BAGI rakyat Aceh, yang penting bukan status darurat militer atau darurat sipil, melainkan apakah mereka segera bebas dari rasa takut dan bisa menjalani hidup normal. Itulah pertanyaan yang mengemuka ketika pemerintah Megawati menurunkan derajat kegawatan situasi keamanan di Aceh dari darurat militer ke darurat sipil, pekan lalu. Rincian lebih jauh dari pertanyaan itu: sudahkah Aceh bisa dijadikan tempat tinggal yang layak oleh penduduknya seperti wilayah Indonesia yang lain?
Pertanyaan begini sangat layak diajukan, mengingat bukan setahun terakhir ini saja operasi militer digelar di Bumi Rencong itu. Pada tahun 1989 sampai 1998, operasi militer dengan sandi Jaring Merah juga ditebarkan untuk membasmi gerakan separatis Aceh Merdeka. Ribuan rakyat menjadi korban, anak-anak kehilangan bapaknya, istri-istri kehilangan suami?bahkan ada sebuah lokasi yang dinamakan ?kampung janda? lantaran nyaris tidak seorang laki-laki pun tersisa di sana?dan dendam Aceh terhadap Jakarta meluas dengan intensitas yang tinggi. Operasi yang dibiayai Jakarta dengan sangat mahal itu tidak menghasilkan penyelesaian yang permanen, bahkan membenihkan perlawanan yang lebih besar dan lebih sistematis dari Gerakan Aceh Merdeka. Perlawanan yang paling menonjol sekarang adalah kemampuan GAM mendapatkan dukungan dari para pentolannya di Swedia?padahal sebelum ini sudah lama orang seperti Hasan Tiro cs di Swedia ?dilupakan? pemberitaan dunia.
Jelaslah bahwa operasi militer yang penuh kekerasan sembilan tahun itu hanya menjauhkan hati rakyat Aceh dari Jakarta. Maka, percumalah semua program pembangunan yang dilancarkan Jakarta di sana. Perlahan tapi pasti, pengikut GAM semakin panjang. Ini bukan lantaran GAM menawarkan program atau masa depan yang lebih baik, melainkan lantaran orang Aceh marah dan kecewa dengan tindak kekerasan yang dilakukan aparat RI. Rakyat kesal karena penculikan, pembunuhan, pemerkosaan dibiarkan aparat tanpa proses hukum yang memadai. Belum lagi korupsi yang menjangkiti birokrasi Aceh, menjadikan kemuakan rakyat berlipat-lipat. Yang terjadi kemudian, birokrasi hari demi hari semakin tidak berfungsi. Banyak pemerintahan desa yang jatuh ke tangan GAM. Berbagai aturan hidup sehari-hari ditetapkan oleh GAM, misalnya pajak Nanggroe yang membuat rakyat makin menderita.
Jakarta kembali menerapkan darurat militer tahun lalu. Selain operasi militer, Jakarta juga melancarkan serangkaian operasi pembangunan?walau kurang menonjol. TNI mencoba memperbaiki operasi kali ini ketimbang ketika melancarkan Operasi Jaring Merah, misalnya dengan menghukum prajurit yang terbukti melakukan kekerasan yang tidak semestinya di lapangan. Toh, perang selalu makan korban. Sekitar seribu orang?yang diklaim TNI sebagai anggota GAM dan simpatisannya?mati, sedangkan di pihak TNI/Polri sekitar 100 orang juga tewas, dan penduduk sipil yang tewas tercatat 300 orang.
Adakah semua korban dan kekerasan ini tidak membenihkan perlawanan yang baru? Itu banyak bergantung pada sikap Jakarta, termasuk jajaran TNI. Seandainya Jakarta mengembalikan sebagian besar kekayaan bumi Aceh ke rakyatnya, seraya menghukum pelaku korupsi di birokrasi Aceh, seandainya TNI segera mengganti bedil dengan cangkul dan arit, barangkali Aceh segera tenang dan sibuk membangun memperbaiki ketertinggalan dari provinsi-provinsi lain. Pembangunan yang menetes sampai ke bawah akan membuat orang Aceh kembali mempunyai harapan. Orang Aceh akan percaya bahwa mereka adalah bagian dari Republik yang juga berhak hidup normal, bebas dari rasa takut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini