SAMPAI Sabtu kemarin, jumlah suara pemilih pemilu presiden ronde pertama yang sudah dihitung adalah 105 juta. Pertambahan suara masuk dari hari ke hari makin melambat, dan katakanlah paling optimistis sampai penutupan penghitungan 26 Juli nanti bertambah 10 juta suara. Maka, seandainya tambahan 10 juta suara itu dibagi merata untuk lima pasangan yang ada, sangat mungkin suara terbanyak pemilu presiden ronde pertama bukan diraih salah satu pasangan.
Pengumpul suara terbanyak bisa jadi adalah "Surak" (suara rusak) alias "Masco" (malas mencoblos) alias "Madat" (malas datang), yang "mengumpulkan" hampir 40 juta suara. "Nama-nama" inilah yang sering kita kacaukan penyebutannya sebagai golput atau golongan putih.
Padahal "tiga nama" itu punya motif dan tindakan yang sangat berbeda dengan golput. Bung Surak, orang yang datang ke tempat pemungutan suara dan mencoblos tapi surat suaranya rusak, kebanyakan akibat tidak mengerti tata cara pencoblosan. Tapi ada juga di antara kelompok ini yang sengaja merusak kartu suara sebagai protes. Yang sengaja merusak ini memang termasuk golongan putih, walau dari pengalaman di tempat pemungutan suara (TPS) jumlahnya tidak signifikan.
Tuan Masco dan Mister Madat sejenis, yaitu orang yang malas mencoblos atau yang malas datang ke TPS. Kelompok ini punya banyak alasan, mulai alasan yang remeh-temeh sampai alasan politis.
Di luar semua kelompok ini, masih ada sekian juta orang yang tidak memilih lantaran kinerja Komisi Pemilihan Umum dan jajaran pelaksana pemilu di tingkat bawah yang belum optimal. Ada surat suara yang tidak sah, ada juga pemilih yang tidak sempat didaftarkan.
Apa pun motifnya, remeh-temeh ataupun politis, rasanya kegelisahan yang berlebihan memang tidak perlu. Tidak menggunakan hak pilih adalah sebuah pilihan yang sah. Jika pemilih yang sudah didaftarkan lebih suka berlibur ketimbang mencoblos, artinya kampanye buat menarik minat pemilih untuk datang ke TPS sudah gagal. Dalam kasus begini, itu berarti Komisi Pemilihan Umum, dengan dana besarnya, tidak efektif untuk membuat masyarakat menyadari bahwa pemilu presiden langsung yang pertama kali ini penting untuk memperkukuh demokrasi kita. Tapi memang sulit berharap kepada KPU?lembaga yang untuk urusan melipat surat suara saja tidak memberikan petunjuk yang memadai bagi masyarakat, sehingga kasus "coblos ganda" menjadi masalah.
Di ronde kedua pemilihan presiden langsung, ada yang meramal bahwa golongan putih akan meningkat. Penyebabnya, pendukung fanatik calon yang tersisih akan melancarkan protesnya dengan tidak mencoblos. Ada juga pendapat bahwa golongan putih, dan juga golongan "salah coblos" dan golongan yang selama ini "cuek", akan berkurang jumlahnya. Alasannya, babak final 20 September nanti dianggap terlalu penting untuk dilewatkan.
Seandainya pun skenario pesimistis yang terjadi, golput dan suara tak sah meningkat serta banyak orang tidak datang ke TPS, ini pun tidak perlu ditakuti. Kita tidak perlu mengambil contoh Amerika Serikat, yang tingkat partisipasi penduduknya tak lebih dari 50 persen saja dalam pemilu, untuk membenarkan menurunnya partisipasi rakyat di negeri ini. Penyelenggara pemilu di sini hanya perlu menyadari bahwa masyarakat malas memilih mungkin karena calon yang tersedia tidak menjanjikan harapan perbaikan. Bisa juga karena prosedur pendaftaran pemilih yang berbelit, cara mencoblos yang membingungkan, atau penghitungan suara yang dianggap kurang transparan.
Kelemahan itulah yang perlu diperbaiki. Perbaikan lebih penting ketimbang memikirkan mengapa golput terus meningkat jumlahnya. Toh, undang-undang pemilu tidak mensyaratkan jumlah pemilih minimal yang harus diraih kandidat untuk memenangi kursi Istana. Jadi, buat apa repot memikirkan yang tak perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini