SUNGGUH sebuah kebetulan, babak perempat final Copa America 2004 mirip dengan perempat final Piala Eropa lalu. Ada tiga pelatih asing pada level ini. Akankah muncul orang semacam Otto Rehhagel, pelatih Yunani asal Jerman yang membawa timnya menjuarai Piala Eropa 2004? Tunggu dulu, situasinya jauh berbeda.
Rehhagel datang ke putaran final Piala Eropa di Portugal dengan dukungan seluruh rakyat Yunani. Begitu pula dua pelatih asing lainnya. Pelatih Inggris, Sven Goran Eriksson, asal Swedia, disanjung semua suporternya. Luis Felipe Scolari, pelatih asal Brasil, mendapat sokongan penuh dari masyarakat Portugal. Scolari kini masih dihormati meski hanya membawa Portugal menjadi runner-up. Rehhagel malah menjadi ?dewa? di Yunani.
Tidak demikian Ricardo Antonio Lavolpe, pelatih asal Argentina, yang menangani Meksiko. Pers Meksiko memusuhinya habis-habisan. Hal yang sama dialami pelatih Peru asal Brasil, Paulo Autuori de Mello. Hanya Anibal Ruiz Leites dari Uruguay yang relatif aman bersama tim nasional Paraguay.
Sebenarnya ada satu lagi pelatih asing yang muncul di Copa America, yakni Hernan Dario Gomez asal Kolombia, yang melatih Ekuador. Tapi dia tidak tampak lagi dalam perempat final karena timnya tersingkir di persaingan tingkat grup.
Diikuti 12 negara, hampir tak ada kejutan berarti di Copa America kali ini. Tim yang di atas kertas melaju ke babak berikutnya akhirnya lolos juga. Bila dihitung, hanya sempat dua kali terjadi guncangan besar. Tim unggulan Argentina dikalahkan 0-1 oleh Meksiko di grup B. Sedangkan Brasil ditekuk Paraguay 1-2 pada pertandingan terakhir penyisihan grup C, Kamis pagi pekan lalu waktu Indonesia. Argentina dan Brasil ujungnya cuma bisa menjadi runner-up grup B dan C kendati lolos ke perempat final.
Yang menarik, tiga pelatih asing berhasil menjaga konsistensi timnya. Paulo Autuori de Mello membawa Peru menjadi runner-up grup A, Ricardo Antonio Lavolpe menggiring Meksiko menjadi juara grup B, dan Anibal Ruiz Leites bisa mendorong tim Paraguay menjuarai grup C. Di perempat final, Peru bertemu dengan Argentina, Paraguay melawan Uruguay, dan Meksiko menantang Brasil. Satu partai lagi, Kolombia berhadapan dengan Kosta Rika.
Bagi negara Amerika Latin yang menjadi ?biang sepak bola? seperti Brasil, Argentina, dan Uruguay, pelatih asing masih merupakan ?barang haram?. Bagi negara lain, mempekerjakan orang asing bukan sesuatu yang tabu. Peru termasuk yang cukup sering. Sebelum menyewa De Mello, negara ini pernah memakai pelatih asal Brasil lainnya, yakni Paulo Cesar Carpeggiani (yang juga pernah menangani Paraguay), Antonio Lopes, Jair Picerni, dan Tite. Peru Juga pernah menyewa pelatih asal Argentina, Ramon Diaz dan Jose Pastoriza.
Hanya, pelatih dari negara Amerika Latin atau Amerika Tengah harus hati-hati menerima tawaran melatih di negara lain di kawasan itu. Bila salah, bisa-bisa hidupnya sangat penuh tekanan. Itu bukan sekadar tekanan masyarakat agar timnya berprestasi bagus, tapi juga melibatkan sentimen nasionalisme dan pribadi.
Lavolpe merasakan hal itu. Dia kiper cadangan Argentina saat timnya meraih Piala Dunia 1978 dan baru pensiun pada pertengahan 1980-an. Pada saat itu, Meksiko juga tengah bangkit. Meski tak pernah benar-benar berada di puncak, penampilan Meksiko saat itu?bintangnya striker Hugo Sanchez, yang sempat menjadi andalan tim raksasa Spanyol, Real Madrid?selalu disegani lawan. Maka seperti ada persaingan antara Argentina dan Meksiko.
Sanchez saat ini menjadi pelatih di klub Meksiko, Unam. Sebelum melatih tim nasional Meksiko, Lavolpe juga pernah menangani klub Toluca, saingan Unam. Saat itulah terjadi semacam persaingan antara Sanchez dan Lavolpe. Apalagi, saat Sanchez masih bermain, Lavolpe juga pernah merumput di klub yang berbeda di Liga Meksiko.
Sekarang? Sanchez menjadi orang pertama yang selalu menghujat setiap kali tim Meksiko yang diasuh Lavolpe berpenampilan buruk. Sebagian masyarakat Meksiko yang fanatik terhadap Sanchez ikut mengkritiknya. Bahkan, menjelang Copa America digelar, ratusan suporter sempat datang ke tempat latihan tim Meksiko. Bukan memberikan dukungan, mereka berdemonstrasi sambil berteriak, ?Hugo?, Hugo?, Hugo?!? Mereka ingin Hugo Sanchez yang menangani tim nasional.
Padahal Lavolpe sudah layak menjadi ?dewa? seperti Rehhagel. Sebab, tahun lalu, Lavolpe membawa Meksiko menjuarai Piala Emas, sebuah kejuaraan selevel Piala Eropa untuk kawasan Amerika Tengah dan Utara. Tapi masyarakat dan pers telanjur memberinya cap negatif.
Begitu pula yang terjadi di Copa America. Lavolpe dihujat karena Meksiko bermain buruk pada pertandingan pertama, seri 2-2 melawan Uruguay. Menang atas Argentina pun tidak membuatnya jadi pahlawan. Pers malah sibuk menyorot penampilan Meksiko yang defensif. Sepak bola negatif, kata mereka.
Memang begitu cara Meksiko ketika menaklukkan tim negara asal Lavolpe. Setelah Meksiko unggul 1-0 pada menit kedelapan lewat tendangan bebas Ramon Morales, Lavolpe menginstruksikan timnya bertahan total. Cara ini mirip dengan yang dilakukan Rehhagel untuk meraih Piala Eropa.
Tapi Lavolpe punya alasan. ?Bila saya memiliki pemain seperti Javier Saviola atau Cesar Delgado (dua penyerang Argentina), tentu saya juga akan menyerang terus. Kami memainkan pola terbaik yang kami bisa. Faktanya, kami menang,? kata pria berusia 52 tahun itu.
Menghadapi kecaman yang terkesan dicari-cari, Lavolpe rupanya kesal juga. Apalagi ia telah 25 tahun tinggal di Meksiko dan mengabdikan hidupnya demi sepak bola di negeri itu, baik sebagai pemain maupun pelatih. ?Mereka minta Piala Emas, saya penuhi. Mereka minta lolos kualifikasi Olimpiade, saya penuhi juga. Sekarang mereka minta menang melawan Argentina, saya juga mewujudkannya. Apa yang kurang?? tanyanya.
Mungkin kritik baru akan redam bila Lavolpe berhasil membawa timnya menjadi juara Copa America. Jika itu terjadi, Meksiko akan menjadi negara pertama di luar anggota Conmebol (Konfederasi Sepak Bola Amerika Selatan) yang melakukannya. Berdua dengan Kosta Rika, status Meksiko memang cuma undangan.
Perlakuan pers Peru terhadap pelatih Paulo Autuori de Mello pun tak kalah kejam. Mereka ramai-ramai memboikot konferensi pers. Pria asal Brasil ini pun hanya bisa bengong di depan meja kosong menjelang pertandingan melawan Venezuela. Sebenarnya protes ini tidak hanya ditujukan kepada De Mello, tapi kepada seluruh tim Peru. Ini gara-gara tiga hari sebelumnya dua pemain Peru diketahui mabuk di sebuah klub malam. Pers tak menolerir tindakan macam ini karena mereka masih berada dalam suasana kompetisi membawa nama negara. Khusus De Mello, kinerjanya lebih disorot setelah Peru mengalami tiga kali hasil buruk di prakualifikasi Piala Dunia zona Amerika Latin.
?Pasukan pemabuk,? begitu sebuah media olahraga Peru menjuluki tim nasional yang diasuh De Mello. ?Pelatih harus bekerja lebih keras menertibkan anak buahnya sebelum mereka turun ke lapangan,? tulis media tersebut. Pelatih yang telah berpengalaman melatih di Liga Peru ini pun masih terkaget-kaget dengan perlakuan itu.
Di Copa America, ujian terhadap pelatih asing memang amat berat. Tapi, jika mereka, entah De Mello, Lavolpe, atau Anibal Ruiz Leites, mampu membawa timnya meraih gelar juara, cacian tersebut akan segera menjelma menjadi pujian. Dan seperti Otto Rehhagel, si pelatih bakal dipuja bagaikan dewa.
Andy Marhaendra (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini