Jakarta 10-20 tahun silam.
Cina tercatat sebagai negara yang paling sering membawa pulang Piala Uber: delapan kali. Jumlah ini mengalahkan perolehan Jepang yang lima kali, dan Indonesia yang baru tiga kali. Dominasi Cina ini baru dimulai 20 tahun terakhir. Mereka sempat kehilangan dua kali Piala Uber setelah di partai final dikalahkan Indonesia satu dasawarsa lalu, dan dua tahun kemudian. Namun setelah itu Cina seolah tidak tertandingi.
Sukses tim Cina ini merupakan buah pembinaan olahraga sejak di sekolah dasar—yang tidak kita lakukan di sini, minimal dengan sungguh-sungguh. Secara rutin dilakukan kompetisi antarpelajar untuk menemukan pemain berbakat sejak dini. Di usia remaja, mereka berlaga di kompetisi badminton tingkat nasional. Dalam kompetisi yang diikuti pemain muda dari 17 provinsi itu, Cina bisa panen belasan pemain yang berkualitas tinggi.
Pemain-pemain muda itu kemudian direkrut dalam tim nasional B. Adapun tim nasional A berisi pemain nasional yang berlaga di berbagai turnamen dunia. Selama di pelatihan, secara teratur dilakukan kompetisi antara pemain muda dan seniornya. Setiap pemain dari tim B akan dilatih sedemikian rupa agar bisa mengalahkan beberapa pemain di tim A. Jika berhasil mengalahkan kakaknya, mereka akan masuk tim A dan menggeser posisi senior yang mulai lemah.
Menurut Gong Zhi Chao, atlet yang ikut meraih Piala Uber enam tahun lalu, sejak Li Yongbo menjadi kepala pelatih tim nasional, mereka mendapat latihan fisik yang keras, bahkan lebih keras daripada pemain sepak bola. Yongbo memerintahkan anak asuhnya lari naik gunung di Xi Shan, Beijing, setiap dua minggu sekali. Gunung yang berada 500 meter di atas permukaan air laut itu memiliki kemiringan rata-rata 50 derajat. Sebagai perbandingan, seorang turis jamaknya membutuhkan waktu tiga jam berjalan untuk mencapai puncak. Sedangkan atlet putri mendapat target kurang dari 30 menit, itu pun harus mereka lakukan bolak-balik dua kali.
Hasil dari latihan spartan itu, Cina tidak pernah kekurangan pemain kuat. Dalam partai final Piala Sudirman tahun lalu, mereka kalah 3-1 dari Korea Selatan. Namun Li Yongbo merasa senang, karena tim itu dia isi enam pemain muda. "Para debutan ini mendapat banyak pengalaman dari kompetisi itu," kata Yongbo saat itu. Kini Yongbo tinggal memetik hasilnya.
Tinggal kini ular sanca Indonesia harus berani belajar dari Cina. Kalau tidak, ya tetap ular sanca….
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo